Sejuta Hikmah Isra dan Mi‘raj - Hubbun Nabi SAW
Headlines News :

NU

s

s

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Shalawat Jalan Selamat

Shalawat Jalan Selamat
Home » » Sejuta Hikmah Isra dan Mi‘raj

Sejuta Hikmah Isra dan Mi‘raj

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Sabtu, 13 Juli 2013 | 13:56



www.majalah-alkisah.com“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Di antara ajaran-ajaran Islam yang tidak bisa hanya dipahami lewat akal, melainkan harus benar-benar melibatkan keimanan yang tulus kepada Allah dan Rasul-Nya, ada­lah masalah mukjizat, terutama mukjizat nabi kita. Dari sekian banyak mukjizat beliau, peristiwa Isra Mi‘raj adalah salah satu mukjizat yang paling fenomenal yang mengandung berbagai hal penting dan mengundang beragam sikap orang terhadapnya. Peristiwa ini menjadi ujian berat bagi semua orang di masa itu, baik bagi orang kafir maupun kaum muslimin sendiri.
Kehidupan manusia kala itu masih sangat terbatas, alat-alat transportasi pun masih sangat sederhana dan seada­nya. Maka pantas apabila kemudian tim­bul rasa heran yang sangat mendalam atas berita yang disampaikan oleh Ra­sul­ullah SAW itu. Sampai batas ini, ke­heranan mereka masih dapat dianggap wajar. Tetapi setelah Nabi SAW mem­beri­kan bukti-bukti yang memastikan ke­benaran berita yang beliau sampaikan, di situlah faktor keimanan sangat me­nentukan.
Mengenai peristiwa Isra Mi‘raj itu sen­diri, di antaranya, Imam Bukhari da­lam Shahihnya, Babul Mi‘raj, meriwayat­kan, Nabi SAW bersabda, “Ketika aku ber­ada di Hathim — dan ada pula beliau ber­kata, ‘di Hijir’ — dalam keadaan ber­baring, tiba-tiba aku didatangi oleh yang datang, lalu ia memotong....”
Berkata Qatadah, “Aku juga men­dengar bahwa Anas berkata, ‘Lalu ia (yang datang itu)  membelah antara ini dan ini.’
Aku pun bertanya kepada Jarud, yang berada di sampingku, ‘Apakah yang dimaksud dengan itu?’
Jarud menjawab, ‘Dari bawah leher­nya sampai ke bulu ari-arinya.’
Dan aku (Qatadah) mendengar juga bahwa Anas berkata, ‘Dari atas dadanya sampai bulu ari-arinya’.”
(Anas melanjutkan sabda Nabi SAW), “Lalu ia (yang datang itu) itu me­ngeluarkan hatiku. Kemudian aku di­bawakan sebuah bejana dari emas berisi iman. Lalu dicucilah hatiku, lantas diisi, kemudian dikembalikan, kemudian di­datangkan seekor binatang yang tubuh­nya lebih kecil daripada baghal dan lebih besar daripada himar (keledai), putih rupanya.’
“Jarud bekata kepadanya (Anas), ‘Itu Buraq, wahai Aba Hamzah.’
Anas berkata, ‘Ya.’
(Anas melanjutkan sabda Nabi SAW), “... Binatang itu sekali melangkah se­jauh mata. Lalu aku dinaikkan ke atas­nya, kemudian Jibril membawaku ke langit dunia (langit pertama), lantas ia minta dibukakan.
Penjaga langit itu bertanya, ‘Siapa­kah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi, ‘Siapa yang ber­samamu?’
Jibril menjawab, ‘Muhammad.’
Penjaga itu bertanya lagi, ‘Apakah ia dipanggil untuk menghadap?’
Jibril menjawab ‘Ya.’
Maka diucapakan oleh penjaga itu kata sambutan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang telah datang.’
Lalu penjaga itu membuka langit itu.
Ketika aku melalui langit itu, di sana terdapat Adam. Maka Jibril berkata, ‘Ini ayah engkau, Adam. Ucapkanlah salam kepadanya.’
Lalu aku mengucapkan salam ke­pada­nya dan ia menjawab salamku, lan­tas ia berkata, ‘Selamat datang, anak yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian Jibril membawaku naik sam­pai ke langit kedua dan Jibril pun me­minta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Lalu disambutlah dengan ucapan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’
Penjaga itu pun membuka langit. Maka ketika aku melalui langit itu aku melihat Yahya dan Isa, keduanya adalah misanan dari pihak bibi mereka.
Jibril berkata, ‘Ini Yahya dan Isa, maka berilah salam kepada mereka berdua.’
Maka aku pun mengucapkan salam kepada keduanya dan mereka pun mem­balas salamku. Mereka berkata, ‘Selamat datang bagi saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian Jibril membawaku ke la­ngit yang ketiga dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Lalu disambut dengan ucapan, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’
Maka ketika aku telah melewati langit itu, terdapat Yusuf.
Jibril berkata, ‘Ini Yusuf, sampai­kan­lah salam kepadanya.’ Aku pun mengu­capkan salam kepadanya dan ia pun menjawab salamku. Kemudian ia ber­kata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit keempat dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah di­panggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat da­tang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana ter­dapat Idris. Jibril berkata, ‘Ini Idris, sam­paikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam ke­padanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit kelima dan Jibril pun me­minta agar langit itu dibuka. Jibril di­tanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana terdapat Harun. Jibril berkata, ‘Ini Harun, sampaikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam ke­padanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit keenam dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Dia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah di­panggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat da­tang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana ter­dapat Musa. Jibril berkata, ‘Ini Musa, sam­paikanlah salam kepadanya.’
Aku pun menyampaikan salam ke­padanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, saudara yang shalih dan nabi yang shalih.’
Tatkala aku hendak melanjutkan per­jalananku, ia menangis, maka ia pun di­tanya, ‘Apa yang membuatmu me­nangis?’
Ia menjawab, ‘Aku menangis karena pemuda yang diutus ini, para pengikut yang masuk ke dalam surga dari umat­nya lebih banyak daripada dari umatku.’
Lalu naiklah Jibril bersamaku sampai ke langit ketujuh dan Jibril pun meminta agar langit itu dibuka. Jibril ditanya, ‘Siapakah ini?’
Jibril menjawab, ‘Jibril.’
Ia ditanya lagi oleh penjaga, ‘Siapa yang bersamamu?’
Ia menjawab, ‘Muhammad.’
Ia ditanya lagi, ‘Apakah ia telah dipanggil untuk menghadap?’
Jawabnya, ‘Ya.’
Berkatalah penjaga itu, ‘Selamat datang, sebaik-baik orang yang datang.’ Penjaga itu pun membuka langit.
Setelah aku melaluinya di sana ter­dapat Ibrahim. Jibril berkata, ‘Ini ayahmu, Ibrahim, sampaikanlah salam kepada­nya.’
Aku pun menyampaikan salam ke­padanya dan ia pun menjawabnya, lalu berkata, ‘Selamat datang, anak yang shalih dan nabi yang shalih.’
Kemudian diperlihatkan kepadaku Sidratul Muntaha (semacam pohon bi­dara), yang buahnya seperti labu negeri Hajar (nama perkampungan di Madinah) dan dedaunannya seperti bentuk telinga gajah. Jibril berkata, ‘Ini Sidratul Mun­taha.’
Terdapatlah di sana empat sungai, dua sungai bathin dan dua sungai lahir. Maka aku bertanya kepada Jibril, ‘Apa­kah kedua-duanya ini, wahai Jibril?’
Jibril menjawab, ‘Dua sungai bathin itu adalah sungai di surga dan dua su­ngai lahir itu ialah Sungai Nil dan Furat.’
(Bersambung)
“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Kemudian diperlihatkan kepadaku Baitul Ma‘mur, yang mana masuk ke da­lamnya pada tiap-tiap hari tujuh puluh ribu malaikat.
Lalu didatangkan kepadaku sebuah bejana berisi arak dan bejana lain berisi susu. Maka aku mengambil bejana yang beris susu. Jibril pun berkata, ‘Inilah ke­suci­an yang engkau dan umatmu berada di atasnya.’
Kemudian diwajibkan atasku shalat lima puluh kali setiap hari.
Lalu aku kembali dan berjalan me­lewati Musa, lantas ia bertanya, ‘Apakah yang diperintahkan kepadamu?
Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan melaksanakan shalat lima puluh kali setiap hari.’
Musa berkata, ‘Sesungguhnya ummat­mu tidak akan sanggup melaku­kan shalat lima puluh kali setiap harinya. Sungguh aku, demi Allah, telah men­coba manusia sebelum engkau dan sung­guh aku sudah menangani Bani Israil dengan sekeras daya upaya dalam menanganinya. Karena itu kem­balilah kepada Tuhanmu dan mohonlah ke­pada-Nya keringanan untuk umat­mu.’
Lalu aku kembali, kemudian Dia mem­beri keringanan sepuluh.
Aku kembali lagi kepada Musa, lalu ia berkata lagi kepadaku seperti tadi.
Maka aku pun kembali menghadap kepada Allah, lalu dikurang sepuluh lagi.
Aku kembali lagi kepada Musa dan ia pun berkata seperti semula.
Maka aku kembali kepada Allah sam­pai diperintahkan atasku sepuluh kali shalat setiap hari.
Aku pun kembali kepada Musa lalu ia berkata seperti itu lagi.
Aku pun kembali kepada Allah dan diperintahkan kepadaku lima kali shalat pada tiap-tiap hari.’
Aku pun kembali ke Musa dan dia kembali bertanya, ‘Apakah yang diperin­tahkan kepadamu?’
Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan melakukan shalat lima waktu dalam se­hari.’
Kemudian ia berkata, ‘Sesungguh­nya umatmu tidak akan mampu melaku­kan shalat lima waktu dalam sehari. Sung­guh aku, demi Allah, telah men­coba manusia sebelum engkau dan sung­guh aku sudah menangani Bani Israil dengan sekeras daya upaya dalam menanganinya. Karena itu kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah ke­pada-Nya keringanan untuk ummatmu.’
Nabi menjawab, ‘Aku sudah memo­hon­nya kepada Tuhanku sampai aku malu karenanya. Aku rela dan mene­rima­nya.’
Setelah aku berlalu, berseru ke­pada­ku Penyeru, ‘Aku telah memutuskan ke­fardhuan-Ku dan telah Aku ringankan terhadap hamba-hamba-Ku’.”
Riwayat ini hanyalah satu dari ba­nyaknya riwayat yang berkaitan dengan peristiwa Isra Mi‘raj, yang tentunya juga hanya menggambarkan sebagian peris­tiwa yang dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa tersebut.
Demikian pentingnya dan sentralnya makna peristiwa ini, kajian tentangnya pun tidak akan pernah berhenti dibahas dan disikusikan sejak mula masa sa­habat, tabi‘in, hingga di zaman sekarang ini. Perhatian para ulama yang begitu besar terhadap masalah ini telah me­lahirkan karya-karya besar sepanjang masa. Di antara karya-karya itu, seba­gaimana dinukilkan dalam kitab Wahuwa fi Ufuq al-A‘la, karya Sayyid Abuya Muhammad Alwi Al-Maliki, adalah As-Siraj Al-Wahhaj fi Haqaiq al-Mi‘raj, karya Al-‘Allamah Al-Musyarik Asy-Syaikh Abu Ishaq Muhammad bin Ibrahim bin Ali bin Ahmad Asy-Syafi‘i, Kitab Al-Mi‘raj, karya Imam Abul Qasim Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi An-Naisaburi Asy-Syafi‘i, Rasalah fi Al-Mi‘raj, karya Imam Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Khaliyyah Al-Lakhmi, Kitab Al-Isra, karya Imam Taqiyuddin Abu Muhammad Abdul Ghani bin Abdul Wahid bin Ali bin Surur Al-Maqdisi Al-Jama’ili Al-Hanbali, Al-Ayah al-Kubra fi Syarh Qishah al-Isra, karya Al-Hafizh Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar As-Siyuthi Asy-Syafi‘i, Al-Ayah al-‘Azhimah al-Bahirah fi Mi‘raj Sayyid Ahli ad-Dunya wa al-Akhirah, karya Imam Syamsuddin Muhammad bin Yusuf bin Ali Asy-Syami Ad-Dimasyqi Ash-Shalihi, Husn al-Ibtihaj bi al-Isra wa al-Mi‘raj, karya Asy-Syaikh Muhammad ‘Arif Afandi Ad-Dimasyqi, Al-Mi‘raj an-Nabawi, karya Al-‘Allamah Hasan Asy-Syathi, Ikhtisar Mi‘raj asy-Syathi, karya Al-‘Allamah Muhammad Asy-Syathi, Hulal ad-Dibaj al-Matruzah bi Qishah al-Isra wa al-Mi‘raj, karya Al-Faqih Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ar-Rahwani At-Tathwani.
Adalah Al-‘Allamah Syaikh Muham­mad Mutawalli Asy-Sya‘rawi, ulama terkemuka, guru besar Universitas Al-Azhar, di antara ulama yang dipuji ka­langan dunia Islam memiliki kejelian dan pemikiran yang brilian dalam mengung­kap rahasia dan hikmah di balik ajaran-ajaran syari’at Islam yang luhur dan ting­gi. Demikian halnya pandangannya da­lam mengupas dan menggali makna-mak­na, hikmah, dan rahasia-rahasia di balik peristiwa Isra Mi‘raj Nabi Muham­mad SAW. Ia bertutur tentang hikmah dan rahasia dari berbagai peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa Isra’ Mi‘raj.
Qanun Allah
Al-‘Allamah Syaikh Muhammad Mu­tawalli Asy-Sya‘rawi bertutur, sebagai­mana kami nukilkan dari buku Menying­kap Misteri Isra’ dan Mi‘raj, yang diambil dari Diskusi Tahunan Majelis Nur ‘ala An-Nur, asuhan Ustadz Ahmad Farraj, Kairo, Mesir, “Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ke­tentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeli­haraannya. Seorang pembuat televisi, dia pula yang membuat peraturan bagai­mana cara menggunakannya dan peme­liharaannya.
Manusia itu ciptaan Allah, maka Dia­lah yang membuat qanun untuk meme­lihara manusia itu, Dialah yang membuat qanun untuk memperbaikinya. Allah ti­dak menciptakan suatu makhluk kemu­dian ada orang yang ikut campur men­ciptakan qanun untuk memeliharanya. Karena yang demikian itu seperti halnya saya membawa televisi kepada jagal untuk memperbaikinya. Maka yang men­ciptakan qanun untuk memelihara dan menjaga sesuatu, dia pula yang mencip­takan sesuatu itu.
Allah SWT berfirman, ‘Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan yang kamu rahasiakan), padahal Dia Maha-Teliti lagi Maha Mengetahui?’ (Al-Mulk: 14).
Perlu Anda ketahui, semua tasyri’ (hu­kum) buatan manusia, jika Anda ber­baik sangka bahwasannya mereka ber­maksud untuk kebaikan dan ishlah, se­lalu dihadapkan kepada perubahan dan pergantian, selalu timbul dan tenggelam, lenyap digantikan oleh yang lain lagi. Dan qanun buatan manusia itu bisa ber­laku jika ada kekuasaan untuk memak­sa­kannya. Manakala kekuasaan itu itu tidak ada, qanun buatannya itu tidak ber­laku lagi.
Ingin saya katakan kepada orang-orang yang membuat qanun itu, sesung­guhnya qanun ciptaan manusia itu telah membuat peratutan tertentu terhadap jiwa manusia. Namun, apakah Anda mengetahui hakikat qanun itu? Mungkin Anda mengetahui salah satu seginya, te­tapi segi-segi lainnya tidak Anda ketahui.
Manusia itu bukannya cuma berupa perut dan lambung, bukan cuma akal, yang mungkin bebal atau pandai, bukan cuma perasaan. Ia mempunyai malakah(watak/karakter) yang bermacam-macam, dan Anda pun sampai sekarang ti­dak mengetahui apakah hakikat karak­ter itu. Mengapa Anda membuat qanun untuk sesuatu yang Anda sendiri tidak mengetahui masalahnya? Oleh karena itu, orang yang membuat qanun untuk se­suatu, harus mengetahui dan menger­ti ihwal sesuatu itu.
Manusia mempunyai malakah yang bermacam-macam. Apabila mengha­dapi masalah, jiwanya berguncang. Kita ambil contoh sekelompok masyarakat yang menganggap tatanan perekono­mian sebagai segala-galanya di dunia ini yang mana nilai kehidupan ini hanya diukur dengan ekonomi, sehingga ma­sing-masing orang berusaha sekeras-kerasnya untuk mencari kemewahan dan kesenangan diri pribadi, yang di balik itu juga muncul berbagai kegun­cangan bathin, persaingan yang tidak sehat, dan timbul pula berbagai penyakit moral.
Ini sebagai bukti bahwa perut bukan­lah segala-galanya, materi bukan se­gala-galanya. Karenanya, meskipun se­gala kebutuhan perut dan kebutuhan ma­teri sudah terpenuhi, kebutuhan spi­ritual belum teratasi juga, sehingga ka­dang-kadang orang melakukan bunuh diri, sebagai jalan pintas untuk meng­akhiri drama tragedi dalam kehidupan dunia ini.
Sebab terjadinya perbuatan terkutuk semacam ini adalah karena kegun­cang­an bathin semata-mata. Namun orang yang berguncang bathinnya itu sendiri tidak tahu di mana sumber keguncang­an­nya itu dan bagaimana cara mengo­batinya. Karena itulah Allah SWT meng­utus para rasul untuk mengatur tata kehidupan dunia ini dengan qanun-Nya supaya mereka selamat. Jika demikian tugas para rasul itu, akan terlahirlah dari mereka qanun dalam bidang ekonomi, politik, bidang keilmuan, bidang ke­masyarakatan, dan bidang akhlaq.
Kemudian timbul pula qanun di bi­dang taat budi, yang mana dalam hal ini Allah SWT berfirman, “Bertaqarrublah kamu kepada-Ku dengan cara begini, be­gini,” yang mana akal tidak punya we­wenang untuk ikut campur di dalamnya, karena Allah hanya berkata kepada Anda, misalnya, “Bertaqarrublah ke­pada-Ku dengan melakukan shalat lima waktu dengan cara-cara yang sudah ditentukan.”
Tetapi dengan qanun-qanun lain yang berhubungan dengan kemasyara­katan , masalah sosial dan politik, dan sebagainya, bolehlah Anda memper­tim­bangkannya dengan rasio Anda dan bo­leh juga Anda membandingkannya de­ngan ahli perekonomian dan lain-lain di dunia ini, misalnya. Niscaya akan Anda dapati bahwa qanun yang telah ditetap­kan oleh Islam adalah yang lebih unggul dan lebih baik. Jadi dalam masalah ubu­diyah, Anda harus menerimanya tanpa reserve, dan dalam masalah mu’amalah atau kemasyarakatan Anda boleh mem­pergunakan akal pikiran untuk menim­bang dan membandingkannya dengan tata aturan yang lain, toh nanti Anda akan sampai pada kesimpulan bahwa peraturan itu lebih unggul.
Kita ambil suatu contoh tentang peraturan talak dalam Islam, yang orang-orang nonmuslim mencela Islam, yang memperbolehkan talak ini, namun me­reka merasa kesulitan untuk memecah­kan problem rumah tangga yang sangat pelik. Oleh karena itu, seperti yang ter­jadi di Italia, mereka mengakui bahwa satu-satunya jalan untuk memecahkan masalah rumah tangga yang sangat pelik dan ruwet itu adalah dibolehkannya talak. Sebab dengan tidak diboleh­kannya talak, akan menimbulkan keada­an yang lebih buruk dalam rumah tangga yang sudah tidak sejalan lagi itu.
Dari sini sudah dapat diketahui bah­wa, apabila mereka mengahadapi jalan buntu dalam memecahkan problematik hidup ini, mereka selalu kembali pada garis-garis yang ditentukan oleh Islam.
Misalnya lagi di Amerika. Pihak pe­merintah telah menghabiskan berjuta-juta dolar untuk menanggulangi minum­an keras, namun agama Islam sejak ke­hadirannya telah mengharamkan mi­num­an keras tersebut.
Contoh lain lagi ialah tentang poli­gami. Mereka mencaci maki Islam ka­rena memperbolehkan poligami. Namun sekarang mereka sendiri mengakui akan kebaikan poligami ini dibandingkan de­ngan peraturan yang ada pada mereka.
Kemudian jika Anda jumpai dalam aturan perekonomian mereka ada pe­ningkatan, niscaya peningkatannya itu ada pada tatanan yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama Islam. Oleh ka­rena itu peraturan Islam ini adalah me­lalui jalan yang paling dekat, tidak ber­belit-belit dan berliku-liku, sebab ia ada­lah qanun ciptaan Tuhan, yang mencip­takan manusia, qanun dan tata aturan yang disampaikannya kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya.
Peraturan-peraturan yang dibawa para rasul itu sering dibarengi dengan penjelasan praktis. Begitu pula dengan teori fisika misalnya, disertai dengan pen­jelasan-penjelasan praktis sebagai pembuktiannya. Misalnya teori bahwa benda itu mengembang apabila kena pa­nas, maka kita perlu memberi penjelas­an praktis, yaitu kita buat suatu lingkaran dengan sebuah bola dari tambang de­ngan ukuran yang bola tersebut bisa ma­suk ke dalam lingkaran itu dengan tidak ter­lalu longgar, setelah itu bola tersebut kita bakar (panaskan) lalu kita masukkan kembali ke dalam lingkaran tadi, maka bola tersebut tidak bisa masuk ke dalam lingkaran, karena mengembang terkena panas. Begitulah teori-teori tersebut dijelaskan dengan alat-alat bantu agar mudah dipahami, dan akan lebih mudah dicerna jika dijelaskan dengan penjelas­an-penjelasan praktis.
“Allah, yang menciptakan manusia, telah menciptakan qanun (ketentuan-ketentuan) untuk memelihara manusia itu sendiri. Kita percaya bahwa yang menciptakan sesuatu itu dia pula yang membuat tata aturan untuk pemeliharaannya...”
Lambang Kesucian
Karena itulah dalam peristiwa Isra dan Mi’raj itu Rasulullah SAW diperlihat­kan kepada bebagai peristiwa praktis. Masalah pertama yang dikemukakan kepada kita ialah masalah fithrah dan perubahan terhadap fithrah. Dalam pada itu dihidangkan kepada Rasulullah SAW sebuah gelas berisi susu dan sebuah lagi berisi arak, kemudian Rasulullah SAW memilih susu.
Ketika dilihat bahwa Rasulullah SAW me­milih susu, Malaikat Jibril berkata, “Eng­kau telah ditunjukkan kepada fithrah.”
Apa maksud perkataan Jibril yang demikian itu? Karena fithrah pada tabiat­nya ialah suci bersih, dan susu asli yang kita isap dari ibu kita atau kita minum dari binatang ternak itu bersih dari unsur campur tangan manusia. Apabila kita mi­num susu itu sebagaimana keadaannya yang masih asli, belum bercampur de­ngan sesuatu pun, susu itu masih fithrah (murni).
Namun, mengenai arak, kita mem­bi­kin­nya dari rizqi yang baik, yakni ang­gur, lalu kita campuri dengan bahan lain dan kita busukkan, yang mana, setelah melalui proses yang bermacam-macam, kemudian barulah menjadi arak, di sam­ping ada juga buah-buahan sebagai rizqki yang baik. Kalau kita membuat ang­gur menjadi arak, berarti kita telah mengeluarkan anggur tersebut dari fith­rahnya. Maka itulah, dalam masalah ini, Al-Qur’an mengatakan, ”Dan dari buah kurma dan anggur, kamu buat minuman yang memabukkan dan rizqi yang baik.” — QS An-Nahl: 67.
Ya, dari kurma dan anggur itu mere­ka bikin minuman keras, di samping me­reka jadikan sebagai rizqi yang baik. Li­hatlah pada kata “rizqi” yang diiringi de­ngan kata sifat “baik” sedangkan minum­an keras/memabukkan tidak diiringi de­ngan kata sifat apa-apa, karena minum­an keras itu tidak baik.
Andai kata di situ dikatakan bahwa dari buah kurma dan anggur kamu buat minuman yang memabukkan dan rizqi yang “lebih baik”, berarti minuman keras itu masih termasuk “baik”. Namun ka­rena kata “rizqi” di sini hanya disifati de­ngan kata “baik”, yang merupakan awan kata “buruk”, hal ini menunjukan bahwa mi­numan keras itu tidak baik, memabuk­kan, dan merusak akal.
Mengapa oleh Jibril dikatakan ‘Eng­kau telah ditunjukan kepada fithrah’?, karena pada dasarnya akal itulah yang dapat menerima tugas-tugas kewajiban dari Allah SWT, sedangkan minuman ke­ras itu dapat menutup akal sehingga tidak befungsi lagi untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang nota bene tidak mengerti lagi be­ban kewajiban yang di-taklif-kan (di­wajib­kan) oleh Allah SWT kepadanya.
Jadi Nabi SAW memilih susu itu ada­lah sebagai lambang kesucian, yakni kita harus senantiasa mensucikan akal pikir­an kita dari pengaruh-pengaruh destruk­tif, agar dapat melaksanakn tugas ke­wajiban kita dengan baik.
Kemudian pada peristiwa-peristiwa berikutnya yang disaksikan Rasulullah SAW itu juga selalu ditekankan penting­nya akal.
Misalnya tentang jihad, zakat, dan sha­lat, yang mana untuk melaksanakan semua kewajiban ini disyaratkan adanya akal yang sehat. Seakan-akan Allah me­nga­takan, “Sesungguhnya tabiat fithrah itu adalah salimah (sehat, sejahtera, ber­sih), karena itu jangan kamu rusakkan de­ngan amal perbuatanmu. Susu ini ada­lah sebagai lambang fithrah (kesuci­an), sedangkan arak itu adalah sebagai lambang perbuatanmu yang destruktif, yang dapat merusakkan fithrah terse­but.”
Akal adalah nikmat yang sangat be­sar dari Allah SWT yang dengan nikmat inilah manusia berbeda kedudukannya dari binatang. Namun kadang-kadang ada juga manusia yang sengaja me­rusak akalnya dengan minuman keras ini agar dia terlepas dari taklif (tugas ke­wajiban) yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, atau sebagai upaya mele­paskan diri (lari) dari kesulitan.
Terhadap orang yang memiliki sikap seperti itu, kita katakan, “Sesungguhnya problematik hidup itu tidak dapat diatasi dengan cara melarikan diri darinya. Satu-satunya cara yang terbaik untuk meme­cahkannya adalah hadapi masalah ter­sebut dengan sungguh-sungguh, jangan lari darinya....”
Allah SWT tidak menghendaki bila Anda melalaikan persoalan hidup Anda dengan berlari darinya dan menutup akal Anda dengan arak (khamr). Hadapilah segala persoalan hidup Anda dengan akal dan pikiran Anda. Karena akal pikir­an Anda pergunakan untuk memecah­kan berbagai persoalan hidup, jagalah akal Anda dengan sebaik-baiknya, agar tetap sehat dan sejahtera, dari segala bentuk perbuatan negatif dan destruktif. Pupuklah ia dengan perbuatan-perbuat­an positif dan konstruktif. Inilah sebab­nya, Allah SWT meletakkan peristiwa ini pada mula pertama terjadinya Isra ini.
Imbalan yang Terus-menerus
Setelah itu kita dapati pemandangan yang lain, Rasulullah SAW menjumpai suatu kaum yang bercocok tanam lalu mengetamnya pada hari itu juga, bahkan setelah diketam tumbuh kembali, di­ketam lagi tumbuh lagi, dan begitulah yang terjadi berulang-ulang. Pada waktu itu beliau bertanya kepada Malaikat Jibril, “Siapa gerangan mereka itu?”
Dijawab oleh Jibril bahwa mereka itu adalah orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Yang demikian ini adalah karena ji­had itu merupakan wasilah yang me­nyam­paikan petunjuk Allah SWT kepada makhluk-Nya. Jihad fi sabilillah berarti juga melapangkan jalan atau mengalir­kan dakwah yang datang dari Allah SWT kepada manusia supaya mereka mem­per­oleh petunjuk, karena itu wajarlah jika para mujahid itu memperoleh hasil ta­naman yang berlipat ganda.
Mengapa mereka mendapatkan im­balan yang terus-menerus? Karena me­reka telah berjuang mencurahkan harta dan tenaga serta pikirannya, sehingga layaklah jika Allah SWT menggantikan apa yang telah dikorbankannya itu, bah­kan balasan Allah SWT ini adalah ber­dasarkan kemahakuasaan-Nya. Sehing­ga tak mengherankan lagi jika Dia mem­berikan pahala yang berlipat ganda.
Maka apabila Anda berjuang menye­barkan dakwah Islamiyah kepada umat manusia, pada waktu itu Anda mendapat pahala dari Allah SWT. Kemudian apa­bila orang-orang yang Anda dakwahi itu memperoleh petunjuk karena dakwah Anda atau mengamalkan apa yang Anda dakwahkan, Anda pun mendapat pahala lagi sewaktu mereka mengamalkannya sebanyak bilangan mereka yang mem­peroleh petunjuk atau yang mengamal­kannya.
Jadi di sini Anda memperoleh pahala yang berkesinambungan, terus-mene­rus. Oleh karena itu peristiwa yang di­perlihatkan kepada Rasulullah SAW pada malam Isra itu adalah sebagai pen­jelasan praktis terhadap hakikat masalah ini.
Allah SWT berfirman, “Apa pun yang kalian belanjakan, pasti Allah SWT akan menggantinya.” — QS Sana: 39.
Tak disangsikan lagi, manusia me­ngeluarkan sesuatu itu adalah karena mengharapkan sesuatu yang lebih baik lagi. Misalnya seorang petani yang mem­punyai dua gantang gandum, ke­mudian ketika datang musim tanam gan­dum tersebut ditanamnya satu gantang sehingga sudah barang tentu gandum­nya itu menyusut, tinggal satu gantang. Namun demikian gandum yang ditanam­nya tadi akan menjadi berkali-kali lipat saat ia mengetamnya. Bahkan ada juga sebutir biji bisa berlipat ganda menjadi tujuh ratus biji.
Begitulah pelipatgandaan yang di­berikan oleh bumi atau tanah yang di­tana­minya itu, yang mana tanah me­rupa­kan salah satu di antara makhluk-makhluk Allah SWT. Maka bagaimana lagi pelipatgandaan yang langsung di­berikan oleh Allah kepada para mujahid itu?
Karena itu, jika Anda memberikan harta dan menumpahkan darah Anda, wahai mujahid, apa yang Anda keluar­kan dan korbankan itu akan menjadi lebih baik lagi di sisi Allah. Kalau semua usaha itu membuahkan hasil yang tam­pak, sebagai hasil jihad itu ialah keman­faatannya yang merata bagi seluruh umat manusia.
Setelah itu Allah Ta’ala menampak­kan pemandangan yang lain lagi, yaitu dunia yang kita kenal sebagai perhiasan, tetapi juga sebagai sesuatu yang me­lalaikan, dan sebagai permainan.
Allah SWT berfirman, “Dijadikan in­dah pada pandangan manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak pinak, kekayaan yang me­limpah ruah dari emas dan perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah la­dang...” — QS Al-Imran: 14.

sumber: 

Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hubbun Nabi SAW - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger