CINTA RASULULLAH | ULAMA | HABAIB | PERBANYAKLAH MEMBACA SHOLAWAT --- --- SELAMAT DATANG DI BLOG | PE
Headlines News :

NU

s

s

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Shalawat Jalan Selamat

Shalawat Jalan Selamat
Home » » Sayyid Zaid Bin Yahya

Sayyid Zaid Bin Yahya

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Kamis, 11 Juli 2013 | 21:43


Sayyid Zaid Bin Yahya - Ahlul Bayt dan Sahabat Nabi: Dua Sisi Mata Uang
www.majalah-alkisah.comAhlul bayt dan sahabat adalah dua pihak yang tak dapat dipisahkan. Orang yang ingin memisahkan ahlul bayt dan sahabat, bagai memisahkan dua sisi mata uang.

Dai muda asal Hadhramaut ini sudah cukup akrab bagi kita. Sayyid Zaid bin Abdurrahman bin Husein Bin Yahya. Kakeknya, Habib Husein, adalah putra Habib Abubakar bin Umar Bin Yahya, seorang wali besar yang ma­kamnya berada di Surabaya.

Sayyid kelahiran Aden tahun 1971 ini, menimba ilmu dari para ulama sepuh Hadhramaut, di antaranya, Habib Salim Asy-Syathiri, Habib Abdullah Bin Syihab, Habib Abubakar Al-‘Adni Al-Masyhur, Habib Umar Bin Hafidz. Ia juga pernah tabarrukan, ngalap barakah, dengan beristifadah (mengambil faidah ilmu) pada ulama besar Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Jeddah.
Selain menjalani pendidikan salaf, pen­didikan akademis pun ia tempuh. Di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir, salah satunya. Bahkan saat ini disertasinya di bidang ilmu fiqh tengah diselesaikannya di Al-Azhar.
Dari tangan dinginnya telah pula ter­lahir sejumlah karya, di antaranya Idhah adh-Dhalalah, yang menjadi salah satu bacaan wajib dalam kurikulum Darul Mus­thafa, dan Ahlul Bayt Mawaddatuhum wa Madzhabuhum, sebuah kitab yang mengurai tentang kecintaan terhadap ahlul bayt dan juga tentang madzhab mereka. Ia juga mentahqiq beberapa kitab, di an­taranya terhadap kitab Al-Bid’ah dan Daf’ul Irtiyab karya Habib Ali Bin Yahya, salah seorang tokoh ulama Hadhramaut tempo dulu.
Sebagai seorang yang terpelajar, ke­ahliannya kini disalurkannya dalam me­ngelola Markaz An-Nur, yang menjadi ak­tivitas utamanya saat ini. Markaz An-Nur adalah sebuah institusi yang secara khu­sus memelihara kitab-kitab karya salaf hadhramiyyin, baik dari kalangan Alawiy­yin maupun bukan.
Saat kedatangannya baru-baru ini ke Ta­nah Air, pengurus Rabithah Alawiyah pusat menggelar muhadharah (kuliah umum) di Gedung Rabithah Alawiyah Lt. 5 Jln TB. Simatupang, bertemakan Hu­bungan antara Ahlul Bayt dan Sahabat Nabi SAW, dan mendaulat Sayyid Zaid se­bagai pembicara tunggal di sana.
Di bangku depan, selaku tuan rumah, yaitu sebagai salah seorang pengurus Rabithah Alawiyah, Habib Ali bin Hasan Al-Bahr mendampingi Sayyid Zaid. Se­mentara pada sisi lainnya Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri turut mendampingi da­lam kapasitasnya sebagai penerjemah. Berikut ini di antara yang disampaikan Sayyid Zaid dalam pertemuan itu.
Keagungan Didikan Nabi SAW
Merupakan kebahagiaan bagi Say­yid Zaid ketika ia bisa hadir di sekretariat Ra­­bithah Alawiyah (RA), sebagai per­kum­­pulan dan organisasi yang memiliki se­jarah tersendiri, terutama dalam ber­bagai kegiatan kebaikan, sejak dahulu kala. Bukan hal yang asing, bilamana lembaga seperti RA mengadakan acara semacam ini. Acara semacam ini adalah acara yang dapat menyatukan hubung­an dan mem­pererat persaudaraan, dan memang se­perti itulah semestinya.
Tidak ada suatu perkumpulan yang sempurna dalam segala hal. Itu merupa­kan hal yang telah digariskan sebagai sun­natullah. Namun demikian, cermin dari sebuah perkumpulan yang mengga­lang usaha-usaha kebaikan bisa dilihat dari contoh keberadaan sebuah komuni­tas yang dididik oleh Rasulullah, di mana di antara mereka adalah para saha­bat­nya yang mulia dan tentunya juga ke­luarga beliau SAW.
Sebenarnya hubungan harmonis di antara ahlul bayt dan sahabat adalah hal yang lumrah, diketahui dengan jelas, hanya saja seiring berjalannya waktu, sejarah pun diterpa oleh berbagai syub­hat, hal-hal yang ke­mudian menyebab­kan ke­rancuan dalam melihat berbagai perma­salahan terkait lainnya secara jer­nih. Aki­batnya, terdapat sejumlah pema­haman yang seharusnya tidak seperti yang di­pahami oleh semen­tara orang.
Memahami masalah hubungan anta­ra ahlul bayt dan sahabat, tak terlepas dari kerangka pemahaman terhadap ha­dits Rasulullah SAW bahwa, ”Sesung­guh­nya aku diutus untuk menyempurna­kan akhlaq.” Dari sini menjadi jelas bagi kita bahwa yang beliau bawa adalah hal-hal yang terkait dengan etika yang sangat sempurna.
Karenanya, orang-orang yang beliau lahirkan maupun orang-orang yang be­liau didik, pastilah mereka adalah orang-orang yang sangat berakhlaq. Mereka adalah orang-orang yang sangat agung dalam etikanya. Bahwa setelah berlalu­nya zaman Rasulullah SAW, kemudian di­anggap ada ketidakberhasilan Rasul­ullah SAW dalam menyempurnakan akh­­laq, ini layak dipertanyakan. Sebab, ri­salah yang dibawa Rasulullah SAW senan­tiasa diserap dengan sempurna oleh ke­luarga dan para sahabat.
Setiap insan yang menyatakan la ilaha illallah, yaitu mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya dengan baik, tentu dalam diri mereka semestinya ter­dapat akhlaq yang luar biasa, menam­pakkan akhlaq yang agung, menampak­kan kerendahhatian di depan kaum muk­minin, dan menampakkan kemuliaan di de­pan orang-orang kafir. Ini adalah sifat umum yang dimiliki oleh setiap orang yang beriman kepada Allah, sebagai­mana yang direkam dalam sejarah telah mengagumkan pihak-pihak di luar Islam.
Itu sifat-sifat umum seorang yang ber­­iman. Maka, bagaimana dengan me­reka yang dididik langsung oleh Rasul­ullah SAW, baik dari para sahabat dan ahlul bayt, tentu nilai-nilai ini teramat me­lekat dan menyatu dengan mereka.
Perhatikan, betapa orang-orang An­shar mengatakan kepada orang-orang Muhajirin, ”Saya punya beberapa istri, sila­kan ambil salah satunya. Saya akan ceraikan ia, kemudian menikahlah de­ngannya.” Mereka juga mengatakan ke­pada kaum Muhajirin, ”Saya punya be­berapa harta, silakan ambil sebagian dari hartaku.”
Ini adalah bentuk mahabbah di hati mereka terhadap sesama mereka. Inilah hasil didikan Rasulullah SAW lewat sya­riat yang ia bawa, yaitu agama Islam, yang telah menjadikan nilai-nilai duniawi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrawi. Bagi mereka nilai-nilai itu telah merasuk se­­demikian kuat, hingga bukan hal aneh bila terdapat banyak kisah semacam itu, yang kalau bukan sejarah yang telah me­rekamnya dengan jelas, niscaya akal kita sulit mempercayai kisah-kisah semacam itu.
Ini juga sekaligus merupakan bukti ke­benaran firman Allah Ta’ala, “Muham­mad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras ter­hadap orang-orang kafir, tetapi berka­sih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari ka­runia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tan­da mereka tampak pada muka mere­ka dari bekas sujud.” (QS: Al-Fath 29).
Catatan Historis
Pembahasan kita ini sebenarnya mem­butuhkan waktu yang panjang, na­mun kondisi (waktu)-lah yang menuntut kita untuk mengikhtishar (menerangkan secara ringkas).
Masalah yang panjang lebar ini te­lah di­tulis oleh para ulama terdahulu, di an­taranya Imam Daraquthni, yang menulis perihal tsana’us shahabah ’alal qarabah, pujian para sahabat terhadap kerabat, dan sebaliknya, yaitu pujian kerabat Ra­sulullah SAW terhadap sa­habat beliau. Juga ada As-Sam’ani, yang mengarang kitab dengan tema yang sama, atau Imam Zamakhsyari, salah seorang pe­nyusun kitab tafsir ter­nama, yang dalam karyanya meng­gam­barkan eratnya hu­bungan antara ahlul bayt dan sahabat.
Kitab-kitab itu ditulis oleh tokoh-tokoh dari beragam latar madzhab yang ber­beda. Sebut saja, Imam Daraquthni. Ia seorang imam dari kalangan Ahlus­sun­nah. Sementara Imam Zamakhsyari ada­­lah salah seorang pemuka dari ka­langan Mu’tazilah.
Ada juga Imam Yahya bin Hamzah dari Zabid, yang berasal dari kalangan Zaidiyah. Imam Yahya juga memiliki ka­rangan bertemakan hal yang terkait de­ngan itu, yaitu sebuah risalah yang meng­gambarkan hubungan antara ahlul bayt dan sahabat dan seruannya dalam men­cegah caci maki terhadap sahabat Ra­sulullah SAW.
Dari kalangan ini, juga tersebut nama Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, yang kemudian pindah pada madzhab ahlul hadits. Asy-Syaukani juga menulis kitab yang berisi peringatan terhadap orang-orang yang mencela sahabat Ra­sulullah SAW.
Itu di masa lalu. Masa kini pun sejum­lah tokoh melakukan hal serupa, seperti ter­lihat dari sejumlah karya Syaikh Yahya bin Husein bin Qasim, yang ber­asal dari kalangan Zaidiyah, atau Dr. Umar Abdul­lah Al-Kamil, dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah,.
Mungkin di antara kita ada yang ber­tanya, itu adalah pendapat dari kalangan Ahlussunnah atau Zaidiyah, lalu mana dari kalangan Imamiyah?
Nyatanya, kalangan Imamiyah pun tidak bisa lepas dari kenyataan historis tersebut. Syaikh Abdus Sattar At-Tun­sawi menulis sebuah kitab yang menye­butkan manaqib khulafaur rasyidin yang disebut­kan dalam kitab-kitab Syi’ah Imamiyah.
Di antara isi kitab-kitab tersebut, se­perti yang ada  pada kalangan Ah­lus­sun­nah, adalah sebagaimana yang di­ri­wayatkan dalam Ash-Shahih Al-Bukhari saat Sayyidina Abubakar me­nga­­takan, ”Urqubu Muhammadan fi ahli baytih, cintailah Nabi Muhammad de­ngan men­cintai keluarganya.”
Kalau dalam Al-Qur’an disebutkan, ”Qul la as’alukum ’alaihi ajran illal ma­wad­data fil qurba, katakanlah (wahai Muham­mad) tidaklah aku meminta upah dari ajar­an yang aku sampaikan kecuali kecintaan pada keluargaku (al-qurba),” maka Say­yidina Abubakar sendiri me­miliki hubung­an kekeluargaan dengan Rasulullah dari pernikahan putrinya, Say­yidah Aisyah RA dengan Rasuullah SAW.
Jadi, ahlul bayt dan sahabat adalah dua pihak yang tak dapat terpisahkan. Orang yang ingin memisahkan ahlul bayt dan sahabat, bagai memisahkan dua sisi mata uang.
Bahkan, Sayyidina Abubakar sendiri pernah mengatakan bahwa kerabat Ra­sulullah SAW lebih ia cintai daripada ke­rabatnya sendiri.
Di kitab-kitab itu juga, di antaranya, disebutkan tentang Sayyidina Umar yang pernah memohon perlindungan dari Allah, dari setiap kesulitan ketika tak ada Sayyidina Ali di sisinya.
Ketika Rasulullah SAW mengatakan, ”Man kuntu mawlahu fa aliyyun maulahu, siapa yang aku jadi tuannya, maka Ali juga menjadi tuannya.”
Sayyidina Umar mengetahui hadits ini, bukan setelah era Rasulullah SAW wafat. Ia mendengarnya langsung. Apa yang dilakukan Sayyidina Umar setelah ia mendengar sabda Rasulullah SAW itu?
Sayyidina Umar langsung menda­tangi Sayyidina Ali dan mengatakan, ”Se­lamat wahai Ali, engkau telah men­jadi tuan bagiku dan juga bagi orang-orang yang beriman.”
Orang-orang bertanya kepada Sayyi­dina Umar, mengapa ia begitu memulia­kan Sayyidina Ali, tidak seperti yang ia tunjukkan kepada yang lainnya. Kata Say­yidina Umar, ”Karena ia adalah maula kami, tuan kami.”
Sikap Ahlul Bayt
Namun demikian, kita juga mende­ngar dari riwayat-riwayat yang berbeda arahnya. Disebutkan dalam riwayat-riwayat itu bahwa telah terjadi intimidasi, pembakaran terhadap rumah Sayyidah Fathimah, bahkan pemukulan terhadap beliau. Riwayat-riwayat semacam itu mun­cul seakan tak pernah ada riwayat sama sekali, yang menunjukkan betapa Sayyidina Ali dikenal sebagai seorang pemberani yang luar biasa.
Tak aneh, seorang dari kalangan Imamiyah sendiri, yaitu Syaikh Muham­mad Husein Fadhlullah, mengatakan bahwa riwayat tentang intimidasi tentang pembakaran rumah dan pemukulan ter­hadap Sayyidah Fathimah adalah se­buah kedustaan yang dibuat. Riwayat-riwayat itu seolah menunjukkan betapa para sa­habat bukan orang-orang terdi­dik, yang ti­dak mendapat didikan dari Rasulullah SAW sama sekali.
Lihat saja, bagaimana sikap Sayyidi­na Ali terhadap para sahabat Rasulullah SAW? Imam Ahmad bin Hanbal meriwa­yatkan sebuah riwayat bahwa Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata kepada seseorang, ”Maukah engkau aku beri­tahu siapa orang yang paling utama se­telah Rasulullah?”
”Ya,” jawab mereka.
”Sayyidina Abubakar, kemudian Say­yidina Umar, dan kemudian ada yang ke­tiga (Sayyidina Ali tidak me­nyebut nama),” jawab Sayyidina Ali.
Sayyidina Ali tidak menyebut dirinya sendiri. Inilah pertanda bahwa Sayyidina Ali adalah orang yang muzakka, hatinya telah disucikan, bersih dan lapang, maka kemudian ia tidak menyebut dirinya sen­diri dan lebih mengutamakan yang lain.
Pernah pula satu ketika Sayyidina Ali di­tanya oleh putranya tentang adanya se­bagian orang yang mencaci maki diri­nya, Sayyidina Ali balik bertanya, ”Ha­rus­kah saya membalasnya? Sejak ka­pan lisan ayahmu ini menjadi lisan pen­caci maki? Tidak satu pun yang keluar dari lisan ayahmu ini selain madu dan ke­baikan.”
Pada saat yang lainnya, Sayyidina Ali pernah ditanya, sebenarnya bagai­mana kedudukan Abubakar dan Umar di mata Rasulullah SAW. Beliau men­jawab, ”Ke­dudukan keduanya seperti kedudukan me­reka saat ini.” Mereka berdua berba­ring di sisi Rasulullah SAW, artinya me­reka berdua memiliki ke­du­dukan yang erat di sisi Rasulullah SAW, sebagai­mana jasad me­reka berada di sisi beliau setelah mereka wafat. Ketika mereka sam­pai di alam bar­zakh, mereka pun dimakamkan dan di­kumpulkan di tempat yang sama.
Dalam kitab tafsir dari madzhab Imamiyah, Tafsir Al-Burhan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Sayyidina Ali pernah bercerita di hadapan sahabat-sahabatnya tentang kedudukan para sahabat utama Rasulullah SAW, yaitu Sayyidina Abubakar, Sayyidina Umar, dan Sayyidina Utsman. Sayyidina Ali mengatakan, Rasulullah SAW bersabda, ”Sayyidina Abubakar di sisiku bagaikan pen­dengaranku, Sayyidina Umar di sisi­ku bagaikan penglihatanku, dan Sayyi­dina Utsman di sisiku bagaikan hatiku.”
Ketika berita ini sampai pada putra Sayyidina Ali, yaitu Al-Hasan, sang putra pun bertanya kepadanya, ”Benarkah wa­hai ayahku engkau mengatakan demiki­an?”
Dengan tegas Sayyidina Ali men­jawab, ”Iya, benar.”
Demikian juga disebutkan dalam Nahj al-Balaghah, kitab rujukan bagi orang Syiah dan juga diakui sebagian­nya oleh kaum Sunni sebagai perkataan Sayyidina Ali, yang di dalamnya terdapat banyak ber­isi pujian terhadap para saha­bat Rasulullah. Bahkan dalam doa-doa yang dinisbahkan pada mereka, seperti pada Ash-Shahifah As-Sajjadiyah, juga dise­but­kan pujian-pujian kepada para saha­bat Rasulullah SAW.
Di antara para imam ahlul bayt yang banyak memuji para sahabat adalah Imam Ja’far Ash-Shadiq, yang terutama banyak me­muji Sayyidina Abubakar dan Sayyidina Umar.
Saat itu, ada sementara orang yang me­ngatakan bahwa sikap Imam Ja’far me­rupakan taqiyah. Apa kata Imam Ja’far?
”Apa gunanya aku bertaqiyah pada orang-orang yang sudah wafat. Kalau aku dianggap bertaqiyah, mestinya aku bertaqiyah kepada Hisyam (penguasa saat itu).”
Sejarah mencatat, dan inilah kenya­ta­an­nya, bahwa Imam Ja’far adalah to­koh yang berani pada penguasa saat itu dan pada sisi lain nyatanya ia senantiasa memuji para sahabat.
Khilafah Sejati
Ahlul bayt adalah orang-orang yang sangat paham terhadap kenyataan hi­dup ini, sehingga mereka lebih memilih me­lakukan tugas-tugas mulia yang di­bawa Rasulullah SAW, yaitu menyem­purnakan akhlaq umat dan membawa mereka ke­pada jalan yang diridhai Allah SWT.
Dari masa ke masa, kenyataan se­jarah menunjukkan, ahlul bayt menjadi patron umat yang menuntun mereka da­lam segala hal, dalam meniti jalan me­nuju Allah SWT. (Dalam dunia thariqah, mi­­salnya,) tidaklah orang bersuluk me­nuju Allah SWT melainkan mereka men­dapati­nya dari tangan-tangan mulia ahlul bayt Rasulullah SAW.
Dan inilah khilafah yang sempurna, khilafah yang sesungguhnya, yaitu se­buah tugas suci, sebagaimana yang dulu di­jalani oleh datuk mereka semua, Ra­sul­ullah SAW. Inilah manhaj ahlul bayt yang se­sungguhnya, merekalah pemim­pin yang sesungguhnya. Yang lain boleh jadi hanya shurah (penampakan)-nya saja.
Kesimpulannya, ahlul bayt dan saha­bat mempunyai hubungan yang sangat kuat. Bila dikatakan para sahabat itu tidak ma’shum, tidak lepas dari kesalah­an, itu be­nar, namun adanya kesalahan-ke­sa­lah­an manusiawi yang mereka laku­kan, ti­daklah mengurangi derajat mere­ka, ka­rena me­reka telah mendapatkan keisti­mewaan yang luar biasa dengan persa­habatan dengan Rasulullah SAW, sam­pai beliau mengatakan, ”Sebaik-baik­nya masa ada­lah masaku, kemudian masa setelah masa­ku, lalu masa setelah itu.”
Apa artinya? Pada dasarnya mereka ahlul bayt dan para sahabat sangat baik hubungannya, dan sangat sempurna ben­tuk komunitasnya, baik saat Rasul­ullah SAW hidup maupun di masa Rasul­ullah SAW telah wafat. Bahkan, kalau kita merenungi apa yang telah difirman­kan Allah SWT tentang keistimewaan mere­ka, para sahabat, baik yang masuk Islam sebelum maupun setelah fath Makkah, bah­wa Allah SWT telah men­janjikan hal ter­baik bagi mereka.
Artinya, kekeliruan-kekeliruan yang te­lah terjadi di antara mereka, yang me­rupakan kesalahan-kesalahan manusia yang tidak luput sebagai seorang manu­sia yang tidak ma’shum, telah terganti­kan oleh kemuliaan mereka berada di sisi Ra­sulullah SAW.
Demikian di antara yang disampai­kan Sayyid Zaid dalam muhadharah yang ber­langsung pada petang hari Sabtu, 19 Januari tersebut. Usai ulasan yang di­sampaikan olehnya, sejumlah audiens me­nyampaikan pertanyaan-pertanyaan. Jelas terlihat bahwa Sayyid Zaid memang sangat menguasai tema ini dan memiliki wawasan yang amat luas lagi cerdas da­lam menyikapi pel­bagai permasalahan yang timbul dari­nya.
Dengan wawasannya yang luas itu, ja­waban-jawaban yang disampaikan te­rasa jelas, lugas, dan mudah dicerna oleh ha­dirin. Suasana dialog benar-be­nar ter­bangun dengan baik. Tak jarang, ia meng­gunakan sejumlah kisah dalam meng­analogikan keterangan yang ingin ia sampaikan.
Dengan wawasannya yang luas pula, terlihat betapa di satu sisi ia benar-benar dapat mengisi pemahaman ha­dirin, ten­tang betapa kuatnya argumen­tasi historis yang menggambarkan hu­bungan nan har­monis antara ahlul bayt dan sahabat di satu sisi, tapi di sisi lain ia pun dapat ber­pikir dan bersikap se­cara bijak, dalam menyikapi perbedaan yang ada. Di an­taranya, saat ada per­ta­nyaan tentang si­kap tafdhil (mengutama­kan satu dari yang lainnya) di antara para sahabat Rasul­ullah SAW.
Sayyid Zaid menjawab pertanyaan itu dengan berkisah. Dikisahkan, suatu ketika Imam Ibnul Jauzi, salah seorang imam dari kalangan Ahlussunnah, ber­kunjung ke negeri Iran. Kedatangannya disambut oleh kaum muslimin di sana, hingga di­adakanlah sebuah pertemuan di salah satu masjid besar di negeri itu.
Saat itu, ternyata telah berkumpul dua kelompok umat dalam jumlah yang besar, yang saling berbeda paham satu sama lain. Ketika ia telah berada di te­ngah-te­ngah mereka, ia pun ditanya, siapa dari umat ini yang paling mulia setelah Rasul­ullah SAW?
Pertanyaan itu tentu sungguh dile­ma­tis. Lalu apa kata Imam Ibnul Jauzi?
”Aku akan menjawab dengan se­buah jawaban yang syaratnya jawaban­ku ini tidak lagi dikejar oleh pertanyaan lain se­telahnya. Bagaimana?”
Hadirin menerima syarat Ibnul Jauzi.
Kata Imam Ibnul Jauzi, ”Yang paling mulia adalah yang putrinya menjadi istrinya.”
Jawaban Ibnul Jauzi luar biasa cer­das. Dengan jawaban itu, kedua kelom­pok umat yang hadir ketika itu merasa puas. Satu kelompok merasa bahwa ka­limat itu ditujukan pada Sayyidina Abu­bakar, yang Aisyah putrinya menjadi istri Rasulullah SAW, dan itu menjadi harap­an mereka dari jawaban Ibnul Jauzi. Kelom­pok lainnya mereka bahwa kali­mat itu di­tujukan pada Sayyidina Ali, yang meni­kahi putri Rasulullah SAW, dan itulah ha­rapan mereka dari jawab Ibnul Jauzi.
Wallahu a’lam bish-shawwab.


sumber: http://www.majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/2698-sayyid-zaid-bin-yahya-ahlul-bayt-dan-sahabat-nabi-dua-sisi-mata-uang
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hubbun Nabi SAW - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger