Ia meletakkan fundamen tema bahasan ilmu nahwu yang baru, yang belum pernah dikaji ahli nahwu sebelumnya, seperti bahasan na‘ibul fail, badal muthlaq, dan al-mu’arraf bi adatit ta’rif.
Bagi banyak pelajar bidang agama dan santri, Alfiyyah adalah kitab yang sudah tidak asing lagi. Nama kitab ini identik dengan kitab standar ilmu nahwu yang mereka pelajari di bangku-bangku madrasah dan pesantren.
Namun jangan terkecoh dulu, nama kitab Alfiyyah ternyata juga ada pada bagian fan keilmuan lainnya. MisalnyaAlfiyyah Ibn Sina dalam ilmu dasar kedokteran, Alfiyyah Al-‘Iraqi dan Alfiyyah As-Suyuthi dalam ilmu mushthalah hadits, Alfiyyah Ibn Al-Barmawi dalam ilmu ushul fiqh, Alfiyyah Al-Qubaqibi dalam ilmu balaghah. Jadi ketika seseorang menyebutkan nama kitab Alfiyyah, tidak serta merta itu berkaitan dengan buku pelajaran ilmu nahwu.
Kata alfiyyah diambil dari kata alf, yang artinya “seribu”. Lalu dijadikan kata sifat dengan tambahan ya` dan ta` marbuthah, yang mengandung arti “ribuan”. Kemudian alfiyyah menjadi istilah yang berkaitan dengan kitab prosa, berkaitan dengan bait-bait syair dengan tema keilmuan beraneka ragam, mulai dari syair pujian hingga ilmu kedokteran, yang jumlah baitnya mencapai seribu bait lebih atau kurang sedikit. Tujuan gaya penulisan kitab ini demi memudahkan para penuntut ilmu menghimpun pengetahuan dan mengingat perkara-perkara yang dituangkannya.
Tapi, kadung termasyhur bahwa Alfiyyah telah identik dengan sebuah karya di bidang ilmu nahwu hasil pena ulama bahasa kenamaan, Ibnu Malik. Maka jika kalangan santri dan pelajar madrasah ditanya ihwal kitab Alfiyah, umumnya mereka menunjuk pada kitab yang amat populer ini.
Kepopuleran sebuah khazanah klasik tidak saja terbangun oleh adanya jaringan sanad dan hubungan guru-murid, namun juga dibarengi faktor penulisnya. Maka, tak mengherankan, hukum alam juga berlaku pada khazanah turats(karya klasik), apa dan siapa yang paling bertahan eksistensinya dalam waktu yang demikian panjang yang telah berlalu.
Maka, berkait dengan kitab Alfiyyah Ibn Malik, yang sedemikian populer ini, perlu rasanya kita mengorek tokoh di balik karya ini dan muatan karyanya tersebut.
Dari Andalusia
Nama lengkap Syaikh An-Nahwiy Ibnu Malik, pengarang Alfiyyah, yang kita kaji ini, adalah Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Muhammad bin Malik Ath-Tha‘i Al-Jayyani Asy-Syafi’i. Ia lahir pada tahun 1203 M/599 H di Jayyan, sebuah kota kecil di bawah kekuasaan Andalusia.
Tidak banyak yang dapat digali dari masa kecilnya di Andalusia, lantaran masa-masa itu Andalusia tengah berada di jurang kehancuran oleh perebutan pemerintahan kaum Nasrani. Bersama keluarga dan sejumlah kaum muslimin, ia hijrah ke belahan timur dunia Islam, saat Andalusia direbut tentara kerajaan Castella Nasrani.
Al-Muqri, seorang penulis biografi ulama kenamaan, dalam kitabnya yang berjudul Nafh ath-Thayyib, meriwayatkan, pada masa kecilnya, Ibnu Malik telah hafal Al-Qur’an dan belajar dasar-dasar kaidah menulis dan membaca bahasa Arab kepada Syaikh Tsabit bin Khayyar, Syaikh Asy-Syalaubini, dan Syaikh Ahmad bin Nawwar. Ketiganya adalah ulama terpandang Andalusia.
Menginjak dewasa, berbarengan dengan runtuhnya Andalusia, ia berangkat ke Timur untuk menunaikan ibadah haji dan meneruskan perjalanannya menempuh ilmu ke Damaskus dan Aleppo. Di sana ia belajar ilmu dari beberapa ulama setempat, antara lain ‘Alamuddin As-Sakhawi, Makram bin Muhammad Al-Qurasyi, Al-Hassan bin Shabbah, Syaikh Muwaffaquddin Ibn Ya’isy Al-Halabi. Kesemuanya adalah tokoh ilmu bidang bahasa dan nahwu terkemuka.
Di dua kota tersebut ini nama Ibnu Malik mulai dikenal dan dikagumi oleh para ilmuwan. Ia memang cerdas dan pemikirannya jernih. Ia selalu dikelilingi kaum terpelajar yang ingin menggali ilmu-ilmunya.
Sementara itu ia juga melakukan rihlah ke Himah dan Mesir untuk menimba pengetahuan dari para ulama dan guru-guru besar di negeri tersebut.
Kemudian ia kembali ke Damaskus dan diberi kepercayaan untuk mengajar di beberapa halaqah ilmu di Masjid Umawi. Selanjutnya ia juga diberi kepercayaan sebagai pemimpin di Madrasah Al-‘Adiliyyah Al-Kubra, sebuah sekolah ternama di Damaskus masa itu, hingga diangkat menjadi guru besarnya. Praktis, seluruh hidupnya dihabiskan di Damaskus hingga akhir hayat.
Ia banyak menampilkan teori-teori nahwu yang baru, yang menggambarkan teori-teori madzhab nahwu Andalusia, yang jarang diketahui oleh orang-orang Syiria waktu itu dan tak dikaji pada masa sebelumnya. Seperti bahasan na‘ibul fail, yang oleh ahli nahwu sebelum masanya disebut maf’ul yang tidak disebut fa’il-nya; badal muthlaq, sebagai ganti badal ba’dh kull min kull; al-mu’arraf bi adatit ta’rif, sebagai ganti at-ta’rif bi al.
Untuk menguatkan teorinya, sarjana besar kelahiran Andalusia ini senantiasa mengambil saksi (syahid) dari teks-teks Al-Qur’an. Kalau tidak didapatkan, ia menyajikan teks hadits. Kalau tidak didapatkan lagi, ia mengambil saksi dari syair-syair sastrawan Arab kenamaan. Semua pemikiran yang diproses melalui paradigma ini dituangkan dalam kitab-kitab karangannya, baik berbentuk nazham (syair puitis) maupun berbentuk natsar (prosa). Pada umumnya, karya tokoh ini lebih baik dan lebih indah daripada karya tokoh-tokoh pendahulunya.
Terlahirlah nama-nama besar di bidang bahasa dan umumnya di bidang agama berkat polesan tangan dinginnya, seperti putranya, Badruddin Muhammad, Badruddin Ibn Jama’ah (kepala hakim Mesir), Al-Muhaddits Abu Al-Hasan Al-Yunayni (ahli hadits terkenal), Ibnu An-Nahhas (ahli nahwu ternama), Abu Ats-Tsana‘ Mahmud Al-Halabi (penulis populer di Damaskus dan Mesir).
Lebih dari 40 Ulama
Di kalangan ulama setelah masa Ibnu Malik, ada yang menghimpun semua tulisan Ibnu Malik. Dan ternyata tulisannya itu lebih banyak berbentuk nazham, sebagaimana As-Suyuthi meriwayatkannya dalam kitabnya, Bughyat al-Wu’at.
Di antara karangannya adalah Nazham al-Kafiyah asy-Syafiyah, yang terdiri dari 2.757 bait. Kitab ini menyajikan semua informasi tentang ilmu nahwu dan sharaf yang diikuti dengan syarahnya. Kemudian kitab ini diringkas menjadi seribu bait, yang kini terkenal dengan nama Alfiyyah Ibn Malik.
Kitab ini bisa disebut khulashah, ringkasan, karena isinya mengutip inti uraian dari Al-Kafiyah. Juga bisa juga disebutAlfiyyah, ribuan, karena bait syairnya terdiri dari seribu baris kurang atau lebih.
Kitab ini terdiri dari 80 bab, dan setiap bab diisi beberapa bait.
Bab yang terpendek diisi dua bait, seperti bab al-Ikhtishash. Dan bab yang terpanjang adalah Jama’ Taktsir, diisi 42 bait.
Dalam muqaddimahnya, kitab puisi yang memakai bahar rajaz (salah satu bentuk pontongan bait syair) ini disusun dengan tujuan, pertama, untuk menghimpun semua permasalahan nahwiyah dan sharfiyah yang dianggap penting. Kedua, menerangkan hal-hal yang rumit dengan bahasa yang singkat tetapi bisa menghimpun kaidah yang berbeda-beda, atau dengan contoh yang bisa menggambarkan hal-hal yang memenuhi persyaratan yang diperlukan oleh kaidah itu. Ketiga, membangkitkan perasaan senang bagi orang yang ingin mempelajari isinya.
Semua itu terbukti, kitab ini lebih baik daripada kitab Alfiyah karya Ibnu Mu’thi, yang kurang populer di kalangan pelajar. Meskipun begitu, penulisnya tetap menghargai Ibnu Mu’thi, karena tokoh ini telah membangun kreativitas dan lebih senior.
Kitab Khulashah, yang telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa di dunia, memiliki posisi yang penting dalam perkembangan ilmu nahwu. Berkat kitab ini dan kitab aslinya, nama Ibnu Malik menjadi populer dan pendapatnya banyak dikutip oleh para ulama, termasuk ulama yang mengembangkan ilmu nahwu di Timur.
Ar-Radhi, seorang cendekiawan besar, ketika menyusun Syarh Al-Kafiyah karya Ibnu Hajib, banyak mengutip dan mempopulerkan pendapat Ibn Malik. Dengan kata lain, dalam perkembangan nahwu setelah ambruknya beberapa akademi Abbasiyah di Baghdad dan merosotnya pamor para ilmuwan Daulah Fathimiyah di Mesir, para pelajar pada umumnya mengikuti pemikiran Ibnu Malik.
Sebelum kerajaan besar di Andalusia runtuh, pelajaran nahwu pada awalnya tidak banyak diminati masyarakat. Namun seiring waktu, pelajaran ini menjadi kebutuhan mendesak. Sehingga kegiatan menulis kitab tentang ilmu yang sangat menarik bagi kaum santri ini semakin dinamis. Dari situ muncul dan beredarlah banyak karya yang berbeda-beda, dari yang paling singkat sampai yang terurai panjang lebar.
Dari sekian banyak penulis itu adalah Ibnu Malik, Ibnu Hisyam Al-Anshari, dan As-Suyuthi. Karya mereka tentang kitab-kitab nahwu banyak menampilkan metode dan penyajian baru yang memperkaya khazanah keilmuan. Walau demikian, banyak pula teori lama yang masih digunakan.
Mereka menampilkan gagasan dan kreativitas yang baru, seolah hidup mereka disiapkan untuk menjadi penerus Imam Sibawaih, sang penggagas munculnya nahwu dan sharaf. Atas dasar itulah bisa dikatakan, Alfiyah Ibn Malik menjadi lebih populer karena ulama-ulama lain menulis syarah dan hasyiyah terhadap syarah itu.
Dalam kitab Kasyf azh-Zhunun, disebutkan bahwa para ulama penulis syarah Alfiyah berjumlah lebih dari 40 orang. Mereka ada yang menulis dengan panjang lebar, ada yang menulis dengan singkat (mukhtashar), dan ada pula ulama yang tulisannya belum selesai. Di sela-sela itu muncullah beberapa kreasi baru dari beberapa ulama yang memberikan catatan pinggir (hasyiyah) terhadap kitab-kitab syarah.
Syarah Alfiyyah Ibnu Aqil
Syarah Alfiyah yang pertama adalah buah pena putra Ibnu Malik sendiri, Badruddin Muhammad (w. 686 H/1287 M). Syarah ini banyak mengkritik pemikiran nahwiyah yang diuraikan sang ayah, seperti kritik tentang uraian maf’ul mutlaq, tanazu’, dan shifat mutasyabihat. Menurutnya, tulisan ayahnya perlu ditata ulang. Atas dasar itu, Badruddin mengarang bait Alfiyah “tandingan” dan mengambil syahid dari ayat Al-Qur’an. Tetapi hampir semua ilmuwan tahu bahwa tidak semua teks Al-Qur’an bisa disesuaikan dengan teori-teori nahwiyah yang sudah dianggap baku oleh ulama.
Kritikus yang pada masa mudanya bertempat di Ba’labek ini sangat rasional dan cukup beralasan, hanya saja ia banyak mendukung teori-teori nahwiyah yang syadz(ganjil). Karena itu, penulis-penulis syarah Alfiyah yang muncul berikutnya, seperti Al-Muradi, Ibn Hisyam, Bahauddin Abdullah Ibn Aqil, dan Al-Asymuni, banyak meralat alur pemikiran putra Ibnu Malik tersebut.
Meskipun begitu, Syarah Badrudin ini cukup menarik, sehingga banyak juga ulama besar yang menulis hasyiyah untuknya, seperti karya Ibnu Jama’ah, Al-‘Ainy, Zakariyya Al-Anshari, As-Suyuthi, Ibn Qasim Al-Abbadi, dan Al-Qadhi Taqiyuddin bin Abdul Qadir At-Tamimi.
Di antara penulis-penulis syarah Alfiyah lainnya yang bisa ditampilkan dalam tulisan ini adalah Ibnu Hisyam, Ibnu Aqil, dan Al-Asymuni.
Al-Muradi (w. 749 H/1348 M) menulis dua kitab syarah untuk kitab Tashil al-Fawaid dan Nazham Alfiyyah, keduanya karya Ibn Malik. Meskipun syarah ini tidak populer di Indonesia, pendapat-pendapatnya banyak dikutip oleh ulama lain, antara lain Ad-Damamini (w. 827 H/1424 M), seorang sastrawan besar. Ketika menulis syarahTashil al-Fawaid, ia menjadikan karya Al-Muradi itu sebagai kitab rujukan. Begitu pula Al-Asymuni, ketika menyusun Syarah Alfiyyah, dan Ibn Hisyam, ketika menyusun Al-Mughni, mereka banyak mengutip pemikiran Al-Muradi.
Ibnu Hisyam (w.761 H/1360 M) adalah ahli nahwu yang karya-karyanya juga banyak dikagumi ulama berikutnya. Di antara karya syarah Alfiyyah-nya adalah yang berjudul Audhah al-Masalik. Dalam kitab ini ia banyak menyempurnakan definisi istilah yang konsepnya telah disusun oleh Ibni Malik, seperti definisi tentang tamyiz. Ia juga banyak menertibkan kaidah-kaidah yang satu sama lain saling bertemu, seperti kaidah-kaidah dalam bab Tashrif. Ia tidak hanya terpaku pada Madzhab Andalusia, tetapi juga mengutip Mazhab Kufah, Bashrah, dan lain-lain.
Kitab ini cukup menarik, sehingga banyak ulama besar yang menulis hasyiyahnya. Antara lain Hasyiyah As-Suyuthi, Hasyiyah Ibn Jama’ah, Hasyiyah Al-Ainiy, Hasyiyah Al-Karkhi, Hasyiyah As-Sa’di al-Maliki al-Makki. Dan yang menarik lagi adalah catatan kaki (ta’liq) bagi kitab At-Taudhih, yang disusun oleh Khalid ibn Abdullah Al-Azhari (w. 905 H/1500 M).
Ibnu Aqil (w. 769 H/1368 M), ulama kelahiran Aleppo dan pernah menjabat hakim agung di Mesir, karyanya banyak, tetapi yang terkenal adalah syarah Alfiyyah-nya. Syarah ini sangat sederhana dan mudah dicerna oleh orang-orang pemula yang ingin mempelajari Alfiyyah Ibn Malik.
Ia mampu menguraikan bait-bait Alfiyyah secara metodologis, sehingga terungkaplah apa yang dimaksudkan Ibnu Malik pada umumnya.
Kitab syarah Alfiyyah ini adalah yang paling banyak beredar di pondok-pondok pesantren, dan banyak dibaca oleh kaum santri di Indonesia.
Terhadap syarah ini, ulama berikutnya tampil untuk menulis hasyiyahnya, antara lain Hasyiyah Ibn al-Mayyit, Hasyiyah Athiyah al-Ajhuri, Hasyiyah asy-Syuja’i, dan Hasyiyah Al-Khudlari.
Manhaj as-Salik
Syarah Alfiyah yang lain adalah Manhaj as-Salik, karya Al-Asymuni (w. 929 H/1523 M). Syarah ini, yang sangat kaya akan informasi dan sumber kutipannya sangat bervariasi, dapat dinilai sebagai kitab nahwu yang paling sempurna, karena memasukkan berbagai pendapat madzhab nahwu dengan argumentasinya masing-masing.
Dalam syarah ini, pendapat para penulis syarah Alfiyah sebelumnya banyak dikutip dan dianalisis. Antara lain mengulas pendapat Badruddin Muhammad (putra Ibnu Malik), Al-Muradi, Ibnu Aqil, As-Suyuthi, dan Ibnu Hisyam. Bahkan mengutip pula komentar Ibnu Malik sendiri yang dituangkan dalam Syarah Al-Kafiyah tetapi tidak dicantumkan dalam Alfiyah-nya.
Semua kutipan itu diletakkan pada posisi yang tepat dan disajikan secara sistematis, sehingga para pembaca mudah menelusuri suatu pendapat dari sumber aslinya. Kitab ini memiliki banyak hasyiyah juga, antara lain Hasyiyah Hasan bin Ali al-Mudabbighi, Hasyiyah Ahmad bin Umar al-Asqathi, Hasyiyah Al-Hifni, Hasyiyah ash-Shabban.
Imam para Ahli Bahasa
Ibnu Malik adalah seorang yang terbilang sangat produktif menulis. Karya-karya besarnya di bidang bahasa telah mentahbiskannya sebagai ulama dengan spesialisisasi ilmu bahasa. Karyanya mencapai 50 buah lebih. Di samping karya-karya di atas, masih banyak karya lainnya. Antara lain, Tashil al-Fawa-id wa Takmil al-Maqashid, Ijaz at-Ta’rif fi ‘Ilm at-Tashrif, Tuhfah al-Mawdud fi al-Maqshur wa al-Mamdud, Al-I’tidhadh fi azh-Zha` wa adh-Dhadh, Lamiyyat al-Af’al, Fatawa fi al-‘Arabiyyah, An-Nazhm Al-Awjaz fima Yuhmaz wama la Yuhmaz, Al-Muashshal fi Nazh al-Mufashshal, Sabk al-Manzhum, ‘Umdah al-Hafizh, Ikmal al-‘Umdah, Al-Muqaddimah Al-Asadiyyah, Syarh Al-Jazuliyyah, Al-Malikiyyah fi al-Qira`at.
Syaikh An-Nahwiyy Ibnu Malik wafat di Damskus pada 1274 M/672 H.
Demikianlah guru besar nahwu-sharaf dan imam para ahli bahasa, Syaikh Ibnu Malik. Dengan banyaknya membaca dan menelaah, mengajar, mengkritisi, serta mendalami apa yang sepenuhnya menjadi perhatian dan kegemarannya, ia telah berhasil menuangkan karya yang banyak. Jasanya sangat yang besar bagi perkembangan gramatika bahasa Arab, dan karya-karyanya hingga hari ini masih terus dikaji kaum santri dan pelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar