“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Di antara ajaran-ajaran Islam yang tidak bisa hanya dipahami lewat akal, melainkan harus benar-benar melibatkan keimanan yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, adalah masalah mukjizat, terutama mukjizat nabi kita. Dari sekian banyak mukjizat beliau, peristiwa Isra Mi‘raj adalah salah satu mukjizat yang paling fenomenal yang mengandung berbagai hal penting dan mengundang beragam sikap orang terhadapnya. Peristiwa ini menjadi ujian berat bagi semua orang di masa itu, baik bagi orang kafir maupun kaum muslimin sendiri.
Kehidupan manusia kala itu masih sangat terbatas, alat-alat transportasi pun masih sangat sederhana dan seadanya. Maka pantas apabila kemudian timbul rasa heran yang sangat mendalam atas berita yang disampaikan oleh Rasulullah SAW itu. Sampai batas ini, keheranan mereka masih dapat dianggap wajar. Tetapi setelah Nabi SAW memberikan bukti-bukti yang memastikan kebenaran berita yang beliau sampaikan, di situlah faktor keimanan sangat menentukan.
Mengenai peristiwa Isra Mi‘raj itu sendiri, di antaranya, Imam Bukhari dalam Shahihnya, Babul Mi‘raj, meriwayatkan, Nabi SAW bersabda, “Ketika aku berada di Hathim — dan ada pula beliau berkata, ‘di Hijir’ — dalam keadaan berbaring, tiba-tiba aku didatangi oleh yang datang, lalu ia memotong....”
Berkata Qatadah, “Aku juga mendengar bahwa Anas berkata, ‘Lalu ia (yang datang itu) membelah antara ini dan ini.’
Aku pun bertanya kepada Jarud, yang berada di sampingku, ‘Apakah yang dimaksud dengan itu?’
Jarud menjawab, ‘Dari bawah lehernya sampai ke bulu ari-arinya.’
Dan aku (Qatadah) mendengar juga bahwa Anas berkata, ‘Dari atas dadanya sampai bulu ari-arinya’.”
(Anas melanjutkan sabda Nabi SAW), “Lalu ia (yang datang itu) itu mengeluarkan hatiku. Kemudian aku dibawakan sebuah bejana dari emas berisi iman. Lalu dicucilah hatiku, lantas diisi, kemudian dikembalikan, kemudian didatangkan seekor binatang yang tubuhnya lebih kecil daripada baghal dan lebih besar daripada himar (keledai), putih rupanya.’
“Jarud bekata kepadanya (Anas), ‘Itu Buraq, wahai Aba Hamzah.’
Anas berkata, ‘Ya.’
(Anas melanjutkan sabda Nabi SAW), “... Binatang itu sekali melangkah sejauh mata. Lalu aku dinaikkan ke atasnya, kemudian Jibril membawaku ke langit dunia (langit pertama), lantas ia minta dibukakan.
Penjaga langit itu bertanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi, ‘Siapa yang bersamamu?’
Jibril menjawab, ‘Muhammad.’
Penjaga itu bertanya lagi, ‘Apakah ia dipanggil untuk menghadap?’
Jibril menjawab ‘Ya.’
Maka diucapakan oleh penjaga itu kata sambutan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang telah datang.’
Lalu penjaga itu membuka langit itu.
Ketika aku melalui langit itu, di sana terdapat Adam. Maka Jibril berkata, ‘Ini ayah engkau, Adam. Ucapkanlah salam kepadanya.’
Lalu aku mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku, lantas ia berkata, ‘Selamat datang, anak yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian Jibril membawaku naik sampai ke langit kedua dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Lalu disambutlah dengan ucapan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’
Penjaga itu pun membuka langit. Maka ketika aku melalui langit itu aku melihat Yahya dan Isa, keduanya adalah misanan dari pihak bibi mereka.
Jibril berkata, ‘Ini Yahya dan Isa, maka berilah salam kepada mereka berdua.’
Maka aku pun mengucapkan salam kepada keduanya dan mereka pun membalas salamku. Mereka berkata, ‘Selamat datang bagi saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian Jibril membawaku ke langit yang ketiga dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Lalu disambut dengan ucapan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’
Maka ketika aku telah melewati langit itu, terdapat Yusuf.
Jibril berkata, ‘Ini Yusuf, sampaikanlah salam kepadanya.’ Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia pun menjawab salamku. Kemudian ia berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit keempat dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana terdapat Idris. Jibril berkata, ‘Ini Idris, sampaikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam kepadanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit kelima dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana terdapat Harun. Jibril berkata, ‘Ini Harun, sampaikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam kepadanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit keenam dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana terdapat Musa. Jibril berkata, ‘Ini Musa, sampaikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam kepadanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Tatkala aku hendak melanjutkan perjalananku, ia menangis, maka ia pun ditanya, ‘Apa yang membuatmu menangis?’
Ia menjawab, ‘Aku menangis karena pemuda yang diutus ini, para pengikut yang masuk ke dalam surga dari umatnya lebih banyak daripada dari umatku.’
Lalu naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit ketujuh dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Ia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana terdapat Ibrahim. Jibril berkata, ‘Ini ayahmu, Ibrahim, sampaikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam kepadanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, anak yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha (semacam pohon bidara), yang buahnya seperti labu negeri Hajar (nama perkampungan di Madinah) dan dedaunannya seperti bentuk telinga gajah. Jibril berkata, ‘Ini Sidratul Muntaha.’
Terdapatlah di sana empat sungai, dua sungai bathin dan dua sungai lahir. Maka aku bertanya kepada Jibril, ‘Apakah kedua-duanya ini, wahai Jibril?’
Jibril menjawab, ‘Dua sungai bathin itu adalah sungai di surga dan dua sungai lahir itu ialah Sungai Nil dan Furat.’
(Bersambung)
“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Kemudian diperlihatkan kepadaku Baitul Ma‘mur, yang mana masuk ke dalamnya pada tiap-tiap hari tujuh puluh ribu malaikat.
Lalu didatangkan kepadaku sebuah bejana berisi arak dan bejana lain berisi susu. Maka aku mengambil bejana yang beris susu. Jibril pun berkata, ‘Inilah kesucian yang engkau dan umatmu berada di atasnya.’
Kemudian diwajibkan atasku shalat lima puluh kali setiap hari.
Lalu aku kembali dan berjalan melewati Musa, lantas ia bertanya, ‘Apakah yang diperintahkan kepadamu?
Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan melaksanakan shalat lima puluh kali setiap hari.’
Musa berkata, ‘Sesungguhnya ummatmu tidak akan sanggup melakukan shalat lima puluh kali setiap harinya. Sungguh aku, demi Allah, telah mencoba manusia sebelum engkau dan sungguh aku sudah menangani Bani Israil dengan sekeras daya upaya dalam menanganinya. Karena itu kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepada-Nya keringanan untuk umatmu.’
Lalu aku kembali, kemudian Dia memberi keringanan sepuluh.
Aku kembali lagi kepada Musa, lalu ia berkata lagi kepadaku seperti tadi.
Maka aku pun kembali menghadap kepada Allah, lalu dikurang sepuluh lagi.
Aku kembali lagi kepada Musa dan ia pun berkata seperti semula.
Maka aku kembali kepada Allah sampai diperintahkan atasku sepuluh kali shalat setiap hari.
Aku pun kembali kepada Musa lalu ia berkata seperti itu lagi.
Aku pun kembali kepada Allah dan diperintahkan kepadaku lima kali shalat pada tiap-tiap hari.’
Aku pun kembali ke Musa dan dia kembali bertanya, ‘Apakah yang diperintahkan kepadamu?’
Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan melakukan shalat lima waktu dalam sehari.’
Kemudian ia berkata, ‘Sesungguhnya umatmu tidak akan mampu melakukan shalat lima waktu dalam sehari. Sungguh aku, demi Allah, telah mencoba manusia sebelum engkau dan sungguh aku sudah menangani Bani Israil dengan sekeras daya upaya dalam menanganinya. Karena itu kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah kepada-Nya keringanan untuk ummatmu.’
Nabi menjawab, ‘Aku sudah memohonnya kepada Tuhanku sampai aku malu karenanya. Aku rela dan menerimanya.’
Setelah aku berlalu, berseru kepadaku Penyeru, ‘Aku telah memutuskan kefardhuan-Ku dan telah Aku ringankan terhadap hamba-hamba-Ku’.”
Riwayat ini hanyalah satu dari banyaknya riwayat yang berkaitan dengan peristiwa Isra Mi‘raj, yang tentunya juga hanya menggambarkan sebagian peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa tersebut.
Demikian pentingnya dan sentralnya makna peristiwa ini, kajian tentangnya pun tidak akan pernah berhenti dibahas dan disikusikan sejak mula masa sahabat, tabi‘in, hingga di zaman sekarang ini. Perhatian para ulama yang begitu besar terhadap masalah ini telah melahirkan karya-karya besar sepanjang masa. Di antara karya-karya itu, sebagaimana dinukilkan dalam kitab Wahuwa fi Ufuq al-A‘la, karya Sayyid Abuya Muhammad Alwi Al-Maliki, adalah As-Siraj Al-Wahhaj fi Haqaiq al-Mi‘raj, karya Al-‘Allamah Al-Musyarik Asy-Syaikh Abu Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi‘i, Kitab Al-Mi‘raj, karya Imam Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi Asy-Syafi‘i, Rasalah fi Al-Mi‘raj, karya Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Khaliyyah Al-Lakhmi, Kitab Al-Isra, karya Imam Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur Al-Maqdisi Al-Jama’ili Al-Hanbali, Al-Ayah al-Kubra fi Syarh Qishah al-Isra, karya Al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Siyuthi Asy-Syafi‘i, Al-Ayah al-‘Azhimah al-Bahirah fi Mi‘raj Sayyid Ahli ad-Dunya wa al-Akhirah, karya Imam Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali Asy-Syami Ad-Dimasyqi Ash-Shalihi, Husn al-Ibtihaj bi al-Isra wa al-Mi‘raj, karya Asy-Syaikh Muhammad ‘Arif Afandi Ad-Dimasyqi, Al-Mi‘raj an-Nabawi, karya Al-‘Allamah Hasan Asy-Syathi, Ikhtisar Mi‘raj asy-Syathi, karya Al-‘Allamah Muhammad Asy-Syathi, Hulal ad-Dibaj al-Matruzah bi Qishah al-Isra wa al-Mi‘raj, karya Al-Faqih Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ar-Rahwani At-Tathwani.
Adalah Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi, ulama terkemuka, guru besar Universitas Al-Azhar, di antara ulama yang dipuji kalangan dunia Islam memiliki kejelian dan pemikiran yang brilian dalam mengungkap rahasia dan hikmah di balik ajaran-ajaran syari’at Islam yang luhur dan tinggi. Demikian halnya pandangannya dalam mengupas dan menggali makna-makna, hikmah, dan rahasia-rahasia di balik peristiwa Isra Mi‘raj Nabi Muhammad SAW. Ia bertutur tentang hikmah dan rahasia dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa Isra’ Mi‘raj.
Qanun Allah
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Mutawalli Asy-Sya‘rawi bertutur, sebagaimana kami nukilkan dari buku Menyingkap Misteri Isra’ dan Mi‘raj, yang diambil dari Diskusi Tahunan Majelis Nur ‘ala An-Nur, asuhan Ustadz Ahmad Farraj, Kairo, Mesir, “Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya. Seorang pembuat televisi, dia pula yang membuat peraturan bagaimana cara menggunakannya dan pemeliharaannya.
Manusia itu ciptaan Allah, maka Dialah yang membuat qanun untuk memelihara manusia itu, Dialah yang membuat qanun untuk memperbaikinya. Allah tidak menciptakan suatu makhluk kemudian ada orang yang ikut campur menciptakan qanun untuk memeliharanya. Karena yang demikian itu seperti halnya saya membawa televisi kepada jagal untuk memperbaikinya. Maka yang menciptakan qanun untuk memelihara dan menjaga sesuatu, dia pula yang menciptakan sesuatu itu.
Allah SWT berfirman, ‘Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan yang kamu rahasiakan), padahal Dia Maha-Teliti lagi Maha Mengetahui?’ (Al-Mulk: 14).
Perlu Anda ketahui, semua tasyri’ (hukum) buatan manusia, jika Anda berbaik sangka bahwasannya mereka bermaksud untuk kebaikan dan ishlah, selalu dihadapkan kepada perubahan dan pergantian, selalu timbul dan tenggelam, lenyap digantikan oleh yang lain lagi. Dan qanun buatan manusia itu bisa berlaku jika ada kekuasaan untuk memaksakannya. Manakala kekuasaan itu itu tidak ada, qanun buatannya itu tidak berlaku lagi.
Ingin saya katakan kepada orang-orang yang membuat qanun itu, sesungguhnya qanun ciptaan manusia itu telah membuat peratutan tertentu terhadap jiwa manusia. Namun, apakah Anda mengetahui hakikat qanun itu? Mungkin Anda mengetahui salah satu seginya, tetapi segi-segi lainnya tidak Anda ketahui.
Manusia itu bukannya cuma berupa perut dan lambung, bukan cuma akal, yang mungkin bebal atau pandai, bukan cuma perasaan. Ia mempunyai malakah(watak/karakter) yang bermacam-macam, dan Anda pun sampai sekarang tidak mengetahui apakah hakikat karakter itu. Mengapa Anda membuat qanun untuk sesuatu yang Anda sendiri tidak mengetahui masalahnya? Oleh karena itu, orang yang membuat qanun untuk sesuatu, harus mengetahui dan mengerti ihwal sesuatu itu.
Manusia mempunyai malakah yang bermacam-macam. Apabila menghadapi masalah, jiwanya berguncang. Kita ambil contoh sekelompok masyarakat yang menganggap tatanan perekonomian sebagai segala-galanya di dunia ini yang mana nilai kehidupan ini hanya diukur dengan ekonomi, sehingga masing-masing orang berusaha sekeras-kerasnya untuk mencari kemewahan dan kesenangan diri pribadi, yang di balik itu juga muncul berbagai keguncangan bathin, persaingan yang tidak sehat, dan timbul pula berbagai penyakit moral.
Ini sebagai bukti bahwa perut bukanlah segala-galanya, materi bukan segala-galanya. Karenanya, meskipun segala kebutuhan perut dan kebutuhan materi sudah terpenuhi, kebutuhan spiritual belum teratasi juga, sehingga kadang-kadang orang melakukan bunuh diri, sebagai jalan pintas untuk mengakhiri drama tragedi dalam kehidupan dunia ini.
Sebab terjadinya perbuatan terkutuk semacam ini adalah karena keguncangan bathin semata-mata. Namun orang yang berguncang bathinnya itu sendiri tidak tahu di mana sumber keguncangannya itu dan bagaimana cara mengobatinya. Karena itulah Allah SWT mengutus para rasul untuk mengatur tata kehidupan dunia ini dengan qanun-Nya supaya mereka selamat. Jika demikian tugas para rasul itu, akan terlahirlah dari mereka qanun dalam bidang ekonomi, politik, bidang keilmuan, bidang kemasyarakatan, dan bidang akhlaq.
Kemudian timbul pula qanun di bidang taat budi, yang mana dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Bertaqarrublah kamu kepada-Ku dengan cara begini, begini,” yang mana akal tidak punya wewenang untuk ikut campur di dalamnya, karena Allah hanya berkata kepada Anda, misalnya, “Bertaqarrublah kepada-Ku dengan melakukan shalat lima waktu dengan cara-cara yang sudah ditentukan.”
Tetapi dengan qanun-qanun lain yang berhubungan dengan kemasyarakatan , masalah sosial dan politik, dan sebagainya, bolehlah Anda mempertimbangkannya dengan rasio Anda dan boleh juga Anda membandingkannya dengan ahli perekonomian dan lain-lain di dunia ini, misalnya. Niscaya akan Anda dapati bahwa qanun yang telah ditetapkan oleh Islam adalah yang lebih unggul dan lebih baik. Jadi dalam masalah ubudiyah, Anda harus menerimanya tanpa reserve, dan dalam masalah mu’amalah atau kemasyarakatan Anda boleh mempergunakan akal pikiran untuk menimbang dan membandingkannya dengan tata aturan yang lain, toh nanti Anda akan sampai pada kesimpulan bahwa peraturan itu lebih unggul.
Kita ambil suatu contoh tentang peraturan talak dalam Islam, yang orang-orang nonmuslim mencela Islam, yang memperbolehkan talak ini, namun mereka merasa kesulitan untuk memecahkan problem rumah tangga yang sangat pelik. Oleh karena itu, seperti yang terjadi di Italia, mereka mengakui bahwa satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah rumah tangga yang sangat pelik dan ruwet itu adalah dibolehkannya talak. Sebab dengan tidak dibolehkannya talak, akan menimbulkan keadaan yang lebih buruk dalam rumah tangga yang sudah tidak sejalan lagi itu.
Dari sini sudah dapat diketahui bahwa, apabila mereka mengahadapi jalan buntu dalam memecahkan problematik hidup ini, mereka selalu kembali pada garis-garis yang ditentukan oleh Islam.
Misalnya lagi di Amerika. Pihak pemerintah telah menghabiskan berjuta-juta dolar untuk menanggulangi minuman keras, namun agama Islam sejak kehadirannya telah mengharamkan minuman keras tersebut.
Contoh lain lagi ialah tentang poligami. Mereka mencaci maki Islam karena memperbolehkan poligami. Namun sekarang mereka sendiri mengakui akan kebaikan poligami ini dibandingkan dengan peraturan yang ada pada mereka.
Kemudian jika Anda jumpai dalam aturan perekonomian mereka ada peningkatan, niscaya peningkatannya itu ada pada tatanan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Oleh karena itu peraturan Islam ini adalah melalui jalan yang paling dekat, tidak berbelit-belit dan berliku-liku, sebab ia adalah qanun ciptaan Tuhan, yang menciptakan manusia, qanun dan tata aturan yang disampaikannya kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya.
Peraturan-peraturan yang dibawa para rasul itu sering dibarengi dengan penjelasan praktis. Begitu pula dengan teori fisika misalnya, disertai dengan penjelasan-penjelasan praktis sebagai pembuktiannya. Misalnya teori bahwa benda itu mengembang apabila kena panas, maka kita perlu memberi penjelasan praktis, yaitu kita buat suatu lingkaran dengan sebuah bola dari tambang dengan ukuran yang bola tersebut bisa masuk ke dalam lingkaran itu dengan tidak terlalu longgar, setelah itu bola tersebut kita bakar (panaskan) lalu kita masukkan kembali ke dalam lingkaran tadi, maka bola tersebut tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, karena mengembang terkena panas. Begitulah teori-teori tersebut dijelaskan dengan alat-alat bantu agar mudah dipahami, dan akan lebih mudah dicerna jika dijelaskan dengan penjelasan-penjelasan praktis.
“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Lambang Kesucian
Karena itulah dalam peristiwa Isra dan Mi’raj itu Rasulullah SAW diperlihatkan kepada bebagai peristiwa praktis. Masalah pertama yang dikemukakan kepada kita ialah masalah fithrah dan perubahan terhadap fithrah. Dalam pada itu dihidangkan kepada Rasulullah SAW sebuah gelas berisi susu dan sebuah lagi berisi arak, kemudian Rasulullah SAW memilih susu.
Ketika dilihat bahwa Rasulullah SAW memilih susu, Malaikat Jibril berkata, “Engkau telah ditunjukkan kepada fithrah.”
Apa maksud perkataan Jibril yang demikian itu? Karena fithrah pada tabiatnya ialah suci bersih, dan susu asli yang kita isap dari ibu kita atau kita minum dari binatang ternak itu bersih dari unsur campur tangan manusia. Apabila kita minum susu itu sebagaimana keadaannya yang masih asli, belum bercampur dengan sesuatu pun, susu itu masih fithrah (murni).
Namun, mengenai arak, kita membikinnya dari rizqi yang baik, yakni anggur, lalu kita campuri dengan bahan lain dan kita busukkan, yang mana, setelah melalui proses yang bermacam-macam, kemudian barulah menjadi arak, di samping ada juga buah-buahan sebagai rizqki yang baik. Kalau kita membuat anggur menjadi arak, berarti kita telah mengeluarkan anggur tersebut dari fithrahnya. Maka itulah, dalam masalah ini, Al-Qur’an mengatakan, ”Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizqi yang baik.” — QS An-Nahl: 67.
Ya, dari kurma dan anggur itu mereka bikin minuman keras, di samping mereka jadikan sebagai rizqi yang baik. Lihatlah pada kata “rizqi” yang diiringi dengan kata sifat “baik” sedangkan minuman keras/memabukkan tidak diiringi dengan kata sifat apa-apa, karena minuman keras itu tidak baik.
Andai kata di situ dikatakan bahwa dari buah kurma dan anggur kamu buat minuman yang memabukkan dan rizqi yang “lebih baik”, berarti minuman keras itu masih termasuk “baik”. Namun karena kata “rizqi” di sini hanya disifati dengan kata “baik”, yang merupakan awan kata “buruk”, hal ini menunjukan bahwa minuman keras itu tidak baik, memabukkan, dan merusak akal.
Mengapa oleh Jibril dikatakan ‘Engkau telah ditunjukan kepada fithrah’?, karena pada dasarnya akal itulah yang dapat menerima tugas-tugas kewajiban dari Allah SWT, sedangkan minuman keras itu dapat menutup akal sehingga tidak befungsi lagi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang nota bene tidak mengerti lagi beban kewajiban yang di-taklif-kan (diwajibkan) oleh Allah SWT kepadanya.
Jadi Nabi SAW memilih susu itu adalah sebagai lambang kesucian, yakni kita harus senantiasa mensucikan akal pikiran kita dari pengaruh-pengaruh destruktif, agar dapat melaksanakn tugas kewajiban kita dengan baik.
Kemudian pada peristiwa-peristiwa berikutnya yang disaksikan Rasulullah SAW itu juga selalu ditekankan pentingnya akal.
Misalnya tentang jihad, zakat, dan shalat, yang mana untuk melaksanakan semua kewajiban ini disyaratkan adanya akal yang sehat. Seakan-akan Allah mengatakan, “Sesungguhnya tabiat fithrah itu adalah salimah (sehat, sejahtera, bersih), karena itu jangan kamu rusakkan dengan amal perbuatanmu. Susu ini adalah sebagai lambang fithrah (kesucian), sedangkan arak itu adalah sebagai lambang perbuatanmu yang destruktif, yang dapat merusakkan fithrah tersebut.”
Akal adalah nikmat yang sangat besar dari Allah SWT yang dengan nikmat inilah manusia berbeda kedudukannya dari binatang. Namun kadang-kadang ada juga manusia yang sengaja merusak akalnya dengan minuman keras ini agar dia terlepas dari taklif (tugas kewajiban) yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, atau sebagai upaya melepaskan diri (lari) dari kesulitan.
Terhadap orang yang memiliki sikap seperti itu, kita katakan, “Sesungguhnya problematik hidup itu tidak dapat diatasi dengan cara melarikan diri darinya. Satu-satunya cara yang terbaik untuk memecahkannya adalah hadapi masalah tersebut dengan sungguh-sungguh, jangan lari darinya....”
Allah SWT tidak menghendaki bila Anda melalaikan persoalan hidup Anda dengan berlari darinya dan menutup akal Anda dengan arak (khamr). Hadapilah segala persoalan hidup Anda dengan akal dan pikiran Anda. Karena akal pikiran Anda pergunakan untuk memecahkan berbagai persoalan hidup, jagalah akal Anda dengan sebaik-baiknya, agar tetap sehat dan sejahtera, dari segala bentuk perbuatan negatif dan destruktif. Pupuklah ia dengan perbuatan-perbuatan positif dan konstruktif. Inilah sebabnya, Allah SWT meletakkan peristiwa ini pada mula pertama terjadinya Isra ini.
Imbalan yang Terus-menerus
Setelah itu kita dapati pemandangan yang lain, Rasulullah SAW menjumpai suatu kaum yang bercocok tanam lalu mengetamnya pada hari itu juga, bahkan setelah diketam tumbuh kembali, diketam lagi tumbuh lagi, dan begitulah yang terjadi berulang-ulang. Pada waktu itu beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Siapa gerangan mereka itu?”
Dijawab oleh Jibril bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Yang demikian ini adalah karena jihad itu merupakan wasilah yang menyampaikan petunjuk Allah SWT kepada makhluk-Nya. Jihad fi sabilillah berarti juga melapangkan jalan atau mengalirkan dakwah yang datang dari Allah SWT kepada manusia supaya mereka memperoleh petunjuk, karena itu wajarlah jika para mujahid itu memperoleh hasil tanaman yang berlipat ganda.
Mengapa mereka mendapatkan imbalan yang terus-menerus? Karena mereka telah berjuang mencurahkan harta dan tenaga serta pikirannya, sehingga layaklah jika Allah SWT menggantikan apa yang telah dikorbankannya itu, bahkan balasan Allah SWT ini adalah berdasarkan kemahakuasaan-Nya. Sehingga tak mengherankan lagi jika Dia memberikan pahala yang berlipat ganda.
Maka apabila Anda berjuang menyebarkan dakwah Islamiyah kepada umat manusia, pada waktu itu Anda mendapat pahala dari Allah SWT. Kemudian apabila orang-orang yang Anda dakwahi itu memperoleh petunjuk karena dakwah Anda atau mengamalkan apa yang Anda dakwahkan, Anda pun mendapat pahala lagi sewaktu mereka mengamalkannya sebanyak bilangan mereka yang memperoleh petunjuk atau yang mengamalkannya.
Jadi di sini Anda memperoleh pahala yang berkesinambungan, terus-menerus. Oleh karena itu peristiwa yang diperlihatkan kepada Rasulullah SAW pada malam Isra itu adalah sebagai penjelasan praktis terhadap hakikat masalah ini.
Allah SWT berfirman, “Apa pun yang kalian belanjakan, pasti Allah SWT akan menggantinya.” — QS Sana: 39.
Tak disangsikan lagi, manusia mengeluarkan sesuatu itu adalah karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik lagi. Misalnya seorang petani yang mempunyai dua gantang gandum, kemudian ketika datang musim tanam gandum tersebut ditanamnya satu gantang sehingga sudah barang tentu gandumnya itu menyusut, tinggal satu gantang. Namun demikian gandum yang ditanamnya tadi akan menjadi berkali-kali lipat saat ia mengetamnya. Bahkan ada juga sebutir biji bisa berlipat ganda menjadi tujuh ratus biji.
Begitulah pelipatgandaan yang diberikan oleh bumi atau tanah yang ditanaminya itu, yang mana tanah merupakan salah satu di antara makhluk-makhluk Allah SWT. Maka bagaimana lagi pelipatgandaan yang langsung diberikan oleh Allah kepada para mujahid itu?
Karena itu, jika Anda memberikan harta dan menumpahkan darah Anda, wahai mujahid, apa yang Anda keluarkan dan korbankan itu akan menjadi lebih baik lagi di sisi Allah. Kalau semua usaha itu membuahkan hasil yang tampak, sebagai hasil jihad itu ialah kemanfaatannya yang merata bagi seluruh umat manusia.
Setelah itu Allah Ta’ala menampakkan pemandangan yang lain lagi, yaitu dunia yang kita kenal sebagai perhiasan, tetapi juga sebagai sesuatu yang melalaikan, dan sebagai permainan.
Allah SWT berfirman, “Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak pinak, kekayaan yang melimpah ruah dari emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang...” — QS Al-Imran: 14.
sumber:
|
Home »
Hubbun Nabi
» Sejuta Hikmah Isra dan Mi‘raj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar