Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi dan Karya-karyanya : Ratusan Karya Terlahir dalam Keterbatasan Usianya |
Wednesday, 19 June 2013 18:32 |
Syaikh Abu Al-Farj Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim bin Shalih bin Ismail bin Abubakar Al-Hallaq Al-Qasimi adalah salah satu ulama Sunni asal Suriah di abad ke-19 M yang terkemuka.
Ia lahir pada waktu dhuha, hari Senin, 8 Jumadal Ula 1283 H/1866 M, di Damaskus. Ia hidup pada paruh kedua abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, yang digambarkan sebagai masa-masa yang berat dalam kehidupan era kemunduran.
Putranya, Zhafir Al-Qasimi, menyebutkan, sang ayah hidup pada masa penuh kezhaliman dan orang-orang zhalim masa pemerintahan Utsmani. Ketika itu kebebasan dikekang, pemikiran untuk bangkit dari penjajahan Barat sulit diekspresikan, undang-undang negara terikat kolonialisme dan mengikat rakyat.
Dalam hal pendidikan, berbagai lembaga pendidikan Islam banyak yang ditutup dan hilang digerus zaman, sehingga tampak kebodohan dan buta huruf melanda kaum muslimin. Bahkan, hampir saja orang yang mau belajar membaca jumlahnya tak lebih dari hitungan jari.
Begitulah kondisi masyarakat ketika Syaikh Jamaluddin hidup. Namun ia tetap bersungguh-sungguh dengan cita-citanya yang setinggi langit untuk melakukan perubahan diri dan masyarakat.
Ia tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan ilmu dan kemuliaan ilmu. Mulanya ia belajar mengaji kepada ayahnya, Syaikh Muhammad Sa’id, ulama yang dikenal sebagai ahli fiqih dan sastra. Kepada ayahnya, Jamaluddin muda memperoleh ilmu yang banyak. Kemudian ia menimba ilmu kepada sekian guru. Ia belajar Al-Qur’an kepada Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, serta menulis dan menekuni kaligrafi kepada Syaikh Mahmud Al-Qushi. Selanjutnya ia mendalami ilmu tauhid dan ilmu bahasa kepada Syaikh Rasyid Quzaiha, yang termasyhur dengan panggilan “Syaikh Ibnu Sinan”. Untuk memperbagus bacaan Al-Qur’an-nya, ia belajar kepada guru besar qurra` (para qari, pelantun bacaan Al-Qur’an) negeri Syam, Syaikh Ahmad Al-Halwani. Kepada Syaikh Salim Al-‘Aththar, ia mengkaji berbagai kitab besar, seperti Syarh Syudzur adz-Dzahab, Syarh Ibn Aqil, Jam’u al-Jawami’, Tafsir Al-Baidhawi, Shahih Al-Bukhari, Al-Muwaththa`, Mashabih as-Sunnah, hingga memperoleh semua ijazah ilmu dan kitab atas garis sanad gurunya pada tahun 1301 H/1884 M, tatkala usianya menginjak 18 tahun.
Sederet nama sang guru, seperti Syaikh Muhammad Al-Khan, Syaikh Bakri Al-‘Aththar, Syaikh Muhammad An-Naqsyabandi, dan Syaikh Hasan Jubainah Ad-Dasuqi, adalah nama-nama besar pujangga ilmu Islam yang menakjubkan, yang dikenal kapasitas keilmuannya, yang turut menghantarkannya kepada masa depan Jamaluddin muda yang bersinar terang.
Ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Azh-Zhahiriyah di pusat kota Damaskus. Pada masa itu, pemerintah biasanya memilih pemuda-pemuda terpelajar untuk menjadi guru pelajaran umum pada bulan Ramadhan. Jamaluddin muda, yang kala itu berusia 14 tahun, sudah dilibatkan dalam aktivitas pendidikan dan pengajaran ini, dengan dikirim ke berbagai pelosok daerah, seperti Wadi ‘Ajam, Qadha Nabk, dan Ba’albek.
Madzhab Jamali
Ketika ayahnya wafat pada tahun 1898 M, saat ia berusia 32 tahun dan mengajar di Universitas Sinan, pihak rektorat memintanya untuk menggantikan kedudukan ayahnya di universitas tersebut. Ia pun menerimanya. Universitas ini pun menjadi tempatnya menunjukkan kapasitas dan kualitas keulamaannya di kemudian hari. Satu di antaranya adalah aktivitas menulis, yang ditempuhnya selama 12 tahun. Maka terlahirlah karya-karya besar, di antaranya kitab tafsir Mahasin at-Ta‘wil, sebanyak 12 jilid tebal. Kitab tafsir ini merupakan karya terbesar yang dilahirkannya dan memberi manfaat luas bagi para penuntut ilmu di era modern.
Syaikh Jamaluddin adalah imam dan pendakwah bagi penduduk Syam. Sebagaimana telah disebutkan, sedari belia ia mengajar di berbagai pelosok negeri Syam atas izin pemerintah, sebelum akhirnya memilih melakukan rihlah ilmiah ke Mesir, Palestina, Makkah, dan Madinah.
Syaikh Jamaluddin adalah seorang yang senang berziarah dan melakukan rihlah ilmiah. Ia berkunjung ke Mesir, berziarah ke berbagai situs peninggalan masa Islam, memberikan kuliah umum di Al-Azhar Asy-Syarif, dan melakukan diskusi dengan para ulama reformis Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Begitu pula ia melakukan muhibah ilmiah ke Baitul Maqdis, Makkah, dan Madinah.
Sebab berhentinya mengajar konon lantaran tuduhan yang ditimpakan kepadanya, yakni ingin mendirikan madzhab baru dalam agama yang dinisbahkan kepada namanya, Madzhab Jamali. Pemerintah Syam melakukan interogasi atasnya dan menutup majelis pengajiannya, namun nyatanya tuduhan itu tak terbukti sama sekali.
Selama masa penyegelan aktivitas mengajar itu, Syaikh Jamaluddin tidak patah arang. Ia menyibukkan dirinya dalam menulis. Ia tetap mengajar bagi murid-murid dan masyarakat umum. Kekangan dakwah dan ta’lim yang dihadapinya itu justru membuatnya semakin kreatif dan produktif menulis. Tak kurang dari 73 penulisan buah buku diselesaikannya dalam tempo singkat. Bahkan ada yang melansir bahwa karyanya mencapai ratusan buku. Belum lagi profesinya sebagai kolumnis keagamaan di berbagai majalah dan harian, yang banyak mengungkap buah pikirannya. Sehingga seorang intelektual Lebanon bernama George Affandi Haddad memujinya dengan sebuah syair duka cita saat Syaikh Jamaluddin wafat:
Tidurlah dengan nyenyak
wahai Jamaluddin
Sesungguhnya zaman
menanggung apa yang menimpamu
Kelak pastilah
para generasi penerus akan tahu
bagaimana keutamaanmu
Jika generasi yang kini
tidak tahu kapasitasmu
Terlahir dari sebuah Kegundahan
Putranya, Syaikh Zhafir Al-Qasimi, melansir, jumlah karya ayahnya mendekati 100 buah. Bahkan menurut seorang peneliti, Dr. Nizar Abazhah, jumlahnya mencapai 113 buah, berbentuk manuskrip maupun tercetak, tebal maupun tipis.
Karya terawal ditulisnya pada tahun 1299 H/1882 M, pada saat usianya baru 16 tahun, berjudul As-Safinah. Karya ini memuat pandangan orisinalnya dari hasil menelaah tema-tema adab, akhlaq, sejarah, syair, dan sebagainya.
Intelektualitas Syaikh Jamaluddin yang begitu cemerlang tampak pada sejumlah karyanya. Ia menulis berbagai permasalahan agama, itu menandakan keluasannya dalam ilmu pengetahuan. Di antara karya-karyanya ialah Al-Ajwibah al-Ghaliyah fil Mustadillin bi Tsubut Sunnah al-Maghrib al-Qabliyyah, Irsyad al-Khalq, Al-Isra‘ wa al-Mi’raj, Awamir Muhimmah fi Ishlah al-Qadha asy-Syar’iyy, Ishlah al-Masajid, Al-Awrad al-Ma’tsurah, Tarikh al-Jahmiyyah wa al-Mu’tazilah, Ta’thir al-Masyam fi Ma‘atsir Dimasyq wa asy-Syam, Tanbih ath-Thalib ila Ma’rifah al-Fardh wa al-Wajib, Jawami’ al-Adab fi Akhlaq wa al-Injab, Majmu’ah Khutab, Hayah al-Bukhari, Dala‘il at-Tawhid, Asy-Syay wa al-Qahwah wa ad-Dukhan, Syadzarah as-Sirah al-Muhammadiyyah, Syaraf al-Asbath, Syams al-Jamal ‘Ala Muntakhab Kanz al-‘Ummal, Mizan al-Jarh wa at-Ta’dil, Ath-Tha‘ir al-Maymun fi Halli Lughz al-Kanz al-Madfun, Fatawa Muhimmah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Mizan al-Jarh wa at-Ta’dil, Jawami’ al-Adab, Madzahib al-I’rab wa Falasifah al-Islam fi al-Jinn, Al-Mashu ‘ala al-Jawrabayn, Al-Isti‘nas li Tashhih ankihah an-Nas, An-Nafhah ar-Rahmaniyyah Syarh Matn al-Maydaniyyah fi at-Tajwid, Naqd an-Nasha‘ih al-Kafiyah ‘ala Ta’dil Mu’awiyah, dan Maw’izhah al-Mu’minin min Ihya ‘Ulum ad-Din.
Kitab yang disebut terakhir ini merupakan salah satu karya agungnya bersama tafsir Mahasin at-Ta’wil.
Mau’izhatul Mu’minin adalah kitab yang mengupas sebahagian tema yang termuat dalam kitab Ihya Ulumiddin, karya Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Sebagaimana dikatakan Syaikh Jamaluddin dalam muqaddimahnya, karya ini terlahir dari sebuah kegundahan rekan sesama ulama terkemuka di Damaskus, di dalam memberi pemahaman pengkajian kitab Ihya bagi kalangan awam, yang memang menyukai tema-tema agama yang sederhana namun sulit mengerti. Al-Ihyaseakan hanya dapat memberikan manfaat bagi segelintir orang yang sudah mapan pengetahuan agamanya.
Walhasil, berangkat dari tujuan mulia ini, yakni membumikan kitab Ihya bagi masyarakat, Syaikh Jamaluddin mulai meringkasnya pada tahun 1323 H/1905 M. Ia memilih tema-tema yang sederhana, dengan mengikuti tertib pasalnya sebagaimana kitab aslinya, hingga tersusun menjadi dua juz (jilid).
Nyatanya, kitab ini tidak saja bertujuan untuk kemudahan tersebut, bahkan juga menjadi bahan acuan materi para dai, di dalam memberikan penerangan keislaman bagi masyarakat, hingga kini. Inilah salah satu sumbangsih terbesar yang terasa hingga kini dari pengabdian keilmuan Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi.
Syaikh Jamaluddin wafat pada sore hari Sabtu 23 Jumadal Ula 1332 H/18 April 1914 M dalam usia 48 tahun. Singkatnya batas usia kehidupan Syaikh Jamaluddin bertolak belakang dengan pencapaian keilmuannya. Karyanya jauh melampaui usia. Umur boleh pendek, tapi karya dan aktivitasnya berjejer panjang.
Ulama yang memiliki tujuh orang putra dan putri dari seorang istri ini telah meninggalkan warisan khazanah yang berharga bagi kelanjutan tradisi penulisan ilmu-ilmu keislaman, persis seperti ujarannya yang mendalam, “Sesungguhnya (meninggalkan) sebuah kitab yang tercetak itu lebih baik daripada seribu dai dan penceramah. Karena sebuah kitab dapat dibaca oleh orang yang menyepakati dan yang menyelisihinya.”
AB
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar