“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (di dalam bentuk aslinya) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal....”
Dalam kelompok kata Sidratul Muntaha, terdapat dua kata: Sidrah, yang artinya pohon bidara, dan al-Muntahâ, yang artinya penghujung akhir. Yakni, sebuah pohon bidara yang dahannya berujung ke atas menandai akhir pucuknya. Kata Sidratul Muntaha merujuk kepada simbol adanya suatu tempat yang berada di atas langit tertinggi, yakni langit ketujuh.
Kata Sidratul Muntaha disebut Al-Qur’an pada surah An-Najm: 13-15, “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (di dalam bentuk aslinya) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal....”
Ayat itu berkenaan dengan terjadinya peristiwa Mi’raj-nya Nabi Muhammad SAW. Kala itu di Sidratul Muntaha beliau dapat menyaksikan Malaikat Jibril dalam bentuk aslinya untuk yang kedua kalinya dengan lebih dekat. Imam Ahmad meriwayatkan dengan sanad yang hasan (baik) oleh Al-Hafizh Ibn Hajar, dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah SAW telah melihat Jibril di atas Sidratul Muntaha, ia memiliki 600 sayap, tiap-tiap sayap menutupi ufuk. Dari sayap-sayapnya berjatuhan permata dan yaqut yang berwarna-warni indah, yang hanya Allah yang tahu berapa banyaknya.” Asal hadits ini telah diriwayatkan oleh Muslim. Sedangkan kesempatan pertama melihat Jibril adalah saat awal-awal pengutusan beliau di Gua Hira. Kepada Rasulullah juga diperlihatkan Jannatul Ma’wa (surga Ma’wa), yang posisinya dekat dengan Sidratul Muntaha.
Dalam dua buah riwayat yang berbeda, satu oleh Ibnu Mas’ud RA dan satunya lagi oleh Anas bin Malik RA, disebutkan, Sidratul Muntaha berada di langit keenam dan langit ketujuh. Sidratul Muntaha memiliki akar di langit keenam, sedangkan dahan dan cabangnya berada di langit ketujuh.
Sidratul Muntaha juga mengandung arti suatu tempat yang berakhir padanya dari apa yang turun dari atasnya, yakni berupa taqdir-taqdir; juga akhir dari yang naik dari bumi, yakni amal perbuatan manusia dan apa yang terjadi di muka bumi.
Ibnu Dihyah berkata, “Dipilihnya pohon Sidrah dalam perkara ini, bukan semua pohon yang lain, karena Sidrah mempunyai tiga kekhususan, yaitu naungan yang memanjang, rasa yang lezat, dan wangi yang semerbak. Jadi, ia menyerupai iman yang menghimpunkan ucapan, perbuatan, dan niat, yang mana naungannya seperti amal perbuatan, rasanya seperti niat, dan wanginya seperti ucapan.”
Dalam tinjauan ilmu hadits, menurut Al-Qurthubi, pendapat kedua sahabat di atas saling bertentangan. Namun sebagian besar ulama mengambil hadits riwayat Anas sebagai pegangan, karena kedudukan haditsnya marfu’ (sanadnya bersambung sampai ke Rasulullah SAW), ketimbang riwayat Ibn Mas’ud, yang mawquf (sanadnya bersandar pada satu orang sahabat). Hal ini juga sesuai dengan yang dikehendaki oleh gambaran tentangnya bahwa pada Sidratul Muntaha inilah berakhir ilmu semua nabi yang diutus atau malaikat yang didekatkan menghadap-Nya.
Sedangkan Al-Hafizh Ibn Hajar berpendapat, kedua riwayat ini bukan dipertentangkan, namun penggabungan dari sebuah pengertian bahwasanya dimungkinkan akar pohon bidara itu berada di langit keenam dan pucuk dahannya berada di langit ketujuh.
Wujud Sidratul Muntaha
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon bidara yang sangat besar, yang tumbuh mulai langit keenam hingga langit ketujuh. Muqatil menyebutkan riwayat bahwa Sidratul Muntaha terletak di sisi kanan ‘Arsy. Sedangkan Khalil berkata, pohon ini menaungi langit dan surga. Sebagian lainnya meriwayatkan, pohon bidara ini seperti pohon Thuba’, sebagaimana disebutkan dalam QS Ar-Ra’d ayat 29.
Pohon Sidrah ini adalah pohon yang bila seorang berkendaraan di bawahnya membutuhkan waktu seratus tahun. Disebutkan dalam kitab Al-Kasysyaf, dalam waktu tujuh puluh tahun tidak dapat ditempuh. Di bawah satu dahannya, dapat berteduh 100.000 penunggang kuda. Seandainya satu daunnya diletakkan di bumi ini, niscaya dapat menaungi seluruh penduduk bumi. Bentuk daunnya seperti telinga gajah dan buahnya seperti qulah (tempat air). Dari dasarnya keluar empat sungai; dua sungai yang tampak (di dunia), yaitu Sungai Nil dan Sungai Furat, sementara dua sungai lainnya tersembunyi di surga. Muqatil berkata, “Kedua sungai tersebut adalah Sungai Salsabil dan Sungai/Telaga Al-Kautsar.” Demikian keterangan kedua sungai ini yang terdapat dalam kitab Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim. Menurut Kitab As-Suluk, Sidratul Muntaha adalah sebuah pohon yang terdapat di bawah ‘Arsy. Dikatakan juga, di dasar pohon ini terdapat permadani yang terbuat dari emas.
Tentang daun pohon Sidrah ini, Anas bin Malik RA meriwayatkan dari Malik bin Sha’sha’ah RA, dari Nabi SAW, bahwa beliau menyebutkan hadits Mi’raj, dan di dalamnya disebutkan, “Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha.” Lalu Nabiyullah SAW mengisahkan, “Daunnya seperti telinga gajah dan buahnya seperti bejana batu.” Hadits ini ditakhrij dalam Ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah, juga diriwayatkan Al-Baihaqi.
Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam berbagai hadits tentang Isra Mi’raj tersebut menurut sebagian ulama hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata.
Sidratul Muntaha merupakan sebuah tempat yang ilmu para malaikat saja sampai di situ, tidak melebihinya, dan tak seorang pun sanggup melewatinya kecuali Rasulullah SAW. Tidak ada yang sanggup mengetahui apa yang ada lebih dari atasnya melainkan Allah Ta’ala.
Wallahu a’lam.
|
Home »
» Sidratul Muntaha
Tidak ada komentar:
Posting Komentar