Pada awal abad ke-8 M, dalam dunia sejarah sastra Arab, sesungguhnya kegiatan menulis prosa sudah dimulai saat dinasti Umayah berkuasa. Ini dapat dibuktikan dengan adanya karya besar Ali bi Abi Thalib, yakni Nahj Al Balaghah. Karya besar ini sebenarnya berbentuk prosa akan tetapi orang-orang Arab tidak berpandangan demikian. Prosa tidak begitu berkembang disebabkan, pada saat Dinasti Umayyah berkuasa, para penguasa terlalu menempatkan dan memposisikan bangsa Arab dalam kegiatan di bidang sastra dan intelektual sehingga mereka menganggap bahwa sastra Arab adalah sastra yang paling unggul dibanding dengan sastra-sastra lainnya. Akhirnya penulisan prosa tidak begitu berkembang karena mereka lebih berminat dan senang untuk menulis puisi dari pada prosa. Namun keadaan ini berubah saat peralihan kekuasaan dari Dinasti Umayyah ke tangan Dinasti Abbasiyah. Pada saat itulah prosa mengalami perkembangan dan kemajuan. Para khalifah Abbasiyah mulai memberikan kesempatan dan peluang kepada orang-orang non-Arab (‘Ajm) untuk ikut andil dalam kegiatan penulisan di bidang sastra dan intelektual. Hal ini tidak seperti yang terjadi pada masa dinasti Umayyah berkuasa,
yang hanya memprioritaskan orang-orang Arab dalam kegiatan di bidang sastra. Pada masa Abbasiyah, penulisan di bidang sastra mulai melibatkan orang non-Arab, yang sudah menguasai bahasa Arab, khususnya penulis Persia karena mereka juga mempunyai tradisi lama dalam sastra, khususnya dalam penulisan prosa yang kemungkinan dapat terus mengembangkan prosa saat itu.Ketika Dinasti Umayyah berkuasa, penulisan prosa berkembang begitu lambat karena hanya sebatas merekam, mencatat, dan mengumpulkan hadist-hadist Nabi serta peperangan yang terjadi saat itu. Penulisan prosa mulai berkembang pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Disebutkan bahwa sepanjang dinasti Abbasiyah, ada tiga jenis prosa yang berkembang saat itu. Yaitu, al-Qishas (kisah), al-Maqamat, dan al-Tawq’at. Pertama al-Qishas adalah genre sastra yang belum pernah dikenal dalam tradisi jahiliyah walaupun mereka mempunyai cerita-cerita yang disampaikan secara lisan. Al-Qur’an sangat mendorong dan mempengaruhi karya ini. Misalnya kisah-kisah yang tercantum di dalamnya yakni, Qisah al-Anbiya atau kisah para Nabi, ada pula cerita berbingkai seperti Kalilah Wa Dimnah, dll. Kedua, al-Maqamat yaitu himpunan cerita-cerita pendek. Ketiga, al-Tawq’at yaitu genre yang digemari hingga saat ini dan merupakan karangan yang ringkas dan indah bahasanya.Itulah tadi jenis-jenis prosa yang tidak dibahas secara detail. Namun dalam tulisan ini sedikit banyak hanya akan membahas salah satu contoh jenis prosa pertama yakni al-Qishas yang ditulis dalam bentuk fabel atau cerita berbingkai yaitu Kalilah Wa Dimnah oleh Ibnu Al-Muqoffa’. Walaupun karya tersebut adalah terjemahan dari karya Baidaba, filosof India, namun Ibnu Al-Muqoffa’ menjadikan karya tersebut begitu masyhur tanpa mengubah makna yang terkandung di dalam karya aslinya. Hal ini disebabkan relevansi karyanya begitu menonjol dibanding karya penulis-penulis lain sezamannya. Karya tersebut begitu berpengaruh terhadap perkembangan sastra Arab dan juga terhadap sastra dunia. Karya ini merupakan prosa yang menggemakan nilai etis-moral dan religiusitas bagi masyarakat dan di dalamnya tidak hanya tersurat bacaan akan tetapi juga tersirat tuntunan. Dalam tulisan ini terdiri dari beberapa bagian. Pertama, pendahuluan. Pada bagian yang kedua, pembahasan yang terdiri; sejarah hidup Ibnu al-Muqoffa’ beserta karya-karyanya, sejarah teks, sejarah terjemahan, kronologis cerita, Karya titik temu dunia Timur dan Barat. Pada bagian terakhir, berupa kesimpulan.
Sejarah Hidup Ibnu Al-Muqoffa’ dan karya-karyanya
Ibnu al-Muqoffa’ hidup dan tumbuh pada saat terjadi pergolakan dan
konfilk di masyarakat. Saat itu terjadi peralihan kekuasaan dari Dinasti
Umayah ke tangan Dinasti Abbasiyah, yang ditandai dengan terjadi banyak
konflik. Maka pada saat itu keadaan politik di dunia Islam carut-marut
dengan kondisi tersebut. Kehidupan umat Islam dan masyarakat Arab terus
mengalami pergolakan yang berkepanjangan sehingga akhirnya Dinasti
Abbasiyah dapat meraih tampuk kekuasaan dari Dinasti Umayyah. Ibnu
al-Muqoffa’ dilahirkan di sebuah kampung dekat Shiraz, Persia, sekitar
tahun 80 H. Ia dilahirkan dari dua darah kebudayaan. Ayahnya, Dzazuwih
berdarah Persia dan ibunya berasal dari keturunan bangsa Arab. Maka dari
sinilah ia banyak mewarisi dua kultur tersebut. Sehingga ia bertekad
untuk menjembatani dari dua peradaban tersebut, yakni peradaban Persia
dan Arab.
Sebenarnya nama Ibnu al-Muqoffa’ yang asli adalah Ruzbah. Ketika ia
masih muda dinamakan Kunyah Abu Amru. Namun setelah masuk Islam Ia
bernama Abdullah. Sedangkan nama Ibnu al-Muqoffa’ adalah julukan bagi
ayahnya. Dazuwih adalah ayahnya yang beragama Majuzi. Ayahnya bekerja
dan mengabdi kepada Gubernur Hajjaj Yusuf al-Thaqafi, sebagai pemungut
pajak. Namun setelah lama bekerja, ayahnya tertangkap basah
menyalahkangunakan dana hasil pemungutan pajak. Sehingga ia dihukum dera
tangannya sampai lumpuh. Maka mulai saat itulah Dazuwih dijuluki
al-Muqoffa’ yang berarti Si Lumpuh. Nama itu kemudian disandarkan kepada
Ibnu al-Muqoffa’.Sejarah kehidupannya tidak banyak diketahui akan
tetapi sedikit banyak disebutkan dalam beberapa literarur bahwa Ibnu
al-Muqoffa’ dikenal sebagai sosok yang memilki kepribadian yang agung
dan terpuji, luas pengetahuannya, dan ia juga dikenal sebagai pribadi
yang terpadu dan memiliki latar budaya Islam yang luas serta seorang
pemikir yang menjembatani antara perdaban Persia dan Arab. Ia juga
menguasai berbagai bahasa seperti Bahasa Arab, Suryani, Pahlewi,
Sankrit, dan Yunani. Dia banyak mendalami dan mempelajari sejarah dan
Peradaban Persia Lama dan ia juga gemar membaca naskah-naskah lama
dengan kemampuannya tersebut. Selain itu dalam karirnya, ia dikenal
sebagai juru tulis istana kerajaan.Ketika berusia belasan tahun
keluarganya pindah ke Basrah dan di sini ia memperdalam penguasaannya
terhadap Bahasa Arab. Basrah ketika itu telah merupakan pusat
pengetahuan dan kebudayaan Islam. Di kota ini terdapat pasar Mirbad
yang merupakan tumpuan para ulama, cerdik cendikia dan sastrawan untuk
berkumpul dan saling memperbincangkan falsafah, agama dan ilmu
pengetahuan.[1]Pada
saat Dinasti Abbasiyah berkuasa Ibnu al-Muqoffa’ memulai gerakan
penulisannya dengan menjadi juru tulis kerajaan, yang ibukotanya
berpusat di Baghdad. Akhirnya ia pun pindah ke sana dan melibatkan diri
dengan kaum kerabat al-Manshur, khalifah Abbasiyah, setelah mendapat
posisi penting sebagai juru tulis kerajaan, yang diangkat oleh Gubernur
Isa bin Ali di Kirman dan saat itu juga Ia memeluk agama Islam. Namun
pada akhir hayatnya banyak orang yang menuduhnya sebagai Zindiq.
Mereka memfitnah Ibnu al-Muqoffa’ zindiq karena mereka mempertanyakan
dan mensangsikan tentang keyakinannya dan keislamannya dalam beragama
Islam. Ia harus rela meninggal di tangan Sufyan bin Mu’awiyah pada tahun
143 H dalam usia 60 tahun, sebagai konsekuensi atas nilai dan
keyakinannya. Dihukum mati atas tuduhan zindiq sebagai fitnah belaka,
orang yang tidak suka terhadapnya.Walaupun akhir hayatnya begitu
mengharukan, namun buah karyanya tidak dapat dilupakan akan tetapi
sebaliknya menjadi legenda untuk semua orang. Buah karyanya begitu
masyhur, hingga sampai saat ini pun kita dapat menikmati karya-karyanya
itu.
Karya-karya Ibnu al-Muqoffa’ sangat banyak namun dikatakan bahwa
karyanya yang sampai saat ini ada, hanya berjumlah lima buah yakni:
Pertama, Al-Adab al-Shagir atau adab kecil
Kedua, Al-Adab al-Kabir atau adab besar
Ketiga, Risalah Al-shahabat atau uraian tentang persahabatan
Keempat, Al-Yatimah Fi Taat al-Sulthan
Kelima, Kalilah Wa dimnah
Namun dari sekian banyak karyanya yang berupa terjemahan, Kalilah Wa Dimnah
begitu masyhur sampai saat ini. Karyanya ini diterjemahkan dari Bahasa
Persia ke Bahasa Arab. Walaupun karyanya tersebut adalah berupa
terjemahan dari Baidaba, namun Ia tidak mengubah isi yang terkandung di
dalam karya aslinya. Ia hanya menyisipkan beberapa cerita-cerita dalam
karya tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar