Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi - Hubbun Nabi SAW
Headlines News :

NU

s

s

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Shalawat Jalan Selamat

Shalawat Jalan Selamat
Home » » Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi

Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Sabtu, 13 Juli 2013 | 13:39

Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi Ad-Dimasyqi dan Karya-karyanya : Ratusan Karya Terlahir dalam Keterbatasan Usianya
Wednesday, 19 June 2013 18:32
www.majalah-alkisah.comJamaluddin muda, yang kala itu berusia 14 tahun, sudah dilibatkan dalam aktivitas pengajaran ke berbagai pelosok daerah di Syam, seperti Wadi ‘Ajam, Qadha Nabk, dan Ba’albek.
Syaikh Abu Al-Farj Muhammad Jamaluddin bin Muhammad Sa’id bin Qasim bin Shalih bin Ismail bin Abubakar Al-Hallaq Al-Qasimi adalah salah satu ulama Sunni asal Suriah di abad ke-19 M yang terkemuka.
Ia lahir pada waktu dhuha, hari Senin, 8 Jumadal Ula 1283 H/1866 M, di Damaskus. Ia hidup pada paruh kedua abad ke-19 M dan awal abad ke-20 M, yang digambarkan sebagai masa-masa yang berat dalam kehidupan era kemun­duran.
Putranya, Zhafir Al-Qasimi, menye­butkan, sang ayah hidup pada masa pe­nuh kezhaliman dan orang-orang zhalim masa pemerintahan Utsmani. Ketika itu kebebasan dikekang, pemikiran untuk bangkit dari penjajahan Barat sulit di­ekspresikan, undang-undang negara te­rikat kolonialisme dan mengikat rakyat.
Dalam hal pendidikan, berbagai lem­baga pendidikan Islam banyak yang di­tutup dan hilang digerus zaman, sehing­ga tampak kebodohan dan buta huruf me­landa kaum muslimin. Bahkan, ham­pir saja orang yang mau belajar mem­baca jumlahnya tak lebih dari hitungan jari.
Begitulah kondisi masyarakat ketika Syaikh Jamaluddin hidup. Namun ia tetap bersungguh-sungguh dengan cita-citanya yang setinggi langit untuk me­lakukan perubahan diri dan masyarakat.
Ia tumbuh dalam keluarga yang mengutamakan ilmu dan kemuliaan ilmu. Mulanya ia belajar mengaji kepada ayahnya, Syaikh Muhammad Sa’id, ulama yang dikenal sebagai ahli fiqih dan sastra. Kepada ayahnya, Jamaluddin muda memperoleh ilmu yang banyak. Ke­mudian ia menimba ilmu kepada se­kian guru. Ia belajar Al-Qur’an kepada Syaikh Abdurrahman Al-Mishri, serta menulis dan menekuni kaligrafi kepada Syaikh Mahmud Al-Qushi. Selanjutnya ia mendalami ilmu tauhid dan ilmu ba­hasa kepada Syaikh Rasyid Quzaiha, yang termasyhur dengan panggilan “Syaikh Ibnu Sinan”. Untuk memper­ba­gus bacaan Al-Qur’an-nya, ia belajar ke­pada guru besar qurra` (para qari, pe­lantun bacaan Al-Qur’an) negeri Syam, Syaikh Ahmad Al-Halwani. Kepada Syaikh Salim Al-‘Aththar, ia mengkaji ber­bagai kitab besar, seperti Syarh Syudzur adz-Dzahab, Syarh Ibn Aqil, Jam’u al-Jawami’, Tafsir Al-Baidhawi, Shahih Al-Bukhari, Al-Muwaththa`, Ma­shabih as-Sunnah, hingga memperoleh semua ijazah ilmu dan kitab atas garis sanad gurunya pada tahun 1301 H/1884 M, tatkala usianya menginjak 18 tahun.
Sederet nama sang guru, seperti Syaikh Muhammad Al-Khan, Syaikh Bakri Al-‘Aththar, Syaikh Muhammad An-Naqsyabandi, dan Syaikh Hasan Ju­bainah Ad-Dasuqi, adalah nama-nama besar pujangga ilmu Islam yang menak­jubkan, yang dikenal kapasitas keilmu­annya, yang turut menghantarkannya ke­pada masa depan Jamaluddin muda yang bersinar terang.
Ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Azh-Zhahiriyah di pusat kota Da­maskus. Pada masa itu, pemerintah biasanya memilih pemuda-pemuda ter­pelajar untuk menjadi guru pelajaran umum pada bulan Ramadhan. Jamalud­din muda, yang kala itu berusia 14 tahun, sudah dilibatkan dalam aktivitas pendi­dikan dan pengajaran ini, dengan dikirim ke berbagai pelosok daerah, seperti Wadi ‘Ajam, Qadha Nabk, dan Ba’albek.
Madzhab Jamali
Ketika ayahnya wafat pada tahun 1898 M, saat ia berusia 32 tahun dan mengajar di Universitas Sinan, pihak rek­torat memintanya untuk menggantikan kedudukan ayahnya di universitas terse­but. Ia pun menerimanya. Universitas ini pun menjadi tempatnya menunjukkan kapasitas dan kualitas keulamaannya di kemudian hari. Satu di antaranya adalah aktivitas menulis, yang ditempuhnya selama 12 tahun. Maka terlahirlah karya-karya besar, di antaranya kitab tafsir Mahasin at-Ta‘wil, sebanyak 12 jilid tebal. Kitab tafsir ini merupakan karya terbesar yang dilahirkannya dan mem­beri manfaat luas bagi para penuntut ilmu di era modern.
Syaikh Jamaluddin adalah imam dan pendakwah bagi penduduk Syam. Seba­gaimana telah disebutkan, sedari belia ia mengajar di berbagai pelosok negeri Syam atas izin pemerintah, sebelum akhir­nya memilih melakukan rihlah ilmi­ah ke Mesir, Palestina, Makkah, dan Madinah.
Syaikh Jamaluddin adalah seorang yang senang berziarah dan melakukan rihlah ilmiah. Ia berkunjung ke Mesir, ber­ziarah ke berbagai situs peninggalan masa Islam, memberikan kuliah umum di Al-Azhar Asy-Syarif, dan melakukan diskusi dengan para ulama reformis Mesir, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Begitu pula ia melakukan muhibah ilmiah ke Baitul Maqdis, Makkah, dan Madinah.
Sebab berhentinya mengajar konon lan­taran tuduhan yang ditimpakan ke­padanya, yakni ingin mendirikan madz­hab baru dalam agama yang dinisbah­kan kepada namanya, Madzhab Jamali. Pemerintah Syam melakukan interogasi atasnya dan menutup majelis pengaji­annya, namun nyatanya tuduhan itu tak terbukti sama sekali.
Selama masa penyegelan aktivitas mengajar itu, Syaikh Jamaluddin tidak patah arang. Ia menyibukkan dirinya dalam menulis. Ia tetap mengajar bagi murid-murid dan masyarakat umum. Ke­kangan dakwah dan ta’lim yang diha­dapinya itu justru membuatnya semakin kreatif dan produktif menulis. Tak kurang dari 73 penulisan buah buku diselesai­kannya dalam tempo singkat. Bahkan ada yang melansir bahwa karyanya mencapai ratusan buku. Belum lagi pro­fesinya sebagai kolumnis keagamaan di berbagai majalah dan harian, yang banyak mengungkap buah pikirannya. Sehingga seorang intelektual Lebanon bernama George Affandi Haddad me­mu­ji­nya dengan sebuah syair duka cita saat Syaikh Jamaluddin wafat:

Tidurlah dengan nyenyak
wahai Jamaluddin
Sesungguhnya zaman
menanggung apa yang menimpamu
Kelak pastilah
para generasi penerus akan tahu
bagaimana keutamaanmu
Jika generasi yang kini
tidak tahu kapasitasmu

Terlahir dari sebuah Kegundahan
Putranya, Syaikh Zhafir Al-Qasimi, melansir, jumlah karya ayahnya men­dekati 100 buah. Bahkan menurut se­orang peneliti, Dr. Nizar Abazhah, jumlahnya mencapai 113 buah, ber­bentuk manuskrip maupun tercetak, tebal maupun tipis.
Karya terawal ditulisnya pada tahun 1299 H/1882 M, pada saat usianya baru 16 tahun, berjudul As-Safinah. Karya ini memuat pandangan orisinalnya dari hasil menelaah tema-tema adab, akhlaq, sejarah, syair, dan sebagainya.
Intelektualitas Syaikh Jamaluddin yang begitu cemerlang tampak pada sejumlah karyanya. Ia menulis berbagai permasalahan agama, itu menandakan keluasannya dalam ilmu pengetahuan. Di antara karya-karyanya ialah Al-Ajwibah al-Ghaliyah fil Mustadillin bi Tsubut Sunnah al-Maghrib al-Qabliy­yah, Irsyad al-Khalq, Al-Isra‘ wa al-Mi’raj, Awamir Muhimmah fi Ishlah al-Qadha asy-Syar’iyy, Ishlah al-Masajid, Al-Awrad al-Ma’tsurah, Tarikh al-Jahmiyyah wa al-Mu’tazilah, Ta’thir al-Masyam fi Ma‘atsir Dimasyq wa asy-Syam, Tanbih ath-Thalib ila Ma’rifah al-Fardh wa al-Wajib, Jawami’ al-Adab fi Akhlaq wa al-Injab, Majmu’ah Khutab, Hayah al-Bukhari, Dala‘il at-Tawhid, Asy-Syay wa al-Qahwah wa ad-Du­khan, Syadzarah as-Sirah al-Muham­madiyyah, Syaraf al-Asbath, Syams al-Jamal ‘Ala Muntakhab Kanz al-‘Ummal, Mizan al-Jarh wa at-Ta’dil, Ath-Tha‘ir al-Maymun fi Halli Lughz al-Kanz al-Madfun, Fatawa Muhimmah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah, Mizan al-Jarh wa at-Ta’dil, Jawami’ al-Adab, Madza­hib al-I’rab wa Falasifah al-Islam fi al-Jinn, Al-Mashu ‘ala al-Jawrabayn, Al-Isti‘nas li Tashhih ankihah an-Nas, An-Nafhah ar-Rahmaniyyah Syarh Matn al-Maydaniyyah fi at-Tajwid, Naqd an-Nasha‘ih al-Kafiyah ‘ala Ta’dil Mu’awi­yah, dan Maw’izhah al-Mu’minin min Ihya ‘Ulum ad-Din.
Kitab yang disebut terakhir ini me­rupakan salah satu karya agungnya bersama tafsir Mahasin at-Ta’wil.
Mau’izhatul Mu’minin adalah kitab yang mengupas sebahagian tema yang termuat dalam kitab Ihya Ulumiddin, karya Hujjatul Islam Al-Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali. Sebagaimana dikatakan Syaikh Jamaluddin dalam muqaddimahnya, karya ini terlahir dari sebuah kegundahan rekan sesama ulama terkemuka di Damaskus, di dalam memberi pemahaman pengkajian kitab Ihya bagi kalangan awam, yang me­mang menyukai tema-tema agama yang sederhana namun sulit mengerti. Al-Ihyaseakan hanya dapat memberikan man­faat bagi segelintir orang yang sudah mapan pengetahuan agamanya.
Walhasil, berangkat dari tujuan mulia ini, yakni membumikan kitab Ihya bagi masyarakat, Syaikh Jamaluddin mulai meringkasnya pada tahun 1323 H/1905 M. Ia memilih tema-tema yang seder­hana, dengan mengikuti tertib pasalnya seba­gaimana kitab aslinya, hingga tersusun menjadi dua juz (jilid).
Nyatanya, kitab ini tidak saja bertuju­an untuk kemudahan tersebut, bahkan juga menjadi bahan acuan materi para dai, di dalam memberikan penerangan keislaman bagi masyarakat, hingga kini. Inilah salah satu sumbangsih terbesar yang terasa hingga kini dari pengabdian keilmuan Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi.
Syaikh Jamaluddin wafat pada sore hari Sabtu 23 Jumadal Ula 1332 H/18 April 1914 M dalam usia 48 tahun. Singkatnya batas usia kehidupan Syaikh Jamaluddin bertolak belakang dengan pencapaian keilmuannya. Karyanya jauh melampaui usia. Umur boleh pendek, tapi karya dan aktivitasnya berjejer panjang.
Ulama yang memiliki tujuh orang putra dan putri dari seorang istri ini telah meninggalkan warisan khazanah yang berharga bagi kelanjutan tradisi penulis­an ilmu-ilmu keislaman, persis seperti ujar­annya yang mendalam, “Sesung­guhnya (meninggalkan) sebuah kitab yang tercetak itu lebih baik daripada se­ribu dai dan penceramah. Karena se­buah kitab dapat dibaca oleh orang yang menyepakati dan yang menyelisihinya.”
AB
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hubbun Nabi SAW - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger