Siapa yang tidak kenal dengan cerita Aladin dan Lampu Wasiat, Ali Baba
dengan Empat Puluh Penyamun, dan Sindbad si Pelaut. Apalagi sejak
ditayangkan secara visual di layar kaca ataupun layar perak produksi
Holywood. Semuanya pasti setuju bahwa kisah itu diambil dari Kisah
Seribu Satu Malam. Kisah yang amat terkenal dari abad-abad lampau hingga
saat ini. Tapi tahukah Anda bahwa kisah itu adalah cuma terjemahan saja
dan bukan buatan sastrawan-sastrawan ternama pada puncak kejayaan
Baghdad?
Saat itu Kekhalifahan Abbasiyah berada pada puncak tangga tamadun.
Politik, agama, ekonomi, sosial, budaya, dan di segala bidang lainnya
mengalami kemajuan pesat daripada masa-masa sebelumnya. Salah satunya
adalah di bidang sastra. Berbeda dengan pada masa Bani Umayyah yang
hanya mengenal dunia syair sebagai titik puncak dari berkesenian—ini
dikarenakan pula Bani Umayyah adalah bani yang sangat resisten terhadap
pengaruh selain Arab, maka pada zaman Bani Abbasiyah inilah prosa
berkembang subur. Mulai dari novel, buku-buku sastra, riwayat, hikayat,
dan drama.
Bermunculanlah para sastrawan yang ahli di bidang seni bahasa ini baik
pusi maupun prosa. Dari yang ahli sebagai penyair (seperti Abu Nuwas),
pembuat novel dan riwayat (asli maupun terjemahan), hingga pemain drama.
A Hasymy dalam bukunya berjudul Sejarah Kebudayaan Islam mengungkapkan
perkembangan salah satu seni sastra itu yakni tentang novel terjemahan.
Di sana disebutkan bahwa kebanyakan novel diterjemahkan dari bahasa
Persia dan Hindi. Ada yang sesuai dengan aslinya atau diterjemahkan
dengan ditambahkan perubahan-perubahan bahkan disadur.
Salah satu novel terjemahan yang termasyhur itu adalah Alfu Lailah Wa
Lailah. Novel ini berupa hikayat yang disadur dari bahasa Persia sebelum
abad IV Hijriyah. Walaupun bentuknya saduran namun menceritakan tentang
kehidupan mewah masyarakat Islam pada masa itu.
Dalam Ensiklopedi Islam Jilid I (EI1) disebutkan pula tentang hikayat
ini bahwa ia berasal dari kumpulan cerita berbahasa Persia yang berjudul
Hazar Afsanak (Seribu Cerita) yang ditulis ulang oleh Abdullah bin
Abdus al-Jasyyari (942 M).
Ada yang berpendapat bahwa hikayat ini ditulis oleh lebih dari satu
orang pada periode yang berbeda, berikut periode tersebut (EI1 hal.106):
- Bentuk pertama adalah terjemahan harfiah dari Hazar Afsanak,
diperkirakan berjudul Alf Khurafat (Seribu Cerita yang Dibuat-buat);
- Bentuk kedua Hazar Afsanak dengan versi Islam berjudul (Seribu Malam), pada abad 8;
- Bentuk ketiga berupa cerita Arab dan Persia dibuat pada abad 9;
- Bentuk keempat adalah susunan al-Jasyyari pada abad ke-10 yang mencakup Alf lailah dan cerita-cerita lain;
- Bentuk Kelima kumpulan yang diperluas dari susunan al-Jasyyari dengan
tambahan cerita-cerita Asia dan dan Mesir, abad ke-12, pada periode ini
judul itu berubah menjadi Alfu Lailah Wa Lailah
- Bentuk Keenam adalah Alfu Lailah Wa Lailah ditambah dengan cerita-cerita kepahlawanan dinasti Mamluk sampai awal abad ke-16.
****
Kisah atau hikayat yang diceritakan itu ada yang mengenai jin, kisah
percintaan, legenda, cerita pendidikan, cerita humor, dan anekdot.
Kebanyakan berlatar belakang kehidupan istana di Baghdad, Syam, dan
Mesir (EI1 hal. 107).
Secara garis besar kisahnya adalah sebagai berikut:
Kisah ini dituturkan dngan gaya bercerita oleh Syahrizad, istri Raja
Syahriyar, yang bercerita atas permintaan adiknya, Dunyazad, dan
didengarkan oleh sang raja. Syahrizad bercerita agar sang raja tidak
melakukan pembunuhan terhadap istrinya.
Disebutkan bahwa Raja Syahriyar dan adiknya, Raja Syahzaman, pada
mulanya adalah raja yang adil selama 20 tahun pemerintahannya, namun
kemudian berubah menjadi raja yang kejam yang membunuh setiap wanita
yang dikawininya pada malam pertama pernikahan. Perubahan sifat raja
berawal dari penyelewengan istrinya dan penyelewengan istri adiknya yang
melakukan perzinahan dengan budak berkulit hitam sewaktu raja pergi
berburu. Perbuatan itu dilihatnya sendiri karena ia tiba-tiba pulang
untuk mengambil sesuatu yang terlupa. Istrinya yang berkhianat dan budak
itu dibunuhnya. Ketika ia berada di negeri adiknya, Syahzaman, ia juga
melihat perbuatan seorang istri adiknya dengan budak berkulit hitam
sewaktu adiknya tidak berada di rumah.
Syahriyar menjadi orang yang tidak percaya pada setiap wanita.
Dendamnya pada wanita dilampiaskannya pada gadis-gadis yang dinikahinya.
Setelah beberapa lama, di negeri itu sudah tidak didapatkan lagi gadis
yang akan dipersembahakan kepada raja, kecuali puteri wazir, yaitu
Syahrizad.
Syahrizad bersedia dinikahkan dengan raja untuk menyelamatkan nyawa
wanita-wanita yang lain. Syahrizad digambarkan sebagai wanita cerdas
yang banyak membaca cerita, hikayat, dan kisah lama. Sejak malam pertama
sampai malam ke 1001, ia bercerita berbagai cerita secara bersambung
sampai subuh dan bila siang hari ia tidak bercerita. Dengan
cerita-cerita ini akhirnya raja sadar dan insaf, dan puteri Syahrizad
selamat dari pembunuhan. (EI1 hal. 107)
****
Penyebaran Alfu Lailah Wa Lailah ke Eropa dalam bahasa Perancis
dilakukan pertama kali oleh sarjana Perancis, Jean Anthoni Galland.
Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikenal dengan judul
The Arabian Nights.
Singkatnya baru pada tahun 1896 buku yang diterbitkan oleh percetakan
negara Bulaq—dekat Kairo, diberi gambar oleh Husyain Biykar. Edisi Bulaq
inilah yang di kemudian hari menjadi patokan dalam penterjemahan ke
dalam bahasa-bahasa terkenal dunia. (EI1 hal 106).
Namun sayangnya penggambaran-penggambaran itu membuat 1001 Malam lebih
berubah. Dulu sekali, dalam sebuah film barat yang judulnya saya lupa,
di salah satu adegannya diceritakan tentang seseorang yang sedang
membaca buku 1001 Malam yang dipenuhi dengan gambar-gambar vulgar dari
orang bersurban (sultan?) sedang berhubungan intim dengan lawan jenis.
Jadi pada saat ini kisah 1001 malam (versi barat) tidak bedanya dengan
kisah-kisah porno. Tapi entahlah, saya belum pernah memegang buku itu
sekalipun, baik dalam versi asli maupun terjemahan dalam Bahasa
Indonesia. Saya hanya tahu kisah itu dari dongeng-dongeng yang
bertebaran di majalah Ananda dan Bobo, dulu. Namun dari film-film kartun
produksi Holywood, setidaknya kita bisa berpikir dan bertanya dalam
hati sudah Islamikah? Tentu tidak.
Betul 1001 Malam muncul pada saat kejayaan umat Islam mencapai
puncaknya di Baghdad sehingga stereotip yang ada adalah bahwa 1001 Malam
adalah sastra Islam, namun dengan melihat kenyataan yang ada, patutkah
ini disebut sastra Islam atau sastra bersumberkan Islam?*) Sedangkan
sastra bisa dikategorikan sebagai ‘sastra bersumberkan Islam’ bila ianya
mengusung nilai-nilai universal yang tak bertentangan (atau malah
sesuai) dengan ajaran Islam.(Helvi: 2003).
Allohua’lam.
*)Pada saat masa puncak itulah terjadi pertentangan antara ulama-ulama
terpercaya dengan para seniman yang mulai beraninya (dengan dukungan
para pejabat istana tentunya) mengembangkan seni yang dilarang pada
masa-masa awal atau masa sebelumnya (dinasti Umayyah) yakni bermain
musik, bermain drama dengan peran wanita dipertontonkan di hadapan
penonton pria, kubah-kubah istana dan kaligrafi-kaligrafi bergambar
makhluk hidup, dan patung-patung manusia.
Maraji’:
C Israr; Sejarah Kesenian Islam; Bulan Bintang; 1978;
A Hasymy; Sejarah Kebudayaan Islam; Bulan Bintang; 1995;
Ensiklopedia Islam Jilid 1; PT Ikhtiar Baru Van Hoeve; 1999;
Helvy Tiana Rosa; Segenggam Gumam; PT Syaamil Cipta Media; 2003;
Philip K. Hitti; History of The Arabs; PT Serambi Ilmu Semesta; 2005
C Israr; Sejarah Kesenian Islam; Bulan Bintang; 1978;
A Hasymy; Sejarah Kebudayaan Islam; Bulan Bintang; 1995;
Ensiklopedia Islam Jilid 1; PT Ikhtiar Baru Van Hoeve; 1999;
Helvy Tiana Rosa; Segenggam Gumam; PT Syaamil Cipta Media; 2003;
Philip K. Hitti; History of The Arabs; PT Serambi Ilmu Semesta; 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar