Habib Sholeh Al-Juf
ri termasuk generasi pertama santri-santri dari Indonesia yang dididik oleh Habib Umar Al-Hafidz di Darul Musthofa, Tarim,
Hadramaut. Ia terkenal sebagai penerjemah yang handal dari
Surakarta.Wajah habib yang satu ini kerap muncul di acara maulid atau
kegiataan perayaan hari besar Islam. Ia tampil setelah pembicara pertama
yang memakai bahasa Arab sangat fasih. Tentu bagi para jemaah yang
tidak mengetahui bahasa Arab, akan kesulitan menyimak isi taushiah
pertama. Tapi dengan kehadiran Habib yang satu ini, taushiah dari
pembicara pertama tadi dapat disimak dan dipetik hikmah mutiara
kata-kata. Satu persatu isi taushiah, oleh habib yang berusia 39 tahun
ini, diterjemahkan dengan lancar dan gamblang.
Itulah
Habib Sholeh bin Muhammad Al-Jufri, selama ini memang lebih banyak
dikenal sebagai penerjemah handal, khususnya bagi tamu dari Timur
Tengah. Habib Sholeh Al-Jufri, demikian kerap para muhibbin memanggil
habib kelahiran Surakarta, 30 September 1970. Selain dikenal sebagai
penerjemah, ia juga mengisi kegiatan sehari-hari sebagai Pengasuh Pondok
Pesantren Darul Musthofa di Desa Salam RT 01/03, Kecamatan Karang
Pandan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.
Masa kecil Habib Sholeh banyak dididik oleh kedua orang tuanya di
Surakarta. Selain itu, sang ayah juga mengundang guru mengaji ke rumah.
Sehingga pendidikan dari sejak masa kanak-kanak sampai usia remaja,
telah nampak sosok pada Habib Sholeh menjadi seorang dai. Selain itu, ia
juga mengikuti pengajian di zawiyah Habib Anis Al-Habsyi di Gurawan,
Solo, mulai 1985.
Saat menginjak kelas dua SMP, ia sudah bergabung dengan ahli-ahli dakwah
keliling keluar kota seperti berdakwah ke daerah Tapanuli, Padang,
Lampung, bahkan sampai ke luar negeri, seperti ke Singapura, Malaysia,
Brunai dan lain-lain. Saat itu, ia bergabung dengan para dai yang ada di
kota Solo seperti Ustadz Abdulrahiem, H Ikhwan, H Dimyati, H Jamil, dan
lain-lain.
Pada tahun 1990, ia berkesempatan berkunjung ke India dan Pakistan untuk
berziarah sekaligus bertemu dengan para alim ulama yang ada di dua
negeri. Ketika di Pakistan itulah ia bertemu dengan salah seorang ustadz
dari Yaman. Pada waktu itu Habib Sholeh belum lancar benar berbahasa
Arab, dan akhirnya ia memakai pengantar bahasa Inggris dan
bercakap-cakap dengan ustadz dari Yaman itu. Ternyata setelah
berkenalan, ustadz dari Yaman itu mempunyai sebuah madrasah dan menawari
Habib Sholeh untuk sekolah di di Yaman Utara.
Akhirnya sepulang dari Pakistan, ia semakin bergiat dengan
persiapan-persiapan untuk berangkat ke sana. Pada akhir 1993 ia baru
mendapat ijin dari orang tua untuk berangkat seorang diri ke Yaman
dengan berbekal sebuah alamat dari seorang ustadz yang dikenalinya di
Pakistan.
Sampai di Yaman ia langsung menuju alamat yang dipegang dan setelah
mencari sebentar, akhirnya ia menemukan alamat tersebut. Di tempat
tersebut, Habib Sholeh belajar pada Habib Musa Kadhim Assegaff dan Habib
Abdurahman bin Hafizh (keponakan Habib Umar).
Melalui kedua gurunya itulah, Habib Sholeh mengetahui kalau Habib Musa
Kadhim dan Habib Abdurrahman adalah murid dari Habib Umar Al-Hafizh,
sehingga timbul dalam hatinya untuk belajar pada Habib Umar. Ia akhirnya
mendapat ijin belajar pada Habib Umar di Hadramaut.
Ketika ia akan berangkat ke Hadramaut, tenyata di Yaman sedang terjadi
perang saudara antara Yaman Utara dan Yaman Selatan. “Waktu itu, kita
bisa melihat peluru dan bom yang berseliweran di atas kepala. Apalagi
saat itu cuaca sedang cerah karena musim panas yang luar biasa.
Akibatnya kita tidak bisa tidur di dalam kamar, karena estalase listrik
juga mati (habis). Mau tidak mau, kita tidur di atas bangunan (atap
rumah). Alhamdulillah saya berada di tempat itu dan dalam keadaan aman.
Baru ketika dipastikan keadaan Yaman sudah aman betul, saya baru bisa
berangkat ke Hadramaut,” katanya.
Ketika situasi perang sudah mulai reda, kontak senjata pun sudah jarang
terjadi, ia lalu berangkat menuju Tarim. Kota yang pertama kali dituju
adalah kota Syihr, tepatnya Rubath (pesantren) Musthofa.
Selepas dari Rubath Musthofa dan singgah menetap selama kurang lebih 1
bulan, ia ke Tarim dengan maksud untuk bertemu dengan Habib Umar untuk
meminta ijin mondok di Rubath Darul Musthofa, Tarim.
Saat itu Habib Umar memang sedang berada di Syihr dan saat bertemu
dengan Habib Sholeh, Habib Umar langsung tertarik untuk mengangkat Habib
Sholeh sebagai muridnya. Waktu itu murid-murid dari Indonesia yang
sudah datang kira-kira sudah tinggal selama dua bulan. Generasi awal ini
seperti Habib Jindan bin Novel Salim Jindan, Habib Munzir Al-Musawa,
Habib Shodiq Baharun, Habib Quraisy Baharun, dan lain-lain. ”Jadi, Untuk
kedatangan ke Tarim mereka dua bulan lebih dulu. Tapi kalau kedatangan
ke Yaman, saya lebih dahulu,” ujarnya.
Kesan Tarim
Hari-hari di Darul Musthofa, Tarim dilalui dengan indah oleh Habib
Sholeh. Setiap hari, waktu dimanfaatkan benar untuk belajar dan mengkaji
ilmu agama. Apalagi keinginanannya untuk menguasai bahasa arab secara
mendalam, dapat diperoleh di Rubath, yang terkenal telah menghasilkan
ratusan ulama dari berbagai belahan dunia itu.
“Saya sangat terkesan sekali di Darul Musthofa.Walau dari kecil saya
mengembara dakwah dengan para ustadz senior saya di Surakarta, dalam
hati saya masih ada celah kekosongan. Itu semuanya saya peroleh di Darul
Musthofa. Habib Umar duduk di situ, istilahnya bathin saya sangat
terpenuhi dengan ilmu dan kerohanian dari Habib Umar,” katanya.
Uniknya, selama belajar di Darul Musthofa, ia banyak sekali mendapatkan
keajaiban-keajaiban yang ditemukan baik secara lahir maupun bathin.
Setiap kali ia punya permasalahan-permasalahan dan pertanyaan-pertanyaan
di hati, kalau tidak mendapat jawaban dari Habib Umar dengan lisan,
akan terjawab lewat mimpi. “Sehingga sembuh kalau ada keraguan atau yang
bingung terpenuhi di antaranya lewat mimpi. Ini sungguh luar biasa bagi
saya. Seperti tanah yang kering kemarau sangat lama, kemudian terkena
hujan,” kata Habib Sholeh.
Selama di Darul Mustofa, ia pernah menjadi koordinator rekan-rekan
senior, satu angkatan seperti Habib Munzir, Habib Hadi Alaydrus dan
lain-lain dengan ijin Habib Umar ia bergabung dengan Jamaah Tabligh. Ia
memprakasai kerjasama itu, di mana selama seminggu sekali santri-santri
latihan untuk berdakwah.
Setelah berjalan beberapa bulan, akhirnya Habib Umar Al-Hafidz
memutuskan gerakan dakwah para santri untuk berdikari atau berdiri
sendiri. “Sampai sekarang, langkah dakwah para santri Darul Musthofa
masih berjalan, mulai dari yang mingguan dan bulanan,” tuturnya.
Di mana setiap hari Kamis siang, para santri Darul Musthofa diwajibkan
untuk berangkat dakwah ke suatu daerah dan baru boleh pulang pada Jumat
sore. Sistemnya adalah santri-santri membuat rombongan, kemudian iktikaf
di masjid dan berdakwah, dengan mengisi khutbah Jumat atau ceramah
setelah shalat Jum’at.
Selama di Tarim, banyak sekali kenangan indah yang selalu menyertainya.
Tarim menurut Habib Sholeh, memiliki adat yang luar biasa dan sudah
terbentuk oleh salaf ratusan tahun yang lalu. “Saat Ramadhan
dimaksimalkan untuk hari ibadah. Di mana di Tarim sudah menjadi tradisi
untuk menghidupkan suasana malam yang luar biasa, jarang ditemui di
negeri –negeri lain,” kenangnya.
Keistimewaan Tarim lainnya, kata Habib Sholeh, kota para wali ini
merupakan sebuah madrasah yang besar bagi siapa saja yang datang dan
mengambil ilmu. ”Tarim adalah sebuah kota Kecamatan, tapi kecamatan itu
menjadi sebuah Madrasah yang besar. Bukan madrasah yang kecil dengan
yayasan tertentu. Kecamatan Tarim adalah sekolahan, di situ dibentuk
tradisi yang sudah ratusan tahun,” terangnya.
Di Tarim, ada majelis–majelis taklim dari pagi sampai malam. Seperti
sehabis shalat Subuh di tempat Sayidina Alaydrus. Habis shalat Dhuha di
tempat Mufti Bafadhal dan lain-lain. ”Uniknya, majelis taklim yang ada
itu umurnya sudah ratusan dan tempat majelis taklimnya tidak berubah.
Materi yang diajarkan selalu sama dan kitab-kitabnya selalu relevan
untuk menjawab permasalahan-permasalahan jaman sekarang,” katanya.
Orang–orang yang masuk atau ikut majelis bisa membayangkan, dahulu
orang-orang besar (para waliyullah) pernah duduk di situ, lanjutnya.
“Dari Sayidinia Abubakar Syakran, Faqih Muqaddam, dan lainnya, sehingga
timbul suasana haru dan khusyuk bila hadir di majelis taklim. Demikian
pula yang mengajar, karena yang mengajar harus muasis yang pertama (atau
masih keturunan dari pengasuh majelis taklim),” ucapnya.
Wajar ada sebuah pepatah orang Tarim yang berbunyi, “Tarim adalah guru
bagi orang yang tidak punya guru.” Sehingga orang berjalan di mana-mana
tidak akan kebingungan, karena akan bisa ditunjukan oleh posisi kota
Tarim sendiri.
Selama menimba ilmu di Darul Musthofa, selain belajar langsung dengan
Habib Umar Al-Hafidz, ia dan 29 santri asal Indonesia juga belajar
dengan para alim ulama dan keturunan orang-orang besar yang ada di sana.
Waktu itu, memang sistem pelajaran Darul Musthofa, 50% pelajaran
didapat di pondok, dan 50% lainnya belajar dengan di majelis-majelis
taklim. Habib Hasan Syatiri, Habib Salim Syatri, Habib Abdullah bin
Shahab, Habib Mashur Alaydrus, Syekh Fadl Bafadal, Habib Sa’ad Alaydrus
dll.
“Habib Umar hanya mendampingi, bahkan karena sayangnya Habib Umar kepada
kita, beliau membawa mobil sendiri. Kadang kita jalan kaki sampai 5
kilo, dalam suasana panas, dan menembus gelap malam. Ini merupakan
pendidikan mental lahir dan bathin,” kenangnya.
Kiprah di Solo
Tahun 1998, ia bersama dengan angkatan pertama, pulang ke tanah air
langsung diantar oleh Habib Umar. Setelah pulang, ia bergabung dengan
majelis taklim Habib Anis bin Alwi bin Ali Al-Habsyi (alm). “Habib Anis
ini sifatnya suka membantu pemuda yang berdakwah. Istilahnya
mengorbitkan. Santri diminta mengisi ceramah di maulidnya Habib Anis,
bergiliran dengan penceramah-penceramah yang lain. Kemudian juga kita
diberi kesempatan dalam acara-acara yang ada di Zawiyah Riyadh, seperti
acara Khataman Bukhari, Rauhah, Khutbah Jumat di masjid Assegaff dan
mengisi pengajian di masyarakat setempat,” jelas bapak tujuh anak (4
laki-laki, 3 perempuan).
Baru pada tahun 1999, medio Juni, ia bekerja sama dengan teman-teman di
Solo mendirikan sebuah pondok pesantren yang direstui oleh Habib Anis
dan Darul Mustofa Tarim. ”Semula menyewa tempat (di kota Solo).
Alhamdulillah pada tahun 1999 dibuka dan dihadiri oleh para tokoh-tokoh
yang ada di Solo seperti Habib Anis Alhabsyi (alm) dan Ustadz Nadjib
Asegaf,” katanya.
Setelah dakwah berjalan, pada tahun 1999 ada donatur yang menawari untuk
membeli tanah wakaf. Ia kemudian meminta saran pada Habib Anis.
“Kira-kira, tanah wakaf yang bagus untuk pesantren di bawah Tawangmangu,
tapi letaknya di atas Karanganyar,” kata Habib Sholeh menirukan Habib
Anis.
Akhirnya dipilihlah desa Salam, kecamatan Karangpandan, Kabupaten
Karanganyar sebagai tempat pendirian pesantren. Rupanya, pilihan Habib
Anis itu memang tepat dan punya maksud baik. Karena daerah Karangpandan
itu berhawa sejuk, “Kalau daerah Tawangmangu terlalu dingin, di
Karanganyar itu sudah panas. Jadi tidak perlu selimut kalau malam, dan
AC kalau siang. Tempatnya bagus, udaranya sejuk dan nyaman untuk
belajar, itu semua berkah dari Habib Anis,” terang Habib Sholeh.
Tahun 1999 itu juga akhirnya bisa beli tanah dan pembangunan baru
dimulai pada tahun 2000, yang meletakan batu pertama adalah Habib Anis
Alhabsyi, Habib Muhammad bin Alwi Assegaf. Setahun berikutnya dibuka
oleh Habib Anis dan Habib Umar bin Hafidz.
Saat ini jumlah santri yang menetap di Darul Musthofa (Karangpandan),
berjumlah 50 santri di dalam dan khoriji (di luar) ada sekitar 300
laki-laki dan perempuan. Kurikulum, pendidikan pesantren 95% mengambil
kurikulum Darul Musthofa, Tarim. 5% adalah tambahan penyesuaian dengan
keadaan di Indonesia.Walau Darul Musthofa Karangpandan itu terhitung
masih baru, tapi kedatangannya mampu memberikan manfaat dan bisa
diterima oleh masyarakat.
Hal ini tak lepas dari cara pendekatan dakwah yang dibangun, yakni
membangun pola kemitraan dengan masyarakat setempat. “Pesantren ikut
serta dalam kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan yang ada di
masyarakat, seperti kegiatan khitanan masal setiap tahun, santunan anak
yatim, zakat fitrah, Idul Adha, dan kita menerjunkan murid-murid ke
masyarakat. Sehingga masyarakat betul-betul merespon,” katanya.
Selain itu, di Darul Musthofa Karangpandan, ia juga mengadakan pengajian
rutin mingguan khusus ibu-ibu. Serta pembacaan Ratibul Haddad tiap
selapan (tiap Minggu Pon) yang dihadiri oleh masyarakat setempat.
Menurut Habib Sholeh, tantangan dalam berdakwah di pesantren justru
bukan dari luar, namun secara prinsip tantangan itu pada diri sendiri.
“Asal kita punya niat bersungguh-sungguh dan semangat yang istiqamah
serta ikhlas. Insyaallah tidak ada tantangan,” katanya.
Dakwah, lanjutnya, haruslah dilandasi dengan prinsip kasih sayang.
Bahkan terhadap orang-orang yang memusuhi kita pun, wajib kita sayangi
karena orang-orang yang memusuhi dakwah itu karena belum paham.
”Terhadap orang yang memusuhi, kita datangi dan kasih hadiah. Dengan
adanya silaturahim akhirnya mereka dari memusuhi, paling tidak menjadi
pasif. Sampai akhirnya bisa jadi simpatik,” katanya.
sumber: http://majelisfathulhidayah.wordpress.com/2009/10/06/habib-sholeh-bin-muhammad-al-jufri/