NTA RASULULLAH | ULAMA | HABAIB | PERBANYAKLAH MEMBACA SHOLAWAT --- --- SELAMAT DATANG DI BLOG | PECI
Headlines News :

NU

s

s

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Kubah Masjid Rasulullah Muhammad SAW

Shalawat Jalan Selamat

Shalawat Jalan Selamat

Bidadari Surga

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Minggu, 28 April 2013 | 13:20


Setiap manusia punya rasa cinta 
yang mesti dijaga kesuciaanya 
Namun ada kala insan tak berdaya, 
saat dusta mampir bertahta 
Kuinginkan dia 
,yang punya setia. 
Yang mampu menjaga kemurniaanya. 
Saat ku tak ada, 
ku jauh darinya, 
amanah pun jadi penjaganya 
Hatimu tempat berlindungku, 
dari kejahatan syahwatku
T uhanku merestui itu, 
dijadikan engkau istriku 
Engkaulah.....Bidadari Surgaku 
Tiada yang memahami 
,sgala kekuranganku kecuali kamu, 
bidadariku Maafkanlah akudengan kebodohanku
 yang tak bisa membimbing dirimu 
Hatimu tempat berlindungku ,
dari kejahatan syahwatku 
Tuhanku merestui itu, 
dijadikan engkau istriku Engkaulah.....
Bidadari Surgaku

KH Asrori Al Ishaqi

Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Jumat, 19 April 2013 | 15:26


KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya.

Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun. Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani.

Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan. Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun.

Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam.

Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :
Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.
sumber : http://pengumpulhikmah.blogspot.com/2013/02/sejarah-kh-ahmad-asrori-al-ishaqi.html

Habib Ahmad Al Habsy

Habib Soleh Al Jufri

Habib Sholeh Al-Jufri termasuk generasi pertama santri-santri dari Indonesia yang dididik oleh Habib Umar Al-Hafidz di Darul Musthofa, Tarim, Hadramaut. Ia terkenal sebagai penerjemah yang handal dari Surakarta.Wajah habib yang satu ini kerap muncul di acara maulid atau kegiataan perayaan hari besar Islam. Ia tampil setelah pembicara pertama yang memakai bahasa Arab sangat fasih. Tentu bagi para jemaah yang tidak mengetahui bahasa Arab, akan kesulitan menyimak isi taushiah pertama. Tapi dengan kehadiran Habib yang satu ini, taushiah dari pembicara pertama tadi dapat disimak dan dipetik hikmah mutiara kata-kata. Satu persatu isi taushiah, oleh habib yang berusia 39 tahun ini, diterjemahkan dengan lancar dan gamblang.
Itulah Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri, selama ini memang lebih banyak dikenal sebagai penerjemah handal, khususnya bagi tamu dari Timur Tengah. Habib Sholeh Al-Jufri, demikian kerap para muhibbin memanggil habib kelahiran Surakarta, 30 September 1970. Selain dikenal sebagai penerjemah, ia juga mengisi kegiatan sehari-hari sebagai Pengasuh Pondok Pesantren Darul Musthofa di Desa Salam RT 01/03, Kecamatan Karang Pandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Masa kecil Habib Sholeh banyak dididik oleh kedua orang tuanya di Surakarta. Selain itu, sang ayah juga mengundang guru mengaji ke rumah. Sehingga pendidikan dari sejak masa kanak-kanak sampai usia remaja, telah nampak sosok pada Habib Sholeh menjadi seorang dai. Selain itu, ia juga mengikuti pengajian di zawiyah Habib Anis Al-Habsyi di Gurawan, Solo, mulai 1985.
Saat menginjak kelas dua SMP, ia sudah bergabung dengan ahli-ahli dakwah keliling keluar kota seperti berdakwah ke daerah Tapanuli, Padang, Lampung, bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia, Brunai dan lain-lain. Saat itu, ia bergabung dengan para dai yang ada di kota Solo seperti Ustadz Abdulrahiem, H Ikhwan, H Dimyati, H Jamil, dan lain-lain.
Pada tahun 1990, ia berkesempatan berkunjung ke India dan Pakistan untuk berziarah sekaligus bertemu dengan para alim ulama yang ada di dua negeri. Ketika di Pakistan itulah ia bertemu dengan salah seorang ustadz dari Yaman. Pada waktu itu Habib Sholeh belum lancar benar berbahasa Arab, dan akhirnya ia memakai pengantar bahasa Inggris dan bercakap-cakap dengan ustadz dari Yaman itu. Ternyata setelah berkenalan, ustadz dari Yaman itu mempunyai sebuah madrasah dan menawari Habib Sholeh untuk sekolah di di Yaman Utara.
Akhirnya sepulang dari Pakistan, ia semakin bergiat dengan persiapan-persiapan untuk berangkat ke sana. Pada akhir 1993 ia baru mendapat ijin dari orang tua untuk berangkat seorang diri ke Yaman dengan berbekal sebuah alamat dari seorang ustadz yang dikenalinya di Pakistan.
Sampai di Yaman ia langsung menuju alamat yang dipegang dan setelah mencari sebentar, akhirnya ia menemukan alamat tersebut. Di tempat tersebut, Habib Sholeh belajar pada Habib Musa Kadhim Assegaff dan Habib Abdurahman bin Hafizh (keponakan Habib Umar).
Melalui kedua gurunya itulah, Habib Sholeh mengetahui kalau Habib Musa Kadhim dan Habib Abdurrahman adalah murid dari Habib Umar Al-Hafizh, sehingga timbul dalam hatinya untuk belajar pada Habib Umar. Ia akhirnya mendapat ijin belajar pada Habib Umar di Hadramaut.
Ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, tenyata di Yaman sedang terjadi perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. “Waktu itu, kita bisa melihat peluru dan bom yang berseliweran di atas kepala. Apalagi saat itu cuaca sedang cerah karena musim panas yang luar biasa. Akibatnya kita tidak bisa tidur di dalam kamar, karena estalase listrik juga mati (habis). Mau tidak mau, kita tidur di atas bangunan (atap rumah). Alhamdulillah saya berada di tempat itu dan dalam keadaan aman. Baru ketika dipastikan keadaan Yaman sudah aman betul, saya baru bisa berangkat ke Hadramaut,” katanya.
Ketika situasi perang sudah mulai reda, kontak senjata pun sudah jarang terjadi, ia lalu berangkat menuju Tarim. Kota yang pertama kali dituju adalah kota Syihr, tepatnya Rubath (pesantren) Musthofa.
Selepas dari Rubath Musthofa dan singgah menetap selama kurang lebih 1 bulan, ia ke Tarim dengan maksud untuk bertemu dengan Habib Umar untuk meminta ijin mondok di Rubath Darul Musthofa, Tarim.
Saat itu Habib Umar memang sedang berada di Syihr dan saat bertemu dengan Habib Sholeh, Habib Umar langsung tertarik untuk mengangkat Habib Sholeh sebagai muridnya. Waktu itu murid-murid dari Indonesia yang sudah datang kira-kira sudah tinggal selama dua bulan. Generasi awal ini seperti Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Habib Munzir Al-Musawa, Habib Shodiq Baharun, Habib Quraisy Baharun, dan lain-lain. ”Jadi, Untuk kedatangan ke Tarim mereka dua bulan lebih dulu. Tapi kalau kedatangan ke Yaman, saya lebih dahulu,” ujarnya.
Kesan Tarim
Hari-hari di Darul Musthofa, Tarim dilalui dengan indah oleh Habib Sholeh. Setiap hari, waktu dimanfaatkan benar untuk belajar dan mengkaji ilmu agama. Apalagi keinginanannya untuk menguasai bahasa arab secara mendalam, dapat diperoleh di Rubath, yang terkenal telah menghasilkan ratusan ulama dari berbagai belahan dunia itu.
“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya.
Uniknya, selama belajar di Darul Musthofa, ia banyak sekali mendapatkan keajaiban-keajaiban yang ditemukan baik secara lahir maupun bathin. Setiap kali ia punya permasalahan-permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan di hati, kalau tidak mendapat jawaban dari Habib Umar dengan lisan, akan terjawab lewat mimpi. “Sehingga sembuh kalau ada keraguan atau yang bingung terpenuhi di antaranya lewat mimpi. Ini sungguh luar biasa bagi saya. Seperti tanah yang kering kemarau sangat lama, kemudian terkena hujan,” kata Habib Sholeh.
Selama di Darul Mustofa, ia pernah menjadi koordinator rekan-rekan senior, satu angkatan seperti Habib Munzir, Habib Hadi Alaydrus dan lain-lain dengan ijin Habib Umar ia bergabung dengan Jamaah Tabligh. Ia memprakasai kerjasama itu, di mana selama seminggu sekali santri-santri latihan untuk berdakwah.
Setelah berjalan beberapa bulan, akhirnya Habib Umar Al-Hafidz memutuskan gerakan dakwah para santri untuk berdikari atau berdiri sendiri. “Sampai sekarang, langkah dakwah para santri Darul Musthofa masih berjalan, mulai dari yang mingguan dan bulanan,” tuturnya.
Di mana setiap hari Kamis siang, para santri Darul Musthofa diwajibkan untuk berangkat dakwah ke suatu daerah dan baru boleh pulang pada Jumat sore. Sistemnya adalah santri-santri membuat rombongan, kemudian iktikaf di masjid dan berdakwah, dengan mengisi khutbah Jumat atau ceramah setelah shalat Jum’at.
Selama di Tarim, banyak sekali kenangan indah yang selalu menyertainya. Tarim menurut Habib Sholeh, memiliki adat yang luar biasa dan sudah terbentuk oleh salaf ratusan tahun yang lalu. “Saat Ramadhan dimaksimalkan untuk hari ibadah. Di mana di Tarim sudah menjadi tradisi untuk menghidupkan suasana malam yang luar biasa, jarang ditemui di negeri –negeri lain,” kenangnya.
Keistimewaan Tarim lainnya, kata Habib Sholeh, kota para wali ini merupakan sebuah madrasah yang besar bagi siapa saja yang datang dan mengambil ilmu. ”Tarim adalah sebuah kota Kecamatan, tapi kecamatan itu menjadi sebuah Madrasah yang besar. Bukan madrasah yang kecil dengan yayasan tertentu. Kecamatan Tarim adalah sekolahan, di situ dibentuk tradisi yang sudah ratusan tahun,” terangnya.
Di Tarim, ada majelis–majelis taklim dari pagi sampai malam. Seperti sehabis shalat Subuh di tempat Sayidina Alaydrus. Habis shalat Dhuha di tempat Mufti Bafadhal dan lain-lain. ”Uniknya, majelis taklim yang ada itu umurnya sudah ratusan dan tempat majelis taklimnya tidak berubah. Materi yang diajarkan selalu sama dan kitab-kitabnya selalu relevan untuk menjawab permasalahan-permasalahan jaman sekarang,” katanya.
Orang–orang yang masuk atau ikut majelis bisa membayangkan, dahulu orang-orang besar (para waliyullah) pernah duduk di situ, lanjutnya. “Dari Sayidinia Abubakar Syakran, Faqih Muqaddam, dan lainnya, sehingga timbul suasana haru dan khusyuk bila hadir di majelis taklim. Demikian pula yang mengajar, karena yang mengajar harus muasis yang pertama (atau masih keturunan dari pengasuh majelis taklim),” ucapnya.
Wajar ada sebuah pepatah orang Tarim yang berbunyi, “Tarim adalah guru bagi orang yang tidak punya guru.” Sehingga orang berjalan di mana-mana tidak akan kebingungan, karena akan bisa ditunjukan oleh posisi kota Tarim sendiri.
Selama menimba ilmu di Darul Musthofa, selain belajar langsung dengan Habib Umar Al-Hafidz, ia dan 29 santri asal Indonesia juga belajar dengan para alim ulama dan keturunan orang-orang besar yang ada di sana. Waktu itu, memang sistem pelajaran Darul Musthofa, 50% pelajaran didapat di pondok, dan 50% lainnya belajar dengan di majelis-majelis taklim. Habib Hasan Syatiri, Habib Salim Syatri, Habib Abdullah bin Shahab, Habib Mashur Alaydrus, Syekh Fadl Bafadal, Habib Sa’ad Alaydrus dll.
“Habib Umar hanya mendampingi, bahkan karena sayangnya Habib Umar kepada kita, beliau membawa mobil sendiri. Kadang kita jalan kaki sampai 5 kilo, dalam suasana panas, dan menembus gelap malam. Ini merupakan pendidikan mental lahir dan bathin,” kenangnya.
Kiprah di Solo
Tahun 1998, ia bersama dengan angkatan pertama, pulang ke tanah air langsung diantar oleh Habib Umar. Setelah pulang, ia bergabung dengan majelis taklim Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi (alm). “Habib Anis ini sifatnya suka membantu pemuda yang berdakwah. Istilahnya mengorbitkan. Santri diminta mengisi ceramah di maulidnya Habib Anis, bergiliran dengan penceramah-penceramah yang lain. Kemudian juga kita diberi kesempatan dalam acara-acara yang ada di Zawiyah Riyadh, seperti acara Khataman Bukhari, Rauhah, Khutbah Jumat di masjid Assegaff dan mengisi pengajian di masyarakat setempat,” jelas bapak tujuh anak (4 laki-laki, 3 perempuan).
Baru pada tahun 1999, medio Juni, ia bekerja sama dengan teman-teman di Solo mendirikan sebuah pondok pesantren yang direstui oleh Habib Anis dan Darul Mustofa Tarim. ”Semula menyewa tempat (di kota Solo). Alhamdulillah pada tahun 1999 dibuka dan dihadiri oleh para tokoh-tokoh yang ada di Solo seperti Habib Anis Alhabsyi (alm) dan Ustadz Nadjib Asegaf,” katanya.
Setelah dakwah berjalan, pada tahun 1999 ada donatur yang menawari untuk membeli tanah wakaf. Ia kemudian meminta saran pada Habib Anis. “Kira-kira, tanah wakaf yang bagus untuk pesantren di bawah Tawangmangu, tapi letaknya di atas Karanganyar,” kata Habib Sholeh menirukan Habib Anis.
Akhirnya dipilihlah desa Salam, kecamatan Karangpandan, Kabupaten Karanganyar sebagai tempat pendirian pesantren. Rupanya, pilihan Habib Anis itu memang tepat dan punya maksud baik. Karena daerah Karangpandan itu berhawa sejuk, “Kalau daerah Tawangmangu terlalu dingin, di Karanganyar itu sudah panas. Jadi tidak perlu selimut kalau malam, dan AC kalau siang. Tempatnya bagus, udaranya sejuk dan nyaman untuk belajar, itu semua berkah dari Habib Anis,” terang Habib Sholeh.
Tahun 1999 itu juga akhirnya bisa beli tanah dan pembangunan baru dimulai pada tahun 2000, yang meletakan batu pertama adalah Habib Anis Alhabsyi, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf. Setahun berikutnya dibuka oleh Habib Anis dan Habib Umar bin Hafidz.
Saat ini jumlah santri yang menetap di Darul Musthofa (Karangpandan), berjumlah 50 santri di dalam dan khoriji (di luar) ada sekitar 300 laki-laki dan perempuan. Kurikulum, pendidikan pesantren 95% mengambil kurikulum Darul Musthofa, Tarim. 5% adalah tambahan penyesuaian dengan keadaan di Indonesia.Walau Darul Musthofa Karangpandan itu terhitung masih baru, tapi kedatangannya mampu memberikan manfaat dan bisa diterima oleh masyarakat.
Hal ini tak lepas dari cara pendekatan dakwah yang dibangun, yakni membangun pola kemitraan dengan masyarakat setempat. “Pesantren ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di masyarakat, seperti kegiatan khitanan masal setiap tahun, santunan anak yatim, zakat fitrah, Idul Adha, dan kita menerjunkan murid-murid ke masyarakat. Sehingga masyarakat betul-betul merespon,” katanya.
Selain itu, di Darul Musthofa Karangpandan, ia juga mengadakan pengajian rutin mingguan khusus ibu-ibu. Serta pembacaan Ratibul Haddad tiap selapan (tiap Minggu Pon) yang dihadiri oleh masyarakat setempat.
Menurut Habib Sholeh, tantangan dalam berdakwah di pesantren justru bukan dari luar, namun secara prinsip tantangan itu pada diri sendiri. “Asal kita punya niat bersungguh-sungguh dan semangat yang istiqamah serta ikhlas. Insyaallah tidak ada tantangan,” katanya.
Dakwah, lanjutnya, haruslah dilandasi dengan prinsip kasih sayang. Bahkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita pun, wajib kita sayangi karena orang-orang yang memusuhi dakwah itu karena belum paham. ”Terhadap orang yang memusuhi, kita datangi dan kasih hadiah. Dengan adanya silaturahim akhirnya mereka dari memusuhi, paling tidak menjadi pasif. Sampai akhirnya bisa jadi simpatik,” katanya.

sumber: http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/10/06/habib-sholeh-bin-muhammad-al-jufri/

Habib Ali Al Jufri


Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman Al-Jufri dilahirkan di kota Jeddah, Arab Saudi tepat sebelum fajar pada hari Jumaat, 16 April 1971 bertepatan 20 Safar 1391 H, dari orang tua yang sampai pada keturunan Imam Hussein bin Ali ra.

Nasab

Habib Ali Zainal Abidin bin Abdul Rahman bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Ali bin Alawi bin Ahmad bin Abdul Rahman al-Maulah anak Arsha putera Muhammad Abdullah al-Tarisi bin Alawi al-Khawas putera Abu Bakar anak Jufri putra Muhammad putera Ali putera Muhammad putera Ahmad al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin Ali bin Sahab Mirbat Muhammad bin Ali Khalil Alawi Qassam anak putera Muhammad putera Alwi putera Ubaidullah Ahmad al-Muhajir ila Allah Isa putera Muhammad al-Naqib bin Ali al -Uraidhi bin Jaafar as-Sidiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zain al-Abidin putera dari Hussein (cucu Rasulullah saw) anak dari Ali bin Abu Thalib, suami dari Fatimah al-Zahra puteri Rasulullah saw.
Ibunya yang mulia puteri Marumah putera Hassan bin Alawi bin Alawi Hassan bin Ali al-Jufri.

Pendidikan

Habib Ali Al-Jufri mulai mempelajari ilmu sejak kanak-kanak lagi melalui gurunya yang pertama yaitu ibunya sendiri. Ibunya mempunyai pengaruh yang besar atas diri beliau dan dalam pelajaran dan rohani.
Antara guru-guru beliau ialah:
- Habib Abdul Qadir bin Ahmad Al-Saqqaf, Jeddah
- Habib Ahmad Masyhur bin Taha Al-Haddad
- Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, Makkah
- Habib Attas Al-Habsyi
- Habib Abu Bakar Al-Masyhur Al-Adani
- Habib Muhammad bin Abdullah Al-Hadar
- Habib Umar bin Hafiz, Yaman, menjadi sahabatnya juga dari 1993 hingga 2003

Aktivitas

Habib Ali Al-Jufri telah memberikan kelas untuk mengajar, bimbingan, nasihat, untuk membangunkan orang untuk tanggungjawab mereka dan untuk mengajak orang-orang kembali pada Allah dalam banyak negara, dimulai pada 1412 H/1991 di kota-kota dan desa-desa Yaman. Beliau memulai perjalanan di luar negeri 1414 H/1993 yang masih terus hari ini dan antaranya termasuk negara-negara berikut:
- Arab: UAE, Jordan, Bahrain, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Oman, Qatar, Kuwait, Lubnan, Libya, Mesir, Maroko, Mauritania, Kepulauan Komoro dan Djibouti.
- Asia: Indonesia, Malaysia, Singapura, India, Bangladesh dan Sri Lanka.
- Afrika: Kenya dan Tanzania.
- Eropa: Britania Raya, Jerman, Perancis, Belgia, Belanda, Irlandia, Denmark, Bosnia & Herzegovina dan Turki.
- Amerika: 3 perjalanan yang pertama adalah pada tahun 1419 H/1998, yang kedua adalah pada 1422 H/2001 dan yang ketiga yang pada 2002/1423, di samping juga mengunjungi Kanada


 sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Habib_Ali_Al-Jufri

Habib Umar Al Muthohar


Habib Umar bin Hafidz


Nasab beliau yang mulia ialah al-Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Abd-Allah bin Abi Bakr bin‘Aidrus bin al-Hussain bin al-Shaikh Abi Bakr bin Salim bin ‘Abd-Allah bin ‘Abd-al-Rahman bin ‘Abd-Allah bin al-Shaikh ‘Abd-al-Rahman al-Saqqaf bin Muhammad Maula al-Daweela bin ‘Ali bin ‘Alawi bin al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Sahib al-Mirbat bin ‘Ali Khali‘ Qasam bin ‘Alawi bin Muhammad bin ‘Alawi bin ‘Ubaidallah bin al-Imam al-Muhajir to Allah Ahmad bin ‘Isa bin Muhammad bin ‘Ali al-‘Uraidi bin Ja'far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‘Ali Zain al-‘Abidin bin Hussain cucu Nabi, putera kepada pasangan ‘Ali bin Abu Talib dan Fatimah al-Zahra puteri Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa alihi wa sohbihi wasallam.

Kehidupan


Beliau dilahirkan sebelum waktu fajar hari Isnin, 4 Muharram 1383 H bersamaan 27 Mei 1963M di Kota Tarim, Hadramaut, salah satu kota tertua di Yaman yang menjadi sangat terkenal di seluruh dunia dengan ramainya para ilmuwan dan para alim ulama yang dihasilkan dari kota ini selama berabad-abad lamanya. Beliau dibesarkan di dalam keluarga yang memiliki tradisi keilmuan Islam dan kejujuran moral dengan ayahnya yang merupakan seorang pejuang syahid yang terkenal, ahli intelektual, penda'wah yang ulung, iaitu Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz bin Shaikh Abu Bakr bin Salim yang juga merupakan Mufti Kota Tarim al-Ghanna.


Demikian juga kedua-dua datuk beliau, al-Habib Salim bin Hafiz dan al-Habib Hafiz bin Abd-Allah yang juga merupakan para intelektual Islam yang sangat dihormati kaum 'ulama dan intelektual Muslim pada zamannya. Allah seakan-akan telah menyediakan kondisi dan persekitaran yang sesuai bagi al-Habib ‘Umar melalui hubungannya dengan para intelektual muslim di sekitarnya serta kemuliaan yang muncul daripada kalangan keluarganya sendiri dan lingkungan masyarakat di mana beliau dibesarkan.
Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an pada usia yang sangat muda dan beliau juga menghafal banyak teks dan matan dalam ilmu Fiqh, Hadith, Bahasa Arab dan berbagai-bagai lagi cabang ilmu lain. Beliau turut serta dalam halaqah ilmu yang dikendalikan oleh ramai ulama-ulama tradisional seperti al-Shaikh Muhammad bin ‘Alawi bin Shihab, al-Shaikh Fadl Baa Fadl dan juga para ulama lain yang mengajar di Ribat, Tarim yang terkenal itu. Maka beliau pun mempelajari ilmu-ilmu agama dan kerohanian dari ayahnya yang meninggal syahid, al-Habib Muhammad bin Salim, yang daripadanya beliau dapatkan cinta dan perhatian yang mendalam pada da'wah dan bimbingan keagamaan mengikut cara yang dikehendaki Allah SWT. Ayahnya begitu memperhatikan al-Habib ‘Umar sewaktu kecil yang sentiasa berada di sisi ayahnya di dalam halaqah ilmu dan zikir.

Satu ketika berlaku peristiwa tragis saat al-Habib ‘Umar sedang menemani ayahnya untuk menunaikan solat Jum‘at, ayahnya diculik oleh golongan komunis, dan beliau yang masih kecil ketika itu pulang bersendirian ke rumahnya dengan masih membawa syal (kain berupa selendang) milik ayahnya, dan sejak saat itu ayahnya tidak lagi kelihatan. Ini menyebabkan beliau menganggap bahwa tanggung jawab untuk meneruskan pekerjaan yang dilakukan ayahnya iaitu dalam bidang da‘wah disampaikan melalui syal ayahnya, ibarat sebuah bendera perjuangan yang diberikan kepadanya sebelum ayahnya mati syahid. Sejak itu, dengan bendera tersebut yang dikibarkannya tinggi-tinggi, ia memulakan secara bersemangat perjalanan penuh perjuangan, mengumpulkan orang-orang, membentuk majlis-majlis ilmu dan berda’wah. Perjuangan dan usahanya yang gigih demi meneruskan perjuangan ayahnya mula membuahkan hasil. Kelas-kelas mulai dibuka bagi golongan muda mahupun orang-orang tua di masjid-masjid setempat di mana ditawarkan pelbagai peluang untuk menghafal Al Qur’an dan untuk belajar ilmu-ilmu agama.
Sesungguhnya al-Habib ‘Umar ialah seorang ulama' yang benar-benar memahami kitab suci al-Quran sehingga ia telah diberikan sesuatu kurnia yang khusus daripada Allah, meskipun ketika usianya yang masih muda. Namun hal ini mula menyebabkan timbulnya kekhuatiran akan keselamatannya dan akhirnya diputuskan supaya beliau dihantar ke kota al-Bayda’ yang terletak di tempat yang disebut Yaman Utara. Ini menjadikannya jauh dari jangkauan mereka yang berniat jahat ingin mencelakakan beliau.

Di sana bermula babak baru yang penting dalam perkembangan ilmu beliau. Dengan memasuki sekolah Ribat di al-Bayda’ beliau mula belajar ilmu-ilmu tradisional dibawah bimbingan mereka yang ahli iaitu al-Habib Muhammad bin ‘Abd-Allah al-Haddar, semoga Allah mengampuninya, dan juga dibawah bimbingan seorang 'alim mazhab Shafi‘i al-Habib Zain bin Sumait, semoga Allah melindunginya. Janji beliau terpenuhi ketika akhirnya beliau diangkat sebagai seorang guru tak lama kemudian. Beliau terus melanjutkan perjuangannya yang tak mengenal erti lelah dalam bidang da‘wah.




Kali ini tempatnya adalah al-Bayda’ dan kota-kota serta desa-desa disekitarnya. Tiada satu pun yang tertinggal dalam usahanya untuk memperkenalkan kembali cinta kasih Allah dan Rasul-Nya s.a.w dalam hati manusia seluruhnya. Kelas-kelas dan majlis didirikan, pengajaran dimulakan dan masyarakat dibimbing. Usaha beliau yang demikian gigih menyebabkan dirinya sentiasa kekurangan tidur dan istirehat. Namun usaha beliau mula menunjukkan hasil yang besar apabila manusia tersentuh dengan ajaran yang disampaikan beliau, terutamanya para pemuda yang sebelum itu terjerumus dalam kehidupan yang kosong dan sia-sia, namun kini telah mengalami perubahan mendalam hingga mereka akhirnya sedar bahawa hidup ini memiliki tujuan, mereka bangga dengan indentiti baru mereka sebagai Muslim, mengenakan serban dan selendang (rida') sebagai cara pakaian umat Islam dan mula menumpukan perhatian mereka demi meraih sifat-sifat luhur dan pekerti mulia seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.


Sejak saat itu, sekelompok besar masyarakat yang telah terkesan dengan da'wah beliau mula berkumpul mengelilingi beliau dan membantunya dalam perjuangan da‘wah di bermacam-macam kota, baik besar maupun kecil di Yaman Utara. Pada masa ini, beliau mula mengunjungi banyak tempat mahupun masyarakat di seluruh Yaman, mulai dari kota Ta'iz di utara, untuk belajar ilmu daripada mufti Ta‘iz al-Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya yang mula menaruh perhatian dan kasih-sayang yang besar terhadap beliau sebagaimana yang didapatkan daripada Shaikh al-Habib Muhammad al-Haddar sehingga guru beliau itu menawarkan puterinya untuk dinikahi setelah menyaksikan bahwa dalam diri beliau terdapat sifat-sifat kejujuran dan kepintaran yang luar biasa.

Tak lama kemudian, beliau melakukan pengembaraan yang melelahkan untuk menunaikan ibadah Haji di Makkah dan menziarahi makam Rasulullah SAW di Kota Madinah. Dalam perjalanannya ke tanah Hijaz, beliau dikurniakan kesempatan untuk mempelajari beberapa kitab daripada para ulama yang terkenal di sana, terutama daripada al-Habib 'Abdul Qadir bin Ahmad al-Saqqaf yang telah menyaksikan bahawa di dalam diri al-Habib ‘Umar, terdapat semangat pemuda yang penuh kecintaan terhadap Allah dan Rasul-Nya SAW dan seorang yang bersungguh-sungguh dalam menyebarkan ilmu dan keadilan kepada umat manusia, sehingga beliau benar-benar dicintai al-Habib Abdul Qadir selaku salah-seorang gurunya yang utama. Beliau turut dikurniakan kesempatan untuk menimba ilmu dan mendapatkan bimbingan daripada kedua-dua simbol keadilan di Hijaz, yakni al-Habib Ahmed Mashur al-Haddad dan al-Habib 'Attas al-Habashi.




Sejak itulah nama al-Habib Umar bin Hafiz mula tersebar luas disebabkan kegigihan usaha beliau dalam menyeru manusia kepada agama Islam dan memperbaharui ajaran-ajaran awal yang tradisional. Namun kepopularan dan kemasyhuran yang besar ini tidak sedikit pun mengurangkan usaha pengajaran beliau, bahkan sebaliknya. Tiada waktu yang terbuang sia-sia, setiap saat dipenuhi dengan mengingati Allah dalam pelbagai manifestasi dan cara, dalam pelbagai situasi dan lokasi yang berbeza. Perhatiannya yang mendalam dalam usaha menyuburkan keimanan terutamanya terhadap mereka yang berada di sampingnya, telah menjadi salah satu dari perilaku beliau yang paling dilihat jelas sehingga membuat nama beliau tersebar luas bahkan hingga sampai ke seantero dunia masa kini.




Berdakwah, mengajar dan belajar telah sebati dalam jiwa beliau. Pada tahun 1414H bersamaan 1994M apabila kembali ke tanah tumpah darahnya, beliau telah mengasaskan sebuah pusat pendidikan Islam yang diberi nama “Dar al-Musthafa” di Bandar Tarim Hadramaut. Ini berikutan daripada pelajar-pelajar yang datang dari beberapa Negara Islam untuk menerima didikan daripada beliau. Diperingkat awal penubuhan Dar al-Mustafa diasaskan atas beberapa matlamat seperti berikut:-

1. Menimba ilmu syariat dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya secara talaqi daripada guru-guru yang berkeahlian dalam bidang tersebut berserta sanad mereka
2. Membersihkan jiwa serta mendidik akhlak
3. Mengarusperdanakan ilmu-ilmu yang bermanafaat serta dakwah kepada Allah.

Akhirnya Dar al-Musthafa mampu membangunkan tapak pengajian sendiri yang dinobatkan secara rasmi sebagai sebuah pusat pengajian dan pendidikan Islam pada 29 Zu al-Hijjah bersamaan 6 Mei 1997. Kini Dar al-Mustafa begitu mendapat perhatian daripada pelajar-pelajar seluruh dunia Islam, ditambah pula graduan-graduannya telah diiktiraf oleh al-Azhar al-Sahrif dan kebanyakan universiti terkemuka dunia Islam.




Al-Allamah al-Habib Umar al-Hafiz telah banyak menbuat lawatan dakwah Islami dan menyampaikan ilmu syarak ke negara-negara Islam lain seperti Syria. Mesir, Sudan, Pakistan, Indonesia, Brunei Darussalam dan Negara kita Malaysia saban tahun

Karya


Di samping seorang pendakwah, Habib Umar juga seorang penulis yang produktif. Karya-karyanya tidak terhad kepada ilmu Fiqh sahaja, bahkan beliau juga mengarang beberapa kitab Tasawuf dan Maulid. Kitab yang ditulis antara lain:

• Dhiya'ul Lami' (Maulid Nabi Muhammad SAW)
• Dhakhira Musyarofah (Fiqh)
• Muhtar Ahadits (Hadits)
• Nurul Iman (Aqidah)
• Durul Asas (Nahu)
• Khulasah Madad an-Nabawi (Zikir)
• Tsaqafatul Khatib (Panduan Khutbah)

Habib Mundzir


  -->
Nama "Majelis Rasulullah." dalam aktifitas dakwah ini berawal ketika Hb Munzir Almusawa lulus dari Study-nya di Darulmustafa pimpinan Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidh Tarim Hadramaut, Yaman. Beliau kembali ke Jakarta dan memulai berdakwah pada tahun 1998 dengan mengajak orang bertobat dan mencintai nabi saw yang dengan itu ummat ini akan pula mencintai sunnahnya, dan menjadikan Rasul saw sebagai Idola.
habib Munzir mulai berdakwah siang dan malam dari rumah kerumah di Jakarta, ia tidur dimana saja dirumah-rumah masyarakat, bahkan pernah ia tertidur di teras rumah orang karena penghuni rumah sudah tidur dan ia tak mau membangunkan mereka di larut malam. Setelah berjalan kurang lebih enam bulan, Hb Munzir memulai membuka Majelis setiap malam selasa *(mengikuti jejak gurunya Al Habib Umar bin Hafidz yang membuka Majelis minggu-an setiap malam selasa), dan ia pun memimpin Ma'had Assa'adah, yang di wakafkan oleh Al Habib Umar bin Hud Alattas di Cipayung, setelah setahun, munzir tidak lagi meneruskan memimpin ma'had tersebut dan melanjutkan dakwahnya dengan menggalang majelis-majelis di seputar Jakarta.
Hb Munzir membuka majelis malam selasa dari rumah kerumah, mengajarkan Fiqh dasar, namun tampak ummat kurang bersemangat menerima bimbingannya, dan Hb munzir terus mencari sebab agar masyarakat ini asyik kepada kedamaian, meninggalkan kemungkaran dan mencintai sunnah sang Nabi saw, maka Hb Munzir merubah penyampaiannya, ia tidak lagi membahas permasalahan Fiqih dan kerumitannya, melainkan mewarnai bimbingannya dengan nasehat-nasehat mulia dari Hadits-hadits Rasul saw dan ayat Alqur'an dengan Amr Ma'ruf Nahi Munkar, dan lalu beliau memperlengkap penyampaiannya dengan bahasa Sastra yang dipadu dengan kelembutan ilahi dan tafakkur penciptaan alam semesta, yang kesemuanya di arahkan agar masyarakat menjadikan Rasul saw sebagai idola, maka pengunjung semakin padat hingga ia memindahkan Majelis dari Musholla ke musholla, lalu Musholla pun tak mampu menampung hadirin yang semakin padat, maka Munzir memindahkan Majelisnya dari Masjid ke Masjid secara bergantian.
Mulailah timbul permintaan agar Majelis ini diberi nama, Hb Munzir dengan polos menjawab, "Majelis Rasulullah?", karena memang tak ada yang dibicarakan selain ajaran Rasul saw dan membimbing mereka untuk mencintai Allah dan Rasul Nya, dan pada dasarnya semua Majelis taklim adalah Majelis Rasulullah saw..
Majelis kian memadat, maka Munzir mengambil empat masjid besar yang bergantian setiap malam selasa, yaitu masjid Raya Almunawar Pancoran Jakarta Selatan, Masjid Raya At Taqwa Pasar minggu Jakarta Selatan, Masjid Raya At Taubah Rawa Jati Jakarta Selatan, dan Ma`had Daarul Ishlah Pimp. KH. Amir Hamzah di Jalan Raya Buncit Kalibata Pulo, Namun karena hadirin semakin bertambah, maka Hb Munzir akhirnya memusatkan Majelis Malam selasa ini di Masjid Raya Almunawar Pancoran Jakarta Selatan, kini acara ini dihadiri berkisar antara 10.000 hadirin setiap minggunya, Hb Munzir juga meluaskan wilayah da'wah di beberapa wilayah Jakarta dan Sekitarnya, lalu mencapai hampir seluruh wilayah Pulau Jawa, Majelis Rasulullah tersebar di sepanjang Pantai Utara Pulau jawa dan Pantai Selatan, dan terus makin meluas ke Bali, Mataram, Irian Barat, bahkan Singapura, Johor dan Kualalumpur, demikian pula di stasion stasion TV Swasta, bahkan VCD, Majalah bulanan dll, dan kini Anugerah ilahi telah merestui Majelis Rasulullah untuk meluas ke Jaringan internet dengan nama asalnya "Website Majelis Rasulullah".
Semoga Allah memberikan anugerah kemudahan pada Hb Munzir Almusawa untuk terus menjadi Khadim Nabinya saw, memberikan padanya kesehatan Jasmani dan Rohani, dan selalu membimbingnya di Jalan yang di Ridhoi Allah swt, dan juga melimpahkan Anugerah Agung pada para aktifis Majelis Rasulullah khususnya, dan semua Pecinta Rasulullah saw pada umumnya, Amin.



KH Duri Azhari


KH Zainudin MZ


Kiai Goro-goro


KH Anwar Zahid


  • walimatul ursyi dan halal bihalal download

Ceramah Habib Lutfi

-->

Maulana Habib dilahirkan di Pekalongan pada hari Senin, pagi tanggal 27 Rajab tahun 1367 H. Bertepatan tanggal 10 November, tahun 1947 M. Dilahirkan dari seorang syarifah, yang memiliki nama dan nasab: sayidah alKarimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid Salim bin Sayid al Imam Shalih bin Sayid Muhsin bin Sayid Hasan bin Sasyid Imam ‘Alawi bin Sayid al Imam Muhammad bin al Imam ‘Alawi bin Imam al Kabir Sayid Abdullah bin Imam Salim bin Imam Muhammad bin Sayid Sahal bin Imam Abd Rahman Maula Dawileh bin Imam ‘Ali bin Imam ‘Alawi bin Sayidina Imam al Faqih al Muqadam bin ‘Ali Bâ Alawi.
Sementara nasab beliau dari jalur ayah:
Rasulullah Muhammad Saw — Sayyidatina Fathimah Azzahro+Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib–Imam Husein ash-Sibth — Imam Ali Zainal Abidin — Imam Muhammad al-Baqir–Imam Ja’far Shadiq — Imam Ali al-Uraidhi Imam Muhammad an-Naqib — Imam Isa an-Naqib ar-Rumi — Imam Ahmad Al-Muhajir — Imam Ubaidullah — Imam Alwy Ba’Alawy — Imam Muhammad — Imam Alwy — Imam Ali Khali Qasam — Imam Muhammad Shahib Marbath — Imam Ali — Imam Al-Faqih al-Muqaddam Muhammd Ba’Alawy — Imam Alwy al-Ghuyyur — Imam Ali Maula Darrak — Imam Muhammad Maulad Dawileh — Imam Alwy an-Nasiq — Al-Habib Ali — Al-Habib Alwy — Al-Habib Hasan– Al-Imam Yahya Ba’Alawy — Al-Habib Ahmad — Al-Habib Syekh — Al-Habib Muhammad — Al-Habib Thoha — Al-Habib Muhammad al-Qodhi — Al-Habib Thoha — Al-Habib Hasan — Al-Habib Thoha — Al-Habib Umar — Al-Habib Hasyim — Al-Habib Ali — Al-Habib Muhammad Luthfi
Masa Pendidikan
Pendidikan pertama Maulana Habib Luthfi diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib. Selanjutnya beliau belajar di Madrasah Salafiah. Guru-guru beliau di Madrasah itu diantaranya:
Al Alim al ‘Alamah Sayid Ahmad bin ‘Ali bin Al Alamah al Qutb As Sayid ‘Ahmad bin Abdullah bin Thalib al Athas Sayid al Habib al ‘Alim Husain bin Sayid Hasyim bin Sayid Umar bin Sayid Thaha bin Yahya (paman beliau sendiri) Sayid al ‘Alim Abu Bakar bin Abdullah bin ‘Alawi bin Abdullah bin Muhammad al ‘Athas Bâ ‘Alawi Sayid ‘Al Alim Muhammad bin Husain bin Ahmad bin Abdullah bin Thalib al ‘Athas Bâ ‘Alawi.
Beliau belajar di madrasah tersebut selama tiga tahun.
Perjalanan Ilmiah
Selanjutnya pada tahun 1959 M, beliau melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep, Cirebon. Kemudian Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah itu beliau melaksanakan ibadah haji serta menjiarahi datuknya Rasulullah Saw., disamping menimba ilmu dari ulama dua tanah Haram; Mekah-Madinah. Beliau menerima ilmu syari’ah, thariqah dan tasawuf dari para ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama, guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi. Dari Guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah Khas (khusus), dan juga ‘Am (umum) dalam Da’wah dan nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah), thariqah, tashawuf, kitab-kitab hadits, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, kitab-kitab tauhid, tashwuf, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab, kitab-kitab kedokteran. Dan beliau juga mendapat ijazah untuk membai’at.
Silsilah Thariqah dan Baiat:
Al Habib Muhammad Luthfi Bin Ali Yahya mengambil thariqah dan hirqah Muhammadiah dari para tokoh ulama. Dari guru-gurunya beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi mursyid. Diantara guru-gurunya itu adalah:
Thariqah Naqsyabandiah Khalidiyah dan Syadziliah al
‘Aliah Dari Al Hafidz al Muhadits al Mufasir al Musnid al Alim alAlamah Ghauts az Zaman Sayidi Syekh Muhammad Ash’ad Abd Malik bin Qutb al Kabir al Imam al Alamah Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid
Sanad Naqsyabandiayah al Khalidiyah:
Sayidi Syekh ash’ad Abd Malik dari bapaknya Sayidi Syekh Muhammad Ilyas bin Ali bi Hamid dari Quth al Kabir Sayid Salaman Zuhdi dari Qutb al Arif Sulaiman alQuraimi dari Qutb al Arif Sayid Abdullah Afandi dari Qutb al Ghauts al Jami’ al Mujadid Maulana Muhammad Khalid sampai pada Qutb al Ghauts al Jami’ Sayidi Syah Muhammad Baha’udin an Naqsyabandi alHasni.
Syadziliyah :
Dari Sayidi Syekh Muhammad Ash’Ad Abd Malik dari al Alim al al Alamah Ahmad an Nahrawi al Maki dari Mufti Mekah-Madinah al Kabir Sayid Shalih al Hanafi ra.
Thariqah al ‘Alawiya al ‘Idrusyiah al ‘Atha’iyah al Hadadiah dan Yahyawiyah:
Dari al Alim al Alamah Qutb al Kabir al Habib ‘Ali bin Husain al ‘Athas. Afrad Zamanihi Akabir Aulia al Alamah al habib Hasan bin Qutb al Ghauts Mufti al kabir al habib al Iamam ‘Utsman bin Abdullah bin ‘Aqil bin Yahya Bâ ‘Alawi.
Al Ustadz al kabir al Muhadits al Musnid Sayidi al Al Alamah al Habib Abdullah bin Abd Qadir bin Ahmad Bilfaqih Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Ali bin Sayid AlQutb Al Al Alamah Ahmad bin Abdullah bin Thalib al‘Athas Bâ ‘Alawi.
Al Alim al Arif billah al Habib Hasan bin Salim al ‘Athas
Singapura.
Al Alim al Alamah al Arif billah al Habib Umar bin Hafidz bin Syekh Abu Bakar bin Salim Bâ ‘Alawi.
Dari guru-guru tersebut beliau mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah dan ijazah untuk baiat, talqin dzikir khas dan ‘Am.
Thariqah Al Qadiriyah an Naqsyabandiyah:
Dari Al Alim al Alamah tabahur dalam Ilmu syaria’at, thariqah, hakikat dan tashawuf Sayidi al Imam ‘Ali bin Umar bin Idrus bin Zain bin Qutb al Ghauts al Habib ‘Alawi Bâfaqih Bâ ‘Alawi Negara Bali. Sayid Ali bin Umar dari Al Alim al Alamah Auhad Akabir Ulama Sayidi Syekh Ahmad Khalil bin Abd Lathif Bangkalan. ra.
Dari kedua gurunya itu, al Habib Muhammad Luthfi mendapat ijazah menjadi mursyid, hirqah, talqin dzikir dan ijazah untuk bai’at talqin.
Jami’uthuruq (semua thariqat) dengan sanad dan silsilahnya:
Al Imam al Alim al Alamah al Muhadits al Musnid al Mufasir Qutb al Haramain Syekh Muhammad al Maliki bin Imam Sayid Mufti al Haramain ‘Alawi bin Abas al Maliki al Hasni al Husaini Mekah.
Dari beliau, Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah mursyid, hirqah, talqin dzikir, bai’at khas, dan ‘Am, kitab-kitab karangan syekh Maliki, wirid-wirid, hizib-hizib, kitab-kitab hadis dan sanadnya.
Thariqah Tijaniah:
Al Alim al Alamah Akabir Aulia al Kiram ra’su al Muhibin
Ahli bait Sayidi Sa’id bin Armiya Giren Tegal. Kiyai Sa’id
menerima dari dua gurunya; pertama Syekh’Ali bin Abu Bakar Bâsalamah. Syekh Ali bin Abu Bakar Bâsalamah menerima dari Sayid ‘Alawi al Maliki. Kedua Syekh Sa’id menerima langsung dari Sayid ‘Alawi al Maliki.
Dari Syekh Sa’id bin Armiya itu Maulana Habib Luthfi mendapat ijazah, talqin dzikir, dan menjadi mursyid dan ijazah bai’at untuk khas dan ‘am.
Kegiatan-kegiatan Maulana Habib:
Pengajian Thariqah tiap jum’at Kliwon pagi (Jami’ul Usul thariq al Aulia).
Pengajian Ihya Ulumidin tiap Selasa malam.
Pengajian Fath Qarib tiap Rabu pagi(husus untuk ibu-ibu)
Pengajian Ahad pagi, pengajian thariqah husus ibu-ibu.
Pengajian tiap bulan Ramadhan (untuk santri tingkat Aliyah).
Da’wah ilallah berupa umum di berbagai daerah di Nusantara.
Rangakain Maulid Kanzus (lebih dari 60 tempat) di kota Pekalongan dan daerah sekitarnya. Dan kegiatan lainnya.
Jabatan Organisasi:
Ra’is ‘Am jam’iyah Ahlu Thariqah al Mu’tabarah an Nahdiyah.
Ketua Umum MUI Jawa Tengah dll.

123456 Next Page

Biografi

More on this category »

Mengenang Habib Mundzir

More on this category »
Diberdayakan oleh Blogger.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Hubbun Nabi SAW - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger