HADITS DHO’IF - Hubbun Nabi SAW
Headlines News :

NU

s

s

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Shalawat Jalan Selamat

Shalawat Jalan Selamat
Home » » HADITS DHO’IF

HADITS DHO’IF

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Minggu, 22 April 2012 | 14:37


Hadits  Dhoif  adalah  hadits  yang  lemah  hukum  sanad  periwayatnya  atau  pada  hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin,  Hadits  dhoif  tak  dapat  dijadikan  Hujjah  atau  dalil  dalam  suatu  hukum,  namun  tak sepantasnya  kita  menafikan  (meniadakan)  hadits  dhoif,  karena  hadits  dhoif  banyak pembagiannya,  Dan  telah  sepakat  jumhur  para  ulama  untuk  menerapkan  beberapa  hukum  dengan berlandaskan  dengan  hadits  dhoif,  sebagaimana  Imam  Ahmad  bin  Hanbal rahimahullah,  menjadikan  hukum  bahwa  bersentuhan  kulit  antara  pria  dan  wanita dewasa  tidak  membatalkan  wudhu,  dengan  berdalil  pada  hadits  Aisyah  ra  bersama Rasul  saw  yang  Rasul  saw  menyentuhnya  dan  lalu  meneruskan  shalat  tanpa berwudhu,  hadits  ini  dhoif,  namun  Imam  Ahmad  memakainya  sebagai  ketentuan hukum thaharah.
Hadits dhoif ini banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81  bagian,  adapula  yang  menjadikannya  49  bagian  dan  adapula  yang  memecahnya dalam  42  bagian,  namun  para  Imam  telah  menjelaskan  kebolehan  beramal  dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib, inilah pendapat yang mu’tamad,  namun  tentunya  bukanlah  hadits  dhoif  yang  telah  digolongkan  kepada hadits palsu.

Sebagian  besar  hadits  dhoif  adalah  hadits  yang  lemah  sanad  perawinya  atau  pada matannya,  tetapi  bukan  berarti  secara  keseluruhan  adalah  palsu,  karena  hadits  palsu dinamai  hadits  munkar,  atau  mardud,  Batil,  maka  tidak  sepantasnya  kita menggolongkan  semua  hadits  dhaif  adalah  hadits  palsu,  dan  menafikan (menghilangkan)  hadits  dhaif  karena  sebagian  hadits  dhaif  masih  diakui  sebagai ucapan  Rasul  saw,  dan  tak  satu  muhaddits  pun  yang  berani  menafikan keseluruhannya,  karena  menuduh  seluruh  hadist  dhoif  sebagai  hadits  yang  palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur. 
Rasulullah  SAW  bersabda  :  "Barangsiapa  yang  sengaja  berdusta  dengan  ucapanku maka  hendaknya  ia  bersiap  siap  mengambil  tempatnya  di  neraka"  (Shahih  Bukhari hadits no.110),  Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang,  barangsiapa  yang  sengaja  berdusta  atas  namaku  maka  ia  bersiap  siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits no.1229),  
Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti  mereka  melarang  sebagian  ucapan  /  sunnah  Rasul  saw,  dan  mendustakan ucapan Rasul saw. 
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw, ilmu hadits itu adalah Bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat  syarat  perawi  hadits,  mereka  membuat  kategori  periwayat  yang  hilang  dan tak  dikenal,  namun  mereka  sangat  berhati  hati  karena  mereka  mengerti  hukum,  bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.
Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku  ngaku  sebagai  pakar  hadits,  seorang  ahli  hadits  mestilah  telah  mencapai derajat Alhafidh, alhafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100 ribu hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100 ribu hadits?. Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Alhujjah, yaitu yang hafal 300 ribu hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut:  Hakim,  yaitu  yang  pakar  hadits  yang  sudah  melewati  derajat  Ahafidh  dan  Alhujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah  Luqathuddurar  Bisyarh  Nukhbatulfikar  oleh  Imam  Al  Hafidh  Ibn  Hajar  Al Atsqalaniy). 
Diatasnya lagi adalah derajat Imam, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1  juta  hadits  dengan  sanad  dan  matannya,  dan  Ia  adalah  murid  dari  Imam  Syafii rahimahullah, dan dizaman itu terdapat ratusan Imam imam pakar hadits. 
Perlu  diketahui  bahwa  Imam  Syafii  ini  lahir  jauh  sebelum  Imam  Bukhari,  Imam  Syafii lahir  pada  th  150  Hijriyah  dan  wafat  pada  th  204  Hijriyah,  sedangkan  Imam  Bukhari lahir  pada  th  194  Hijriyah  dan  wafat  pada  256  Hijriyah,  maka  sebagaimana  sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa fatwa Imam syafii dengan berdalilkan shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah  menjadi  Imam  sebelum  usianya  mencapai  40  tahun,  maka  ia  telah  menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.
Lalu bagaimana dengan saudara saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat  kepada  hadits  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  para  Imam  ini?,  mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam Imam lainnya,  seorang  periwayat  mengatakan  hadits  ini  dhoif,  maka  muncul  mereka  ini  memberi fatwa  bahwa  hadits  itu  munkar,  darimanakah  ilmu  mereka?,  apa  yang  mereka fahami dari  ilmu  hadits?,  hanya  menukil  nukil  dari  beberapa  buku  saja  lalu  mereka  sudah berani  berfatwa,  apalagi  bila  mereka  yang  hanya  menukil  dari  buku  buku  terjemah, memang boleh boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.
Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tak bisa berfatwa dengan buku buku, karena buku  tak  bisa  dijadikan  rujukan  untuk  mengalahkan  fatwa  para  Imam  terdahulu, bukanlah berarti kita tak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada  zaman  sekarang  ini  adalah  pedoman  paling  lemah  dibandingkan  dengan  fatwa fatwa  Imam  Imam  terdahulu,  terlebih  lagi  apabila  yang  dijadikan  rujukan  untuk merubuhkan fatwa para imam adalah buku terjemahan.
Sungguh  buku  buku  terjemahan  itu  telah  terperangkap  dengan  pemahaman  si penerjemah,  maka  bila  kita  bicara  misalnya  terjemahan  Musnad  Imam  Ahmad  bin Hanbal,  sedangkan  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  ini  hafal  1  juta  hadits,  lalu  berapa  luas pemahaman  si  penerjemah  yang  ingin  menerjemahkan  keluasan  ilmu  Imam  Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana  tidak,  sungguh  sudah  sangat  banyak  hadits  hadits  yang  sirna  masa  kini, bila  kita  melihat  satu  contoh  kecil  saja,  bahwa  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  hafal  1  juta hadits,  lalu  kemana  hadits  hadits  itu?,  Imam  Ahmad  bin  Hanbal  dalam  Musnad haditsnya  hanya  tertuliskan  hingga  hadits  no.27.688,  maka  kira  kira  970  ribu  hadits yang  dihafalnya  itu  tak  sempat  ditulis…!  Lalu  bagaimana  dengan  ratusan  Imam  dan Huffadh  lainnya?,  lalu  logika  kita,  berapa  juta  hadits  yang  sirna  dan  tak  sempat tertuliskan?, mengapa? Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja  seorang  Imam  besar  yang  menghadapi  ribuan  murid2nya,  menghadapi  ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu  menulis  hadits  dengan  pena  bulu  ayam  dengan  tinta  cair  ditengah  redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid2nya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya. 
Bayangkan  betapa  sulitnya  perluasan  ilmu  saat  itu,  mereka  tak  ada  surat  kabar,  tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran  ilmu  dimasa  itu  adalah  dengan  ucapan  dari  guru  kepada  muridnya (talaqqiy),  dan  saat  itu  buku  hanyalah  1%  saja  atau  kurang  dibanding  ilmu  yang  ada pada mereka.
Lalu  murid  mereka  mungkin  tak  mampu  menghafal  hadits  seperti  gurunya,  namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari  kejahatan  syariah,  karena  di  masa  itu  seorang  yang  menyeleweng  dari  syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama. 
Oleh  sebab  itu  sanad  guru  jauh  lebih  kuat  daripada  pedoman  buku,  karena  guru  itu berjumpa  dengan  gurunya,  melihat  gurunya,  menyaksikan  ibadahnya,  sebagaimana ibadah  yang  tertulis  di  buku,  mereka  tak  hanya  membaca,  tapi  melihat  langsung  dari gurunya,  maka  selayaknya  kita  tidak  berguru  kepada  sembarang  guru,  kita  mesti selektif  dalam  mencari  guru,  karena  bila  gurumu  salah  maka  ibadahmu  salah  pula.
Maka  hendaknya  kita  memilih  guru  yang  mempunyai  sanad  silsilah  guru,  yaitu  ia mempunyai riwayat guru guru yang bersambung hingga Rasul saw. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku  buku,  walaupun  kita  masih  merujuk  pada  buku  dan  kitab,  namun  kita  tak berpedoman  penuh  pada  buku  semata,  kita  berpedoman  kepada  guru  guru  yang bersambung  sanadnya  kepada  Nabi  saw,  ataupun  kita  berpegang  pada  buku  yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga nabi saw.
Maka  bila  misalnya  kita  menemukan  ucapan  Imam  Syafii,  dan  Imam  Syafii  tak sebutkan  dalilnya,  apakah  kita  mendustakannya?,  cukuplah  sosok  Imam  Syafii  yang demikian mulia dan tinggi pemahaman ilmu syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid2nya dan ratusan Imam sesudah beliau, maka itu sebagai  dalil  atas  jawabannya  bahwa  ia  mustahil  mengada  ada  dan  membuat  buat hukum semaunya.  
Maka  muncullah  dimasa  kini  pendapat  pendapat  dari  beberapa  saudara  kita  yang membaca satu dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud, atau berfatwa  dengan  semaunya  dan  fatwa  fatwa  mereka  itu  tak  ada  para  Imam  dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh imam imam berikutnya.
Sebagaimana  berkata  Imam  Syafii  :  “Orang  yang  belajar  ilmu  tanpa  sanad  guru bagaikan  orang  yang  mengumpulkan  kayu  baker  digelapnya  malam,  ia  membawa pengikat  kayu  bakar  yang  terdapat  padanya  ular  berbisa  dan  ia  tak  tahu”  (Faidhul Qadir juz 1 hal 433), berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433) 
Semakin  dangkal  ilmu  seseorang,  maka  tentunya  ia  semakin  mudah  berfatwa  dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.
Maka  fahamlah  kita,  bahwa  mereka  mereka  yang  segera  menafikan  /  menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana  hadits  dhoif  yang  palsu  dan  mana  hadits  dhoif  yang  masih  tsiqah  untuk diamalkan,  contohnya  hadits  dhoif  yang  periwayatnya  maqthu’  (terputus),  maka dihukumi  dhoif,  tapi  makna  haditsnya  misalnya  keutamaan  suatu  amal,  maka  para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, Cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw, namun tetap dihukumi dhoif, dan masih banyak lagi contoh contoh lainnya, Masya  Allah  dari  gelapnya  kebodohan..  sebagaimana  ucapan  para  ulama  salaf  : “dalam  kebodohan  itu  adalah  kematian  sebelum  kematian,  dan  tubuh  mereka  telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. Walillahittaufiq


Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hubbun Nabi SAW - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger