11:55
Negeri 5 Menara
Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Rabu, 28 November 2012 | 11:55
12:10

Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat.
Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.
Habib Ali Al-Jufri
Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Senin, 19 November 2012 | 12:10

Ia membentuk sekelompok dai yang dikenal dengan akhlaqnya, keterbukaan pikiran dan keluasan dadanya, serta kesiapannya untuk melakukan dialog secara intensif dan bebas dengan masyarakat Barat.
Penampilan fisiknya mengagumkan: tampan, berkulit putih, tinggi, besar, berjenggot tebal dan rapi tanpa kumis. Wajar jika kehadirannya di suatu majelis selalu menonjol dan menyita perhatian orang.
Tetapi kelebihannya bukan hanya itu.
Kalau sudah berbicara di forum, orang akan terkagum-kagum lagi dengan
kelebihan-kelebihannya yang lain. Intonasi suaranya membuat orang tak
ingin berhenti mengikuti pembicaraannya. Pada saat tertentu, suara dan
ungkapan-ungkapannya menyejukkan hati pendengarnya. Tapi pada saat yang
lain, suaranya meninggi, menggelegar, bergetar, membuat mereka
tertunduk, lalu mengoreksi diri sendiri.
Namun jangan dikira kelebihannya hanya
pada penampilan fisik dan kemampuan bicara. Materi yang dibawakannya
bukan bahan biasa yang hanya mengandalkan retorika, melainkan penuh
dengan pemahaman-pemahaman baru, sarat dengan informasi penting, dan
ditopang argumentasi-argumentasi yang kukuh. Wajar, karena ia memang
memiliki penguasaan ilmu agama yang mendalam dalam berbagai cabang
keilmuan, ditambah pengetahuannya yang tak kalah luas dalam ilmu-ilmu
modern, juga kemampuannya menyentuh hati orang, membuat para
pendengarnya bukan hanya memperoleh tambahan ilmu dan wawasan, melainkan
juga mendapatkan semangat dan tekad yang baru untuk mengoreksi diri dan
melakukan perubahan.
Itulah sebagian gambaran Habib Ali bin
Abdurrahman Al-Jufri, sosok ulama dan dai muda yang nama dan kiprahnya
sangat dikenal di berbagai negeri muslim, bahkan juga di dunia Barat.
Ia memang sosok yang istimewa.
Pribadinya memancarkan daya tarik yang kuat. Siapa yang duduk dengannya
sebentar saja akan tertarik hatinya dan terkesan dengan keadaannya.
Bukan hanya kalangan awam, para ulama pun mencintainya. Siapa
sesungguhnya tokoh ini dan dari mana ia berasal?
12:06

Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.
Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid

Ta’limnya mulai bersinar di Sulawesi Selatan. Ia mengimbau para pendakwah lain agar masuk ke Makassar.
Habib Mahmud bin Umar Al-Hamid adalah figur yang sudah tidak asing lagi di Sulawesi Selatan, khususnya kota Makassar. Tak berlebihan kalau dikatakan bahwa Habib Mahmud adalah perintis dan lokomotif acara haul dan Maulid di Bumi Karebosi serta dakwah mahabbah kepada Rasulullah dengan berbagai variasinya. “Dakwah yang ikhlas akan selalu ditolong oleh Allah, dan kita yakin bahwa dakwah ini akan semakin meluas dan dikenal oleh masyarakat Sulawesi Selatan,” tuturnya mantap.
Bagi
masyarakat Sulawesi Selatan sendiri, acara seperti haul, pembacaan
Maulid, tabligh akbar, dan taushiyah masih belum dicintai sebagaimana
muhibbin di Jawa. Tapi melihat berbagai kegiatan yang dilakukan oleh
Habib Mahmud, yang dari waktu ke waktu mendapat simpati luar biasa, ke
depan dakwah mahabbah Rasulullah SAW ini insya Allah akan semakin
mendapat tempat di Bumi Anging Mamiri. “Kita benar-benar memulainya dari
nol, jatuh bangun, dihujat, dianggap bid’ah, dijauhi.... Tapi karena
landasannya ikhlas dan cinta kepada Rasulullah, sekarang semakin banyak
jama’ah yang ikut,” kata Habib Mahmud.
Ia
merasa iri dengan kondisi di Jawa, yang menurutnya para habib dan ulama
menumpuk, muhibbin tidak perlu dicari, dan kalau ada acara seperti haul
dan pembacaan Maulid cukup dengan informasi seadanya sudah dihadiri
begitu banyak orang.
“Dulu,
di Makassar ini, kita sudah mengajak, mengumumkan di berbagai media dan
mempublikasikan dengan biaya yang tidak sedikit, tapi masih kesulitan.”
Namun tak dapat diingkari bahwa dari waktu ke waktu antusiasme
masyarakat semakin tinggi, dan jumlah jama’ah ta’lim semakin meningkat.
Habib
Mahmud tidak berlebihan, jama’ah Majelis Ta’lim dan Dzikir Al Mubarak,
yang dipimpinnya, sekarang ada ribuan. Ketika diadakan acara haul akbar
pada 17 Januari 2009 yang lalu bertempat di Gedung Manunggal Jenderal
Muhammad Yusuf, kota Makassar, puluhan ribu jama’ah hadir dan larut
dalam doa dan dzikir.
Hampir
semua pejabat, petinggi, dan tokoh politik Sulawesi Selatan hadir.
“Saya berharap, semakin banyak majelis ta’lim dan Maulid berdiri,
sehingga syiar dan gemuruh dakwah di sini semakin terpancar dan umat
Islam semakin yakin dan bangga dengan ajarannya dan selalu meneladani
Rasulullah dalam kehidupan dan aktivitasnya,” ujar Habib Mahmud.
Perlu dicatat, Al Mubarak adalah satu-satunya majelis ta’lim di kota Makassar.
11:56

Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah

Asy
Syaikh Abubakar bin Salim mengatakan, “Siapa yang tidak
bersungguh-sungguh di permulaannya, tidak akan sampai di
penghabisannya.”
Beberapa bulan terakhir, ada sebuah buku yang
banyak dicari-cari orang. Buku tersebut memuat kumpulan biografi para
habib yang memiliki peranan penting dalam perkembangan dakwah Islam di
Indonesia. Judulnya, Biografi 17 Habaib Berpengaruh di Indonesia. Karena
respons peminatnya yang cukup besar, hanya dalam tempo tiga bulan buku
tersebut sudah tiga kali cetak ulang. Hingga diturunkannya tulisan ini,
buku itu sudah dicetak hingga 12 ribu eksemplar.
Bila
diperhatikan secara seksama, buku tersebut memiliki keunikan tersendiri
dibanding buku-buku sejenis lainnya. Selain memuat kisah perjalanan
para habib sebagai insan-insan dakwah yang memiliki pengaruh kuat dalam
perkembangan agama Islam di tanah air, buku tersebut juga dilengkapi
banyak foto eksklusif para habib itu sendiri.
Tidak
mengherankan, karena ternyata buku itu disusun seorang sayyid muda yang
sudah lebih dari sepuluh tahun terakhir bersusah payah mengumpulkan dan
memelihara foto-foto para habib. Dari yang antik-antik atau foto-foto
habaib dan ulama tempo dulu, hingga foto-foto habaib zaman sekarang. Di
samping mengoleksi foto, ia juga gemar mengumpulkan kisah-kisah
perjalanan hidup mereka.
Dulu,
di awal kesukaannya mengumpulkan foto-foto habaib dan manaqib para
salaf, tidak terbersit sedikit pun dalam pikirannya bahwa pada suatu
saat kelak ia akan menyusun buku semacam ini. Namun sekarang, terbitnya
buku tersebut adalah salah satu bentuk natijah (buah) dari keringat
himmah (kesungguhan)-nya selama ini, yang dengan penuh suka dan duka
mengumpulkan jejak-jejak dakwah para habib.
Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.
Siapakah sayyid muda penulis buku itu? Dialah Habib Abdul Qadir bin Umar Mauladawilah.
11:52
Ia, yang biasa dipanggil Ustadz Umar oleh murid-muridnya, lahir pada tanggal 11 Oktober 1949 di daerah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Ayahnya tokoh yang sangat dikenal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pendiri madrasah Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah. Sedangkan ibunya seorang wanita shalihah, Hajjah Barkah.
Semua saudaranya yang laki-laki, Habib Muhammad, Habib Ali, Habib Alwi, dan Habib Abu Bakar, sejak muda hingga kini juga berkiprah dalam bidang dakwah dan pendidikan umat.
Sejak kecil Ustadz Umar telah dididik oleh ayahnya dengan keras. Setiap habis ashar ia menyuruhnya membaca qashidah Al-Burdah seluruhnya sampai datang waktu maghrib. Sesudah itu membaca ratib dan belajar Al-Quran hingga waktu isya tiba. Ia juga belajar berbagai kitab kepada ayahnya. Selain kepada sang ayah, ia pun belajar Al-Quran kepada ibunya.
Bahasa Inggris
Dasar-dasar ilmu agama pertama-tama diperolehnya di madrasah sang ayah. Selain di madrasah, ia juga bersekolah di SD Bukit Duri Puteran Pagi II, yang diselesaikannya tahun 1964.
Selesai SD, ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah meskipun memiliki keinginan belajar yang sangat kuat. Namun hal itu tidak mematahkan tekadnya untuk menuntut ilmu, demi masa depannya. Karenanya, ia terus belajar dan mencari jalan agar bisa mendapatkan tambahan ilmu.
Maka mulailah ia mengikuti kursus bahasa Inggris di Diponegoro, di daerah Kramat, Jakarta Pusat, dan kemudian di Masjid Arif Rahman Hakim, Salemba, Jakarta Pusat. Ia sungguh-sungguh serius ingin menguasai bahasa Inggris. Karena itu, setelah tidak lagi mengikuti kursus, ia mendatangkan guru privat ke rumah.
Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf

“Belajar ilmu itu kepada siapa saja tidak apa-apa, asalkan sang guru menguasai bidang yang diajarkan dan orangnya shalih.”
Kini kita sulit menemukan tokoh-tokoh ulama yang keseriusan,
kesungguhan, dan kerajinannya dalam menimba ilmu seperti
pendahulu-pendahulu mereka di masa lalu. Seandainya ada pun, bisa
dihitung dengan jari. Habib Umar bin Abdurrahman bin Ahmad Assegaf,
pemimpin Ma`had dan Majelis Ta’lim Al-Kifahi Ats-Tsaqafi, adalah satu di
antara mereka yang sedikit itu.Ia, yang biasa dipanggil Ustadz Umar oleh murid-muridnya, lahir pada tanggal 11 Oktober 1949 di daerah Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Ayahnya tokoh yang sangat dikenal, Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, pendiri madrasah Ats-Tsaqafah Al-Islamiyyah. Sedangkan ibunya seorang wanita shalihah, Hajjah Barkah.
Semua saudaranya yang laki-laki, Habib Muhammad, Habib Ali, Habib Alwi, dan Habib Abu Bakar, sejak muda hingga kini juga berkiprah dalam bidang dakwah dan pendidikan umat.
Sejak kecil Ustadz Umar telah dididik oleh ayahnya dengan keras. Setiap habis ashar ia menyuruhnya membaca qashidah Al-Burdah seluruhnya sampai datang waktu maghrib. Sesudah itu membaca ratib dan belajar Al-Quran hingga waktu isya tiba. Ia juga belajar berbagai kitab kepada ayahnya. Selain kepada sang ayah, ia pun belajar Al-Quran kepada ibunya.
Bahasa Inggris
Dasar-dasar ilmu agama pertama-tama diperolehnya di madrasah sang ayah. Selain di madrasah, ia juga bersekolah di SD Bukit Duri Puteran Pagi II, yang diselesaikannya tahun 1964.
Selesai SD, ia tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah meskipun memiliki keinginan belajar yang sangat kuat. Namun hal itu tidak mematahkan tekadnya untuk menuntut ilmu, demi masa depannya. Karenanya, ia terus belajar dan mencari jalan agar bisa mendapatkan tambahan ilmu.
Maka mulailah ia mengikuti kursus bahasa Inggris di Diponegoro, di daerah Kramat, Jakarta Pusat, dan kemudian di Masjid Arif Rahman Hakim, Salemba, Jakarta Pusat. Ia sungguh-sungguh serius ingin menguasai bahasa Inggris. Karena itu, setelah tidak lagi mengikuti kursus, ia mendatangkan guru privat ke rumah.
11:50
Sabtu Pagi itu, 20 Maret, di bilangan Kompleks Bulog, Bekasi, yang
tampak bersahaja, rumah-rumah, yang asri, rimbun dengan pepohonan,
terlihat masih sepi. Hanya beberapa gelintir orang berlalu lalang,
melintasi jalanan trotoar.
Setelah melewati beberapa blok, tibalah mobil tim alKisah di sebuah rumah besar dengan halaman yang luas dan tertata apik. Dari luar, rumah itu tampak sepi, namun beberapa mobil memenuhi halaman parkir, hingga meluber ke jalan raya kompleks.
Terdengar sayup-sayup alunan shalawat yang diiringi tetabuhan hadrah, “Assalamu’alaika ya... Zainal Anbiya’...”
Begitu memasuki bagian per bagian kediaman Bapak Joko Susanto, pemilik rumah yang digelar Maulid, terlihat puluhan kaum bapak dan ibu telah duduk rapi di halaman yang telah dipasangi karpet dan tenda. Mereka khidmat mengikuti alunan shalawat.
Tampak di atas panggung sesosok pria paruh baya bergamis putih dan berkopiah putih. Ia pun tampak khidmat mengikuti shalawat.
Tak berapa lama, bagian terpenting acara Maulid pun dimulai, pembacaan Maulid Simthud Durar. Dipimpin sosok pria bergamis putih tadi, pembacaan Maulid karangan ulama besar Hadhramaut, Yaman, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, berlangsung syahdu. Apalagi pada bagian mahallul qiyam. Pria tadi melantunkan kidung penuh kerinduan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Tak sedikit jama’ah yang menitikkan air mata....
Ir. Habib Husin Mulachela
“Insya Allah orang yang mencintai akan mengikuti semua sunnah yang dicintai.”
Setelah melewati beberapa blok, tibalah mobil tim alKisah di sebuah rumah besar dengan halaman yang luas dan tertata apik. Dari luar, rumah itu tampak sepi, namun beberapa mobil memenuhi halaman parkir, hingga meluber ke jalan raya kompleks.
Terdengar sayup-sayup alunan shalawat yang diiringi tetabuhan hadrah, “Assalamu’alaika ya... Zainal Anbiya’...”
Begitu memasuki bagian per bagian kediaman Bapak Joko Susanto, pemilik rumah yang digelar Maulid, terlihat puluhan kaum bapak dan ibu telah duduk rapi di halaman yang telah dipasangi karpet dan tenda. Mereka khidmat mengikuti alunan shalawat.
Tampak di atas panggung sesosok pria paruh baya bergamis putih dan berkopiah putih. Ia pun tampak khidmat mengikuti shalawat.
Tak berapa lama, bagian terpenting acara Maulid pun dimulai, pembacaan Maulid Simthud Durar. Dipimpin sosok pria bergamis putih tadi, pembacaan Maulid karangan ulama besar Hadhramaut, Yaman, Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, berlangsung syahdu. Apalagi pada bagian mahallul qiyam. Pria tadi melantunkan kidung penuh kerinduan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Tak sedikit jama’ah yang menitikkan air mata....
11:48
Setiap orang hendaknya banyak beristighfar dan selalu mengingat
dosa-dosa yang telah lewat dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi bagi
setiap langkap kehidupannya ke depan. Betapa tidak. Setiap kali
Rasulullah SAW usai mengerjakan shalat, yang pertama kali beliau ucapkan
adalah istighfar, permohonan ampunan dari Allah SWT. Padahal, beliau
suci dari dosa, setiap saat derajatnya naik di sisi Allah SWT, dan tidak
ada yang lebih baik ibadahnya daripada beliau. Tapi beliau masih terus
beristighfar terhadap segala sesuatu dari masa yang telah terlewat.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam.
Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
Untuk tujuan itu, ia datang ke Indonesia. Dan karena itu pula, di antara rombongan dakwah Habib Umar tersebut, ia sempat tinggal lebih lama beberapa hari di Indonesia, untuk melihat-lihat sejumlah kitab makhthuthat, atau tulisan-tulisan tangan yang belum tercetak, yang ada di Indonesia, untuk kemudian digandakan, dibawa, dan disimpan di Hadhramaut, demi kepentingan bersama. Apa yang dilakukannya itu memang merupakan aktivitas rutinnya saat ini.
Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya
Sampai kini masih banyak tersimpan
kitab yang masih dalam tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar
luas yang tersimpan di dalam rumah-rumah penduduk Hadhramaut.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam.
Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
Untuk tujuan itu, ia datang ke Indonesia. Dan karena itu pula, di antara rombongan dakwah Habib Umar tersebut, ia sempat tinggal lebih lama beberapa hari di Indonesia, untuk melihat-lihat sejumlah kitab makhthuthat, atau tulisan-tulisan tangan yang belum tercetak, yang ada di Indonesia, untuk kemudian digandakan, dibawa, dan disimpan di Hadhramaut, demi kepentingan bersama. Apa yang dilakukannya itu memang merupakan aktivitas rutinnya saat ini.
11:42
Setiap orang hendaknya banyak beristighfar dan selalu mengingat
dosa-dosa yang telah lewat dan menjadikannya sebagai bahan evaluasi bagi
setiap langkap kehidupannya ke depan. Betapa tidak. Setiap kali
Rasulullah SAW usai mengerjakan shalat, yang pertama kali beliau ucapkan
adalah istighfar, permohonan ampunan dari Allah SWT. Padahal, beliau
suci dari dosa, setiap saat derajatnya naik di sisi Allah SWT, dan tidak
ada yang lebih baik ibadahnya daripada beliau. Tapi beliau masih terus
beristighfar terhadap segala sesuatu dari masa yang telah terlewat.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam.
Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya
Sampai kini masih banyak tersimpan
kitab yang masih dalam tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar
luas yang tersimpan di dalam rumah-rumah penduduk Hadhramaut.
Demikian di antara yang disampaikan Habib Zeid bin Abdurrahman Bin Yahya, ulama muda dari Hadhramaut, saat mengunjungi pondok pesantren Habib Abdurrahman Bahlega Assegaf di Pasuruan, Jawa Timur. Hari itu, Ahad petang, 10 Januari 2010, kru alKisah pun berkesempatan berbincang-bincang panjang dengan salah satu anggota rombongan dakwah Habib Umar Bin Hafidz yang berkunjung ke Indonesia beberapa pekan silam.
Kini, lewat lembaga bernama Markaz An-Nur, ia dipercaya untuk mengkoordinasikan upaya-upaya pelestarian khazanah peninggalan Hadhramaut, terutama kitab-kitab yang masih dalam bentuk tulisan tangan yang belum tercetak dan tersebar luas, atau kitab-kitab cetakan lama, termasuk juga majalah-majalah, yang terkait dengan dunia Arab secara umum maupun masyarakat Hadhramaut pada khususnya.
11:40
Habib Muhammad Syahab dikenal dengan majelis ta’limnya, Al-Anwar.
Habib Syahab sangat menekankan kepada murid-muridnya untuk selalu
menjaga adab, memperbagus akhlaq, dan tidak menyakiti sesama. Oleh
karena itu, majelis ta’lim yang dirintis sejak kepulangannya dari
Hadhramaut pada 2005 yang lalu itu kini semakin dikenal luas oleh
khalayak.
Di samping karena ajaran yang disampaikannya, itu semua juga tidak terlepas dari pribadi Habib Muhammad Syahab, yang lemah lembut, santun, dan cepat akrab dengan siapa saja. Semua itu menurutnya adalah hasil dari gemblengan guru-gurunya yang sangat ia hormati dan menjadi inspirasi langkah-langkahnya dalam meretas masa depan.
Hasil Gemblengan Tokoh-tokoh Besar
Habib Muhammad Syahab lahir di Palembang, 31 tahun yang lalu. Ia
bertekad untuk mewakafkan dirinya berdakwah di jalan Allah. “Saya
memulai dari nol.... Saya tidak punya apa-apa, hanya niat yang tulus
ingin berjuang di jalan Allah,” tuturnya.
Selesai sekolah dasar di Palembang, ia langsung berguru kepada Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri selama sepuluh tahun. Menurutnya, Walid, demikian Habib Abdurrahman Assegaf akrab disapa, banyak sekali memberikan bimbingan dan teladan yang luar biasa kepada murid-muridnya. “Walid itu tokoh besar..., dan saya sungguh beruntung bisa belajar di bawah asuhannya,” ujar Habib Syahab mengenang.
Setelah sepuluh tahun berguru dan berbakti kepada Habib Abdurrahman Assegaf, ia pun mohon restu untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Hadhramaut. “Tapi saat itu Walid tidak mengizinkan, saya masih diperlukan. Sebagai murid yang patuh, saya pun taat kepada guru, karena itu termasuk adab. Saya yakin, pasti ada berkahnya.”
Habib Muhammad bin Taufiq bin Syahab
“Hadir di majelis ilmu bisa
menghidupkan hati yang telah mati, sebagaimana Allah SWT menghidupkan
tanah yang telah tandus dengan air hujan,” ujarnya.
Di samping karena ajaran yang disampaikannya, itu semua juga tidak terlepas dari pribadi Habib Muhammad Syahab, yang lemah lembut, santun, dan cepat akrab dengan siapa saja. Semua itu menurutnya adalah hasil dari gemblengan guru-gurunya yang sangat ia hormati dan menjadi inspirasi langkah-langkahnya dalam meretas masa depan.
Hasil Gemblengan Tokoh-tokoh Besar

Selesai sekolah dasar di Palembang, ia langsung berguru kepada Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri selama sepuluh tahun. Menurutnya, Walid, demikian Habib Abdurrahman Assegaf akrab disapa, banyak sekali memberikan bimbingan dan teladan yang luar biasa kepada murid-muridnya. “Walid itu tokoh besar..., dan saya sungguh beruntung bisa belajar di bawah asuhannya,” ujar Habib Syahab mengenang.
Setelah sepuluh tahun berguru dan berbakti kepada Habib Abdurrahman Assegaf, ia pun mohon restu untuk melanjutkan menuntut ilmu ke Hadhramaut. “Tapi saat itu Walid tidak mengizinkan, saya masih diperlukan. Sebagai murid yang patuh, saya pun taat kepada guru, karena itu termasuk adab. Saya yakin, pasti ada berkahnya.”
11:39
Di kalangan habaib dan muhibbin di Semarang, nama Habib Ghazi bin
Ahmad bin Mustafa bin Husin bin Syahab dikenal sebagai ahli tafsir
Al-Quran, dan dia mengajarkan salah satu cabang ilmu Al-Quran ini dalam
berbagai majelis ilmu. Ya, habib yang pernah belajar tafsir kepada
Syaikh Abdul Hamid Kisyk (ulama besar di Kairo, Mesir) ini memang sangat
gemar dengan kajian ilmu tafsir.
Di berbagai majelis, Habib Ghazi memang mengajarkan berbagai ilmu. Namun yang paling dia sukai adalah mengajar tafsir Al-Quran dengan pedoman tafsir Syaikh Abdul Hamid Kisyk. Ketika mengajar di Majelis An-Nur Jalan Petek 55 Semarang, dia mempergunakan kitab tafsir sang guru yang berjudul Rihabut Tafsir (Memperluas Pencerahan Ilmu Tafsir).
Sudah tiga tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru sampai surah Al-Baqarah ayat 173. Ini menunjukkan betapa dia sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran.
Mengapa menggunakan kitab Syaikh Abdul Kadir Kisyk? “Meski secara fisik beliau itu buta, pengetahuannya dan hafalannya sangat luar biasa,” katanya.
Tafsir karya Syaikh Abdul Hamid Kisyk berbentuk tahlili, yaitu kata per kata. Tafsirnya mirip Tafsir Al-Maraghi, tetapi lebih modern. “Sebagai contoh, belum ada pembahasan tentang bayi tabung, tetapi Syaikh Abdul Hamid Kisyk telah membahasnya dengan tuntas. Intinya membolehkan, selama sesuai dengan syari’at Islam, yaitu benih berasal dari suaminya yang sah,” tuturnya.
Aqidah dalam kitab ini sangat kuat dan berdasarkan pendapat salafush shalih. Dalam hadits pun dia sangat kuat dan mendetail.
Di Mesir, para ulama agak segan menerangkan ihwal Bani Israil secara benar sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran, karena pemerintah Mesir melarang para dai atau syaikh menjelek-jelekkan bangsa Israel.
“Bani Israil orang yang telah mencampakkan syari’at dari Allah itu ke belakang, bukan ke arah muka. Kalau dibuang ke belakang jelas tidak akan dipungut lagi, tetapi kalau dibuang ke muka masih ada kemungkinan akan dipungut lagi, sebab masih akan dilalui,” kata Habib Ghazi tentang Bani Israil sesuai dengan tafsir Al-Quran yang diajarkan oleh gurunya.
Yang menarik, sebelum dimulai atau sesudah selesai pelajaran tafsir ini, Syaikh Kisyk membacakan shalawat yang indah. “Jadi ajaran beliau tidaklah berbeda dengan para sadah Alawiyin, seperti tahlil, tawassul, dan barakah,” katanya.
Habib Ghazi bin Ahmad Syahab
Dia dikenal sebagai pakar ilmu tafsir di
Semarang. Namun dia juga membina anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak
membaca Al-Quran dari dasar.
Di berbagai majelis, Habib Ghazi memang mengajarkan berbagai ilmu. Namun yang paling dia sukai adalah mengajar tafsir Al-Quran dengan pedoman tafsir Syaikh Abdul Hamid Kisyk. Ketika mengajar di Majelis An-Nur Jalan Petek 55 Semarang, dia mempergunakan kitab tafsir sang guru yang berjudul Rihabut Tafsir (Memperluas Pencerahan Ilmu Tafsir).
Sudah tiga tahun mengajar tafsir, sampai sekarang baru sampai surah Al-Baqarah ayat 173. Ini menunjukkan betapa dia sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran.
Mengapa menggunakan kitab Syaikh Abdul Kadir Kisyk? “Meski secara fisik beliau itu buta, pengetahuannya dan hafalannya sangat luar biasa,” katanya.
Tafsir karya Syaikh Abdul Hamid Kisyk berbentuk tahlili, yaitu kata per kata. Tafsirnya mirip Tafsir Al-Maraghi, tetapi lebih modern. “Sebagai contoh, belum ada pembahasan tentang bayi tabung, tetapi Syaikh Abdul Hamid Kisyk telah membahasnya dengan tuntas. Intinya membolehkan, selama sesuai dengan syari’at Islam, yaitu benih berasal dari suaminya yang sah,” tuturnya.
Aqidah dalam kitab ini sangat kuat dan berdasarkan pendapat salafush shalih. Dalam hadits pun dia sangat kuat dan mendetail.
Di Mesir, para ulama agak segan menerangkan ihwal Bani Israil secara benar sebagaimana dijelaskan di dalam Al-Quran, karena pemerintah Mesir melarang para dai atau syaikh menjelek-jelekkan bangsa Israel.
“Bani Israil orang yang telah mencampakkan syari’at dari Allah itu ke belakang, bukan ke arah muka. Kalau dibuang ke belakang jelas tidak akan dipungut lagi, tetapi kalau dibuang ke muka masih ada kemungkinan akan dipungut lagi, sebab masih akan dilalui,” kata Habib Ghazi tentang Bani Israil sesuai dengan tafsir Al-Quran yang diajarkan oleh gurunya.
Yang menarik, sebelum dimulai atau sesudah selesai pelajaran tafsir ini, Syaikh Kisyk membacakan shalawat yang indah. “Jadi ajaran beliau tidaklah berbeda dengan para sadah Alawiyin, seperti tahlil, tawassul, dan barakah,” katanya.
11:37
Habib Hasan adalah anak sulung Habib Ja’far Assegaf yang lahir di
Bogor pada 26 Februari 1977. Ia mendapat pendidikan awal dari ayahnya,
kemudian meneruskan ke Pesantren Darul Hadits dan Darut Tauhid di Malang
selama tiga tahun. Setelah itu ia juga sempat mengambil kuliah di IAIN
Sunan Ampel, Malang.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
Habib Hasan bin Ja’far Assegaf
Habib Umar bin Hafidz dari Tarim,
Hadhramaut, setelah meminta pertimbangan kepada Al-Alamah Habib Anis
Al-Habsyi, mengubah nama majelis ta’lim itu menjadi “Nurul Muthofa”.
Tahun 1998, Habib Hasan membuka sekaligus memimpin Majelis Ta’lim Al-Irfan. Pengajian digelar di kediamannya, di Bogor, tepat di belakang rumah Habib Kramat Empang, Bogor.
Pada suatu malam, setelah shalat Istikharah dan sebelumnya melakukan ziarah ke makam kakeknya, Habib Abdullah bin Muhsin Alattas, di Bogor, Habib Hasan bermimpi. “Ana bermimpi bertemu Habib Kuncung (Habib Ahmad bin Alwi Al-Haddad). Dalam mimpi itu Habib Kuncung berkata agar ana berdakwah di Jakarta,” tutur Habib Hasan.
Menyadari bahwa saran itu datang dari habib kharismatis yang sudah tiada, Habib Hasan pun memulai dakwahnya di Jakarta.
11:35
Di usianya yang sudah kepala tujuh, pemikirannya masih tetap bernas.
Suaranya masih tetap tegas menyangkut hal-hal yang prinsip. Itulah Prof.
Dr. Habib Umar bin Abdurrahman Shihab, salah satu pakar hukum Islam,
guru besar UIN Syarif Hidayatullah, ketua MUI Pusat. Ditemui di rumahnya
yang asri di Kompleks Puspa Gading, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Prof.
Umar mengungkapkan keprihatinannya menyangkut umat Islam di negeri ini.
“Umat Islam saat ini tidak satu pendapat dalam banyak hal, mereka tidak bisa menyatukan pendapat, terutama dalam bidang politik. Bidang politik ini sangat menentukan untuk agenda umat dan juga arah berbangsa. Di DPR suara umat Islam tidak terwakili walau yang masuk beragama Islam. Mereka tidak berhasrat memenangkan Islam,” ujar alumnus Universitas Al-Azhar ini prihatin.
Menurut kakak kandung Prof. Quraish Shihab ini, banyak orang yang salah dalam menilai Islam, mereka itu adalah orang yang tidak mengerti Islam. Di samping juga orang Islam tidak lagi memperhatikan agamanya. Akhlaq dan nilai Islam sudah luntur.
Menurutnya, kalau dulu murid-murid begitu patuh kepada guru karena pelajaran akhlaq sangat diresapi, sekarang sebaliknya, guru yang takut kepada murid, mungkin karena pengaruh orangtuanya yang pejabat atau kaya raya. Dulu kalau murid dimarahi guru, orangtua akan ikut memarahi anaknya, karena hormatnya mereka kepada guru. Kini kalau murid dimarahi guru, orangtua akan mencari guru itu, untuk memarahinya. Jadi nilai akhlaq sudah luntur.
“Lingkungan dan orangtua tidak lagi mengakomodir anak sesuai dengan tuntunan agama. Kita tidak bisa menyalahkan teknologi atau televisi, karena itu bukan akar masalahnya, tapi kita yang kurang serius mendidik anak-anak dan generasi muda sehingga mereka menyimpang jauh dari ruh Islam,” katanya.
Prof . Dr. Habib Umar Shihab
Dia merasa prihatin dengan minimnya
pemahaman umat Islam terhadap agamanya sehingga banyak melakukan
penyimpangan dalam merespons kehidupan. Apa syarat minimal yang harus
dipenuhi umat Islam?
“Umat Islam saat ini tidak satu pendapat dalam banyak hal, mereka tidak bisa menyatukan pendapat, terutama dalam bidang politik. Bidang politik ini sangat menentukan untuk agenda umat dan juga arah berbangsa. Di DPR suara umat Islam tidak terwakili walau yang masuk beragama Islam. Mereka tidak berhasrat memenangkan Islam,” ujar alumnus Universitas Al-Azhar ini prihatin.
Menurut kakak kandung Prof. Quraish Shihab ini, banyak orang yang salah dalam menilai Islam, mereka itu adalah orang yang tidak mengerti Islam. Di samping juga orang Islam tidak lagi memperhatikan agamanya. Akhlaq dan nilai Islam sudah luntur.
Menurutnya, kalau dulu murid-murid begitu patuh kepada guru karena pelajaran akhlaq sangat diresapi, sekarang sebaliknya, guru yang takut kepada murid, mungkin karena pengaruh orangtuanya yang pejabat atau kaya raya. Dulu kalau murid dimarahi guru, orangtua akan ikut memarahi anaknya, karena hormatnya mereka kepada guru. Kini kalau murid dimarahi guru, orangtua akan mencari guru itu, untuk memarahinya. Jadi nilai akhlaq sudah luntur.
“Lingkungan dan orangtua tidak lagi mengakomodir anak sesuai dengan tuntunan agama. Kita tidak bisa menyalahkan teknologi atau televisi, karena itu bukan akar masalahnya, tapi kita yang kurang serius mendidik anak-anak dan generasi muda sehingga mereka menyimpang jauh dari ruh Islam,” katanya.
11:33
Ulama intelektual ini memang memiliki banyak keahlian sehingga aktivitasnya pun menjadi sangat beragam. Sosok yang dibutuhkan banyak orang, enak diajak bicara, dan bersuara merdu, ini lahir di Kampung 13 Ulu, Palembang, pada tanggal 26 Januari 1954.
Ayahnya, Habib Husin bin Agil bin Ahmad Al-Munawar (lahir 13 Desember 1932, wafat 13 November 1989, adalah salah seorang tokoh habaib yang dihormati di Palembang. Sedangkan ibunya, Syarifah Sundus binti Muhammad Al-Munawar (wafat 20 Februari 2001), adalah ibu rumah tangga yang shalihah dan bijaksana.
Saat Said Agil berusia dua tahun lebih, tepatnya tanggal 1 Juli 1956, ayahandanya mendirikan madrasah yang diberi nama “Shiratul-Jannah”. Lokasinya di Kampung 14 Ulu, kampung yang bersebelahan dengan kampung tempat tinggalnya. Kemudian setelah lokasinya dipindahkan, perguruannya berganti nama menjadi “Perguruan Islam Munawariyah”.
Dari tahun ke tahun perguruan yang dipimpinnya terus menghasilkan lulusan-lulusan dengan penguasaan ilmu-ilmu agama yang memadai, minimal untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Namun tak sedikit pula yang menjadi ulama dan ustadz yang melanjutkan perjuangannya.
Said Agil sendiri ketika kanak-kanak, di samping bersekolah di SD Negeri 8 Sepuluh Ulu Palembang di pagi hari, juga belajar di madrasah ayahandanya ini di siang hari. Jadi, ia pun salah seorang alumninya.
Ia lulus dari madrasah Ibtidaiyah Munawariyah tahun 1966, sedangkan di SD Negeri ia lulus tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Al-Ahliyah, sebuah perguruan yang didirikan tahun 1920-an oleh para ulama terkemuka di wilayah Palembang. Said Agil dapat menyelesaikannya pada tahun 1969.
Prof. Dr. Habib Said Agil Almunawar
Setelah berkeluarga, semangat belajarnya tak pernah berkurang, apalagi hilang.
Qari andal, hafizh Al-Quran, pakar fiqih dan ushul fiqh, pengajar
pascasarjana di berbagai perguruan tinggi, muballigh dan pengisi
berbagai acara di televisi, juri MTQ tingkat internasional di berbagai
negara. Itulah sebagian di antara sederet atribut dan aktivitas yang
disandang Prof. Dr. Habib Said Agil Husin Almunawar. Ulama intelektual ini memang memiliki banyak keahlian sehingga aktivitasnya pun menjadi sangat beragam. Sosok yang dibutuhkan banyak orang, enak diajak bicara, dan bersuara merdu, ini lahir di Kampung 13 Ulu, Palembang, pada tanggal 26 Januari 1954.
Ayahnya, Habib Husin bin Agil bin Ahmad Al-Munawar (lahir 13 Desember 1932, wafat 13 November 1989, adalah salah seorang tokoh habaib yang dihormati di Palembang. Sedangkan ibunya, Syarifah Sundus binti Muhammad Al-Munawar (wafat 20 Februari 2001), adalah ibu rumah tangga yang shalihah dan bijaksana.
Saat Said Agil berusia dua tahun lebih, tepatnya tanggal 1 Juli 1956, ayahandanya mendirikan madrasah yang diberi nama “Shiratul-Jannah”. Lokasinya di Kampung 14 Ulu, kampung yang bersebelahan dengan kampung tempat tinggalnya. Kemudian setelah lokasinya dipindahkan, perguruannya berganti nama menjadi “Perguruan Islam Munawariyah”.
Dari tahun ke tahun perguruan yang dipimpinnya terus menghasilkan lulusan-lulusan dengan penguasaan ilmu-ilmu agama yang memadai, minimal untuk kepentingan diri sendiri dan keluarga. Namun tak sedikit pula yang menjadi ulama dan ustadz yang melanjutkan perjuangannya.
Said Agil sendiri ketika kanak-kanak, di samping bersekolah di SD Negeri 8 Sepuluh Ulu Palembang di pagi hari, juga belajar di madrasah ayahandanya ini di siang hari. Jadi, ia pun salah seorang alumninya.
Ia lulus dari madrasah Ibtidaiyah Munawariyah tahun 1966, sedangkan di SD Negeri ia lulus tahun 1967. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Tsanawiyah Al-Ahliyah, sebuah perguruan yang didirikan tahun 1920-an oleh para ulama terkemuka di wilayah Palembang. Said Agil dapat menyelesaikannya pada tahun 1969.
11:32
Khusus bagi seorang muballigh yang alim dan shalih, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf, Makkah mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia tak ‘kan pernah melupakan kota ini. Di sinilah ia tumbuh dewasa, digembleng dalam taburan ilmu dan hikmah, di bawah asuhan dan bimbingan ulama besar kota Makkah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasany.
Saat ditemui alKisah di Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain, pesantren yang dibangunnya sejak tujuh tahun lalu, di Jalan Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada tanggal 2 November, sebelum ia pergi ke Tanah Suci Makkah pada 7 November, dengan senang hati habib yang berperawakan gagah itu menceritakan bagaimana pengalamannya saat belajar bersama gurunya tercinta di tanah yang dimuliakan dan disucikan Allah SWT.
“Alhamdulillah, tiada duka. Semuanya sangat menyenangkan.... Ini nikmat Allah yang luar biasa,” katanya.
Berikut penuturan Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf yang begitu mempesona:
Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf
Seorang murid harus jadi orang baik. Jika tidak, ia bisa dikeluarkan.
Makkah, kota di tengah gurun pasir nan tandus, selalu menjadi
tujuan kaum muslimin setiap tahunnya untuk berhaji. Meski jarak jauh
membentang, harus mengorbankan harta benda, bahkan nyawa. Bukan hanya
demi sebuah kewajiban, yang harus ditunaikan bagi yang mampu, tapi lebih
dari itu, demi kerinduan yang memuncak kepada Sang Pemilik Makkah,
Pemilik Ka’bah, Allah Azza Wajallah.Khusus bagi seorang muballigh yang alim dan shalih, Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf, Makkah mempunyai tempat tersendiri di hatinya. Ia tak ‘kan pernah melupakan kota ini. Di sinilah ia tumbuh dewasa, digembleng dalam taburan ilmu dan hikmah, di bawah asuhan dan bimbingan ulama besar kota Makkah Sayyid Muhammad bin Alwy Al-Maliky Al-Hasany.
Saat ditemui alKisah di Pondok Pesantren Al-Haromain Asy-Syarifain, pesantren yang dibangunnya sejak tujuh tahun lalu, di Jalan Ganceng, Pondok Ranggon, Jakarta Timur, pada tanggal 2 November, sebelum ia pergi ke Tanah Suci Makkah pada 7 November, dengan senang hati habib yang berperawakan gagah itu menceritakan bagaimana pengalamannya saat belajar bersama gurunya tercinta di tanah yang dimuliakan dan disucikan Allah SWT.
“Alhamdulillah, tiada duka. Semuanya sangat menyenangkan.... Ini nikmat Allah yang luar biasa,” katanya.
Berikut penuturan Habib Hamid bin Abdullah Al-Kaf yang begitu mempesona:
11:29
Melalui dakwahnya, hakikat pemahaman yang sempurna akan kemuliaan dakwah dan dalam mengikuti metode salafush shalih tertanam dengan kuat pada generasi masa kini. Ia telah mengembalikan cahaya kemilau madrasah Hadhramaut di berbagai bidang.”
Seperti biasa, di bulan Muharram, ulama kecintaan umat ini datang ke Indonesia, di antaranya untuk menghadiri peringatan Haul Syaikh Abu Bakar bin Salim di daerah Cidodol, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 26 Desember.
Menyambut kehadirannya yang tak berapa lama lagi, kali ini kami suguhkan di hadapan pembaca pandangannya tentang kemoderatan dalam Islam, sebagaimana yang ia ungkap dalam kitabnya, Al-Wasathiyah fil Islam: “Moderat bukan sekadar bersikap lunak atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu. Moderatisme harus ditempatkan sebagai sebuah pemahaman yang benar terhadap hakikat syari’at dalam setiap kedudukannya. Ia merupakan hakikat dari petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang telah diterima Rasulullah SAW dari Tuhannya, yang kemudian diamanatkannya untuk disampaikan kepada segenap manusia.
Habib Umar Bin Hafidz
Moderat bukan sekadar bersikap lunak
atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan
kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu.
Dari berbagai penuturannya dalam berdakwah, orang mengenal Habib Umar Bin Hafidz sebagai ulama yang moderat. Dalam kitabnya, Qubsatunnur,
Habib Abubakar Al-Adni bin Ali Al-Masyhur menggambarkan sosoknya dengan
mengatakan, “Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafizh, yang, dengannya
dan dengan semangatnya, Allah menjaga ruh dakwah dan sirr thariqah yang
berkah ini, terutama pada episode gelap dalam sejarah Hadhramaut. Para
pengikut manhaj salaf bersatu di sekelilingnya.Melalui dakwahnya, hakikat pemahaman yang sempurna akan kemuliaan dakwah dan dalam mengikuti metode salafush shalih tertanam dengan kuat pada generasi masa kini. Ia telah mengembalikan cahaya kemilau madrasah Hadhramaut di berbagai bidang.”
Seperti biasa, di bulan Muharram, ulama kecintaan umat ini datang ke Indonesia, di antaranya untuk menghadiri peringatan Haul Syaikh Abu Bakar bin Salim di daerah Cidodol, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, yang tahun ini akan jatuh pada tanggal 26 Desember.
Menyambut kehadirannya yang tak berapa lama lagi, kali ini kami suguhkan di hadapan pembaca pandangannya tentang kemoderatan dalam Islam, sebagaimana yang ia ungkap dalam kitabnya, Al-Wasathiyah fil Islam: “Moderat bukan sekadar bersikap lunak atau sekadar bersikap proporsional dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok lain. Pengertian moderat lebih luas dari itu. Moderatisme harus ditempatkan sebagai sebuah pemahaman yang benar terhadap hakikat syari’at dalam setiap kedudukannya. Ia merupakan hakikat dari petunjuk-petunjuk Ilahiyah yang telah diterima Rasulullah SAW dari Tuhannya, yang kemudian diamanatkannya untuk disampaikan kepada segenap manusia.
11:28
Habib Ahmad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf adalah pribadi yang
hangat, ramah, dan mudah akrab dengan siapa pun. Cara berbicaranya runut
dan komunikatif.
Ia lahir pada 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang menyandang nama besar sebagai Paku Bumi, tokoh dakwah yang disegani dan pecinta ilmu, yaitu kakeknya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan ayahnya, Ali bin Abdurrahman Assegaf.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal dan pesantren di tempat kakeknya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri.
Setelah empat tahun menuntut ilmu di Madinah, Habib Ahmad kembali ke tanah air. Dan mulailah ia meretas jalan dakwah.
Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul Kassyaf (Cahaya yang Tembus), yang menggelar pengajian setiap Selasa malam. Majelis ini mulai beraktivitas tahun 2003.
Pada 8 Agustus 2008, di lapangan Cawang Kompor, Jln. Dewi Sartika, diadakan tabligh akbar pembukaan majelis dzikir dengan nama yang sama. Habib Ahmad menggelar dzikir dan ziarah setiap malam Sabtu.
Selain itu Habib Ahmad juga mengkader para remaja agar bisa menjadi khatib Jum’at, pemimpin tahlil, shalawat, dan muballigh.
Habib Ahmad bin Ali Abdurrahman Assegaf
Ketika pesan disampaikan dengan ikhlas dari hati ke hati, insya Allah, bahkan hati musuh pun akan tersentuh.
Ia lahir pada 18 Oktober 1971 dari keturunan tokoh yang menyandang nama besar sebagai Paku Bumi, tokoh dakwah yang disegani dan pecinta ilmu, yaitu kakeknya, Sayyidil Walid Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf, dan ayahnya, Ali bin Abdurrahman Assegaf.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal dan pesantren di tempat kakeknya, Habib Ahmad langsung dikirim walidnya belajar ke Madinah tahun 1993, berguru kepada Habib Zein bin Ibrahim bin Smith dan Habib Salim bin Abdullah Asy-Syatiri.
Setelah empat tahun menuntut ilmu di Madinah, Habib Ahmad kembali ke tanah air. Dan mulailah ia meretas jalan dakwah.
Atas permintaan remaja dan masyarakat di Gang AMD XX, Condet, Jakarta Timur, Habib Ahmad mendirikan Majelis Ta’lim Annurul Kassyaf (Cahaya yang Tembus), yang menggelar pengajian setiap Selasa malam. Majelis ini mulai beraktivitas tahun 2003.
Pada 8 Agustus 2008, di lapangan Cawang Kompor, Jln. Dewi Sartika, diadakan tabligh akbar pembukaan majelis dzikir dengan nama yang sama. Habib Ahmad menggelar dzikir dan ziarah setiap malam Sabtu.
Selain itu Habib Ahmad juga mengkader para remaja agar bisa menjadi khatib Jum’at, pemimpin tahlil, shalawat, dan muballigh.
11:26
Habib Sholeh lahir di Tegal, 14 Juni 1976. Ia anak keempat dari delapan bersaudara.
Pendidikan pertama Habib Sholeh di SD-SMP di kota Tegal.
Pada tahun 1991 dia berangkat nyantri di daerah Pantura, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, yang diasuh oleh seorang ulama sepuh, K.H. Maemun Zubaer. Kurang lebih hampir sembilan tahun dia mondok di pesantren, dan dari Sarang-lah dia perdalam ilmu nahwu dan sharaf, juga fiqih.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.
Habib Sholeh bin Ali Alatas

Dalam berdakwah, dia menggunakan metode dakwah para salafush shalih, orang-orang terdahulu, khususnya para Walisanga.
Habib Sholeh Alatas adalah putra pasangan Habib Ali bin Hasan Alatas
dan Syarifah Syifa binti Muhammad bin Syech Abubakar Bin Salim. Dia
terhitung cucu K.H. Said, pendiri Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren
Tegal. Neneknya adalah putri K.H. Said, yang dinikahi Habib Hasan bin
Ali Alatas, yang tidak lain kakeknya dari pihak ayah.Habib Sholeh lahir di Tegal, 14 Juni 1976. Ia anak keempat dari delapan bersaudara.
Pendidikan pertama Habib Sholeh di SD-SMP di kota Tegal.
Pada tahun 1991 dia berangkat nyantri di daerah Pantura, yaitu Pondok Pesantren Al-Anwar Sarang Rembang, yang diasuh oleh seorang ulama sepuh, K.H. Maemun Zubaer. Kurang lebih hampir sembilan tahun dia mondok di pesantren, dan dari Sarang-lah dia perdalam ilmu nahwu dan sharaf, juga fiqih.
Setelah lulus Aliyah di Sarang, Habib Sholeh meneruskan pendidikannya ke Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Faqihiyyah kota Malang, tahun 2000 sampai 2002.
11:23

"Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara." Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
Habib Alwi bin Abdullah Alaydrus

"Memakmurkan, menghidupkan, dan memelihara agama dengan semata mengharap ridha Allah adalah tujuan dari semua upaya itu, bukan tujuan-tujuan yang sifatnya duniawi dan sementara." Di sela-sela kepadatan jadwal kunjungan dakwahnya di Indonesia, tokoh muda yang menjadi salah satu sayap dakwah Habib Umar Bin Hafidz, yang menjadi figur kita kali ini, menyempatkan diri bertandang ke kantor alKisah. Dialah Habib Alwi bin Abdullah bin Husein Alaydrus.
Ditemani Habib Hamid Al-Qadri, Habib Alwi berbagi cerita. Meskipun tak banyak yang bisa dikisahkannya, karena sempit dan terbatasnya waktu, tatap muka singkat itu sudah dapat melukiskan secara utuh kedalaman ilmu dan wawasan pemikirannya meski di usianya yang masih sangat muda.
Habib Alwi lahir di Bandar Syihir pada tahun 1979 M/1399 H. Pertama kali belajar ilmu syari’at ia dapatkan dari masjid ke masjid. Ia belajar Al-Quran dari Sayyid Salim bin Sa`id Bada`ud. Selain belajar Al-Quran, ia juga sudah menghafal secara intens beberapa matan penting dalam khazanah keilmuan syari’ah, di antaranya matan kitab wwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwwww, karya Syaikh Ibnu Ruslan, dan Aqidah Al-`Awam, karya Syaikh Ahmad Marzuqi. Pada kala itu ia baru menginjak usia kurang dari tujuh tahun.
11:19
Berawal dari nasihat ibunda, Syarifah Nur binti Muhammad binti Syekh Bafaqih, yang berpesan kepada Habib Ridho untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Maka, sedari kecil ia mulai bersekolah di sebuah sekolah Belanda dan di sore harinya ia belajar di sekolah Arab. Belajar di dua tempat berbeda dalam satu hari tentu tidak mudah dan membutuhkan semangat belajar yang sangat tinggi, mengingat dirinya masih kecil saat itu.
Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa tahun. Masuknya Jepang menjajah Indonesia membuatnya terpaksa pindah sekolah. Ia meneruskan pendidikannya di sekolah agama.
Ketika menapaki tingkat sekolah lanjutan atas, ia memutuskan untuk masuk aliyah. Sejak duduk di bangku aliyah ia sudah mulai mandiri dengan mengajar di Ar-Rabithah, Solo.
Mengajar saat belajar bukan alasan untuk membuatnya tak cemerlang dalam pendidikannya. Ia berhasil lulus dari aliyah dengan nilai memuaskan dan meneruskan ke Universitas Gajah Mada di tahun 1953.
Namun, karena lebih berminat pada dunia pendidikan, ia hanya bertahun selama dua tahun di UGM. Ia memutuskan untuk pindah dan menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Solo untuk mengejar gelar sarjana muda dalam bidang pedagogi.
Habib Muhammad Ridho bin Yahya

Tubuhnya yang dulu tegap kini mulai lemah, namun semangatnya dalam berdakwah justru semakin menguat.
Berawal dari nasihat ibunda, Syarifah Nur binti Muhammad binti Syekh Bafaqih, yang berpesan kepada Habib Ridho untuk mengabdikan dirinya di dunia pendidikan. Maka, sedari kecil ia mulai bersekolah di sebuah sekolah Belanda dan di sore harinya ia belajar di sekolah Arab. Belajar di dua tempat berbeda dalam satu hari tentu tidak mudah dan membutuhkan semangat belajar yang sangat tinggi, mengingat dirinya masih kecil saat itu.
Sayangnya hal tersebut hanya berlangsung beberapa tahun. Masuknya Jepang menjajah Indonesia membuatnya terpaksa pindah sekolah. Ia meneruskan pendidikannya di sekolah agama.
Ketika menapaki tingkat sekolah lanjutan atas, ia memutuskan untuk masuk aliyah. Sejak duduk di bangku aliyah ia sudah mulai mandiri dengan mengajar di Ar-Rabithah, Solo.
Mengajar saat belajar bukan alasan untuk membuatnya tak cemerlang dalam pendidikannya. Ia berhasil lulus dari aliyah dengan nilai memuaskan dan meneruskan ke Universitas Gajah Mada di tahun 1953.
Namun, karena lebih berminat pada dunia pendidikan, ia hanya bertahun selama dua tahun di UGM. Ia memutuskan untuk pindah dan menuntut ilmu di sebuah perguruan tinggi di Solo untuk mengejar gelar sarjana muda dalam bidang pedagogi.
19:49
Nama Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya mungkin belum banyak dikenal di negeri kita. Atas undangan Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, beberapa saat yang lalu tokoh ulama muda Hadhramaut ini berkunjung ke Indonesia. Ia datang ke Nusantara bersama Habib Zed bin Abdurrahman Bin Yahya.
Nasab lebih lengkap Habib Hasyim adalah Hasyim bin Sahl bin Ibrahim bin Umar bin Aqil bin Abdullah bin Umar Bin Yahya. Jadi, ia masih terhitung kemenakan misan Habib Abubakar bin Umar (bin Abdullah bin Umar) Bin Yahya, Surabaya, ayah dari kakek Habib Zed Bin Yahya. Kedua tamu undangan Habib Luthfi itu masih memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.
Pembawaan
sayyid muda asal kota Ta’iz, Yaman Timur, ini sangat tenang. Kalau
berbincang, suaranya cenderung pelan. Namun kalimat-kalimat yang keluar
dari lisannya mengalir fasih dan tertata rapi. Tapi tak banyak yang
menyangka bahwa dari dai muda yang tawadhu’ ini telah terlahir banyak
karya berupa syarah atas kitab-kitab yang klasik. Dari kitab yang
ringan, sampai kitab-kitab yang tergolong sulit.
Sejak kecil ia telah mendapat bimbingan dari gurunya yang amat ia kagumi. Tak lain, ia adalah kakeknya sendiri, Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya, atau terkadang sering disebut “Habib Ibrahim bin Aqil” saja. Sang kakek adalah mufti di kota Ta’iz, sebuah distrik di timur negeri Yaman. Sementara dalam pelajaran Al-Qur’an, ia banyak mendapat pelajaran dari Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qaradhah.
Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya
Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Kamis, 15 November 2012 | 19:49
Karunia Allah begitu besar. Mungkin Allah membuka pemahaman kepada seseorang apa yang tidak dibuka kepada orang lain.
Nama Habib Hasyim bin Sahl Bin Yahya mungkin belum banyak dikenal di negeri kita. Atas undangan Habib Luthfi Bin Yahya Pekalongan, beberapa saat yang lalu tokoh ulama muda Hadhramaut ini berkunjung ke Indonesia. Ia datang ke Nusantara bersama Habib Zed bin Abdurrahman Bin Yahya.
Nasab lebih lengkap Habib Hasyim adalah Hasyim bin Sahl bin Ibrahim bin Umar bin Aqil bin Abdullah bin Umar Bin Yahya. Jadi, ia masih terhitung kemenakan misan Habib Abubakar bin Umar (bin Abdullah bin Umar) Bin Yahya, Surabaya, ayah dari kakek Habib Zed Bin Yahya. Kedua tamu undangan Habib Luthfi itu masih memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat.

Sejak kecil ia telah mendapat bimbingan dari gurunya yang amat ia kagumi. Tak lain, ia adalah kakeknya sendiri, Habib Ibrahim bin Umar bin Aqil Bin Yahya, atau terkadang sering disebut “Habib Ibrahim bin Aqil” saja. Sang kakek adalah mufti di kota Ta’iz, sebuah distrik di timur negeri Yaman. Sementara dalam pelajaran Al-Qur’an, ia banyak mendapat pelajaran dari Syaikh Muhammad bin Ali Al-Qaradhah.
19:48
Pemandangan yang begitu mempesona terhampar ketika kita memasuki kawasan pesantren Darul Habib, yang terletak di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. Penataan bangunan dan tanaman serta tanah-tanah yang berbukit-bukit tampak begitu asri dan segar. Kesan pertama yang muncul, pesantren itu tak ubahnya taman yang indah dan menyenangkan.
“Padahal dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,” tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun pesantren pada tahun 1998.
Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff

Generasi muda harus dibekali ilmu dengan benar, karena begitu banyak tantangan dan godaan zaman sekarang.
Pemandangan yang begitu mempesona terhampar ketika kita memasuki kawasan pesantren Darul Habib, yang terletak di Ciambar, Parung Kuda, Sukabumi. Penataan bangunan dan tanaman serta tanah-tanah yang berbukit-bukit tampak begitu asri dan segar. Kesan pertama yang muncul, pesantren itu tak ubahnya taman yang indah dan menyenangkan.
“Padahal dulunya daerah ini adalah daerah terpencil yang jarang dijamah orang,” tutur Habib Naufal bin Abdullah bin Ahmad Al-Kaff, pemimpin Pesantren Darul Habib. Pria ramah dengan suara lembut ini memulai membangun pesantren pada tahun 1998.
19:47
Sejak kecil putra pasangan Habib Umar bin Sholeh Bin Jindan dan Syarifah Shafiyah binti Abdurrahman Al-Munawar ini selalu mendapat perhatian yang mendalam dari orangtuanya, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Selain mengikuti pendidikan formal sekolah dasar, ia, yang kelahiran Surabaya, 19 Januari 1977, dimasukkan sang ayah pada sebuah madrasah asuhan Ustadz Abdullah Bahmen di Ampel Menara, Surabaya.
Habib Sholeh bin Umar Bin Jindan

Untuk keberangkatannya ke Hadhramaut
itu ia hanya membawa lima baju, sama dengan kebiasaannya kalau ia
berangkat dari Surabaya ke Jakarta. Karena memang hanya sejumlah itulah
baju miliknya yang layak ia bawa.
Sejak kecil putra pasangan Habib Umar bin Sholeh Bin Jindan dan Syarifah Shafiyah binti Abdurrahman Al-Munawar ini selalu mendapat perhatian yang mendalam dari orangtuanya, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Selain mengikuti pendidikan formal sekolah dasar, ia, yang kelahiran Surabaya, 19 Januari 1977, dimasukkan sang ayah pada sebuah madrasah asuhan Ustadz Abdullah Bahmen di Ampel Menara, Surabaya.
Lepas dari sekolah dasar, karena kondisi
ekonomi orangtuanya, Habib Sholeh tak sempat mengenyam pendidikan
formal tingkat SLTP. “Ayah saya seorang pedagang. Penghasilan yang
didapat tergolong minim, hingga ia tak mampu membiayai sekolah saya.
Tapi saya melihat, beliau adalah seorang yang memiliki himmah yang luar
biasa besar dalam mencetak diri saya agar besar dalam lingkungan ilmu,”
kenangnya ihwal sosok sang ayah.
Maka, ayahnya pun menawarinya masuk
Pesantren Al-Khairat, yang saat itu tengah dirintis pendiriannya oleh
Habib Ahmad bin Hasan Vad’aq Bekasi. Kebetulan, secara pribadi ayahnya
memang memiliki kedekatan hubungan dengan Habib Ahmad.
19:40
“Jangan pernah berbangga-bangga dengan ibadah.... Tidak ada satu
tempat pun di langit keempat kecuali telah digunakan oleh Iblis untuk
ibadah, tapi karena satu kedurhakaannya, yakni kesombongannya, dia
dicampakkan oleh Allah ke dalam neraka Jahannam.”
Di Jalan Sawo Kecik Raya, Jakarta Selatan, di kediaman Habib Abu Bakar Sidiq, yang tidak jauh dari kediaman Habib Umar bin Al-Walid Abdurrahaman bin Ahmad Assegaf, wartawan alKisah menemui tokoh muda yang menjadi figur kita pada edisi kali ini.
Habib Muhammad bin Idrus Bin Syech Abu Bakar Bin Salim
![]() |
Di Jalan Sawo Kecik Raya, Jakarta Selatan, di kediaman Habib Abu Bakar Sidiq, yang tidak jauh dari kediaman Habib Umar bin Al-Walid Abdurrahaman bin Ahmad Assegaf, wartawan alKisah menemui tokoh muda yang menjadi figur kita pada edisi kali ini.
Ketika keluar dari kamarnya, terlihat
pembawaannya tenang, tutur katanya teratur, tidak menggebu-gebu, di saat
mengutarakan apa yang hendak ia sampaikan, dan raut wajahnya kalem,
menunjukkan kealiman pribadinya. Demikianlah kesan pertama yang kami
rasakan.
Belum lagi kesan itu hilang, tiba-tiba
kami kembali dibuat kagum. Habib Abu Bakar Sidiq, sang kakak, seorang
dokter, yang begitu akomodatif menyambut kedatangan alKisah, dari ruang belakang membawakan setumpuk naskah kitab yang hendak naik cetak, buah karya sang adik.
19:36
“Hidup pasti penuh risiko, ujian, dan rintangan. Tapi ingat, semua ujian itu tidak lain adalah kehendak Allah untuk menjadikan kita lebih baik dan bernilai....”
Habib Hasan bin Ja`far Assegaf
“Hidup pasti penuh risiko, ujian, dan rintangan. Tapi ingat, semua ujian itu tidak lain adalah kehendak Allah untuk menjadikan kita lebih baik dan bernilai....”
Suatu hari di akhir tahun 1998, salah seorang muhibbin di Ciganjur,
Jakarta Selatan, mengadukan kepada seorang habib muda tentang salah
seorang tetangganya yang kala itu sakit kritis. Warga yang diadukan itu
ternyata adalah seorang ibu paruh baya yang sudah lama menderita
penyakit yang dirasa aneh karena tak juga kunjung sembuh meski sudah
beberapa kali dirujuk ke beberapa dokter. Karena tak kunjung sembuh,
hari demi hari keadaan sang ibu pun semakin mengenaskan. Perutnya kian
buncit dan membesar karena sakit yang dideritanya, namun apa daya
beberapa kali berobat tetap tidak ada perubahan.
Kedatangan kepada habib muda itu
dijadikan kesempatan oleh muhibbin itu untuk meminta doa darinya, dengan
harapan penderitaan sang ibu paruh baya tadi dapat berakhir. Karena,
dalam keyakinan mereka, doa seseorang yang dekat dengan Allah, terlebih
lagi keturunan Rasulullah, lebih cepat dikabulkan.
Namun, yang dimintai doa merasa dirinya
bukanlah orang yang tepat sebagainana diharapkan orang yang datang
kepadanya itu. Tapi, karena didesak dan merasa iba terhadap penderitaan
sang ibu paruh baya tadi, habib muda itu pun meminta kepada Allah untuk
kesembuhan sang ibu. Ia kemudian mengumpulkan beberapa anak muda yang
sudah mahir membaca Al-Qur’an untuk mengambil wudhu dan berdzikir.
Setelah bertawassul kepada Rasulullah SAW dan para awliya’, habib muda
itu pun memimpin jama’ah membaca Ratib Al-Aththas dengan niat khusus
untuk kesembuhan sang ibu.
19:33
Ibarat pohon yang terus tumbuh, batangnya menjulang tinggi, akarnya semakin dalam, buahnya pun bertunas, kemudian tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan kuat. Begitu pula majelis yang hampir seabad lalu dirintis Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, kini menyemai bibit bagi tumbuhnya majelis-majelis pada generasi selanjutnya. Salah satunya, Majelis Ta’lim dan Dzikir Nurul Fata.
Habib Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas

“Siapa lagi yang peduli pada anak-anak muda? Ingat, tegak dan runtuhnya suatu negara tergantung pada pemuda.”
Ibarat pohon yang terus tumbuh, batangnya menjulang tinggi, akarnya semakin dalam, buahnya pun bertunas, kemudian tumbuh menjadi pohon yang kokoh dan kuat. Begitu pula majelis yang hampir seabad lalu dirintis Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas, kini menyemai bibit bagi tumbuhnya majelis-majelis pada generasi selanjutnya. Salah satunya, Majelis Ta’lim dan Dzikir Nurul Fata.
Majelis Nurul Fata diasuh oleh Habib
Hasan bin Abdul Qadir Al-Attas, salah seorang cicit Habib Abdullah bin
Muhsin, Keramat Empang Bogor. Nasab lengkapnya, Habib Hasan bin Abdul
Qadir bin Muhsin bin Abdullah bin Muhsin Al-Attas.
Dulu, leluhurnya memilih “Nur” sebagai
nama majelis dan masjid yang ia bangun, kini sang cicit bertabarruk
menggunakan nama yang serupa, dengan tambahan kata “Al-Fata”, yang
berarti “pemuda”. Jadi, “Nurul Fata” bermakna “Cahaya Pemuda”.
19:31
Habib Abdullah bin Hasan Assegaf
Abahnya sering bercerita, ada satu
keluarga memiliki empat orang putra. Keempat putranya itu menjadi orang
besar karena putra pertamanya lebih dahulu menjadi orang besar...
Tiba di lingkungan pesantren yang asri,
perasaannya yang dari semula memang tidak tertarik dengan dunia
pesantren tidak juga berubah. Masa-masa di SD dan SMP masih teramat
indah tertanam di benaknya. Hobinya terhadap pelajaran Matematika dan
ilmu-ilmu pengetahuan alam sejak duduk di bangku SD telah melahirkan
tekad dalam hatinya untuk meneruskan pendidikan di sekolah-sekolah umum
hingga tingkat yang paling tinggi.
“Ente bener mau tinggal di pesantren?”
Pertanyaan ringan itu sontak membuyarkan angan-angannya. Namun wibawa
dan kharisma penanya yang berada di hadapannya itu membuatnya tidak
mampu berpikir jawaban apa yang harus diucapkannya.
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”
“Mau, Bib.”
“Bener betah? Di pesantren nggak enak. Di pesantren makannya tempe. Di sisni tidurnya nggak enak. Semuanya nggak enak.”
“Bener, Bib.”
19:29
Habib Husein bin Hud Bin Yahya
Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan,
yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.
yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.
Sejak awal abad keenam belas, kota
Cirebon memang dikenal sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam
di wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga,
bermukim di kota ini. Tidak mengherankan jika daerah yang berbatasan
langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini kaya akan khazanah keislaman.
Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan Cirebon, karya-karya
sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.
Sunan Gunung Jati hanyalah satu di antara begitu banyak tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah. Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering disebut “Kota Wali”.
Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka, misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.
Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok pesantren denga ribuan santri.
Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota Cirebon saat ini.
Sunan Gunung Jati hanyalah satu di antara begitu banyak tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah. Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering disebut “Kota Wali”.
Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka, misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.
Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok pesantren denga ribuan santri.
Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota Cirebon saat ini.
19:16
Belakangan, habib muda kelahiran Solo,
27 Juli 1975, ini mengubah haluan dakwahnya. Dari yang semula berada di
zona “aman”, mengisi ta’lim di berbagai masjid dan majelis secara rutin,
berkumpul dalam satu komunitas tertentu dengan habaib dan kiai, kini ia
harus berpindah-pindah dan keliling dari satu tempat ke tempat lain,
khusunya daerah yang sebagian besar penduduknya belum tersentuh
pemahaman agama secara baik. Praktis, keberadaannya jarang terlihat di
permukaan.
Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di Indonesia, wa bil khusus di Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim sementara orang sebagai aksi jihad.
Menurutnya, tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah umat.
Habib Noval bin Muhammad Alaydrus
Lama tidak terdengar, muballigh,
penerjemah, sekaligus penulis produktif, Habib Noval bin Muhammad
Alaydrus, Solo, muncul dengan gebrakan baru. Berdakwah di komunitas
bawah yang awam pemahaman agamanya.f
Ini dilakukannya bukan tanpa alasan. Dewasa ini berbagai penyimpangan dalam aliran Islam semakin marak di Indonesia, wa bil khusus di Solo. Tentu kita masih ingat kasus bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Kepunton, Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu silam, yang diklaim sementara orang sebagai aksi jihad.
Menurutnya, tragedi memilukan itu tak perlu terjadi, bukan hanya di Solo, namun juga di Indonesia, dan belahan bumi mana pun, bila tidak ada pembiaran terhadap berbagai aliran ekstrem. Inilah peran pemuka agama untuk membentengi aqidah umat.
19:14
Bila malam Sabtu rutin melewati arah
Petamburan, Jakarta Pusat, atau Gilisampeng Kebon Jeruk, Jakarta Barat,
jangan kaget bila Anda sering mendapati umbul-umbul putih bertuliskan Majelis Warotsatul Musthofa dengan warna hijau cukup besar.
Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi sosok sentral di dalamnya.
Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya. Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.
Habib Muhammad Al-Bagir bin Alwi Bin Yahya

Pada dirinya bermuara banyak
keberkahan. Dari berkah Habib Utsman Bin Yahya, Habib Alwi Al-Haddad
Keramat Empang, Habib Umar Bin Hud Cipayung, hingga Habib Umar Bin
Hafidz dan Habib Rizieq Syihab.
Majelis yang belum lama berdiri ini tampaknya sudah mendapat hati dari kaum muslimin. Ya, mereka ingin mengenal lebih banyak perihal majelis ini dengan menghadirinya dan mengenal siapakah sosok ulama dakwah yang menjadi sosok sentral di dalamnya.
Melalui penelusuran yang cukup lama, alKisah berkesempatan mewawancarai tokoh itu, di sela-sela padatnya aktivitas dakwahnya. Ternyata, ia seorang anak muda yang tampak kealiman dan akhlaqnya yang mulia pada dirinya. Benarlah kata Al-Imam Asy-Syafi’i dalam Diwan-nya, “Al-‘Alimu kabirun wa in kana shaghiran wal jahilu shaghirun wa in kana syaikhan.” Yang artinya, seorang alim itu terlihat besar kewibawaannya meskipun muda belia usianya, sebaliknya orang bodoh itu terlihat kerdil sekalipun tua usianya.
19:13
“Siapa yang berada di depan rel, saya tubruk. Kalau mau selamat, naik ke gerbong.”
Ungkapan ini menjadi prinsip bagi figur kita kali ini. Untuk urusan membela kepentingan umat, tidak ada kata gentar baginya. Beliau adalah Habib Muchdor bin Muhammad bin Muchdor Bin Syaikh Abu Bakar, Tapos, Depok, Jawa Barat.
Bagi para muhibbin di wilayah Jawa Barat, nama Habib Muchdor sudah tidak asing. Bila di Jakarta masyarakat sangat mengenal nama Habib Rizieq sebagai benteng masyarakat dari kemaksiatan, di Jawa Barat Habib Muchdor adalah singa jalanan yang memporak-porandakan tempat-tempat kemaksiatan bersama aparat pemerintah dan masyarakat. Beliau adalah figur yang tidak diragukan lagi keberaniaannya dalam memerangi berbagai bentuk kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat.
Habib Muchdor, yang lahir di Tapos pada tanggal 16 April 1956, sejak kecil sudah didik oleh orangtuanya untuk menjadi anak yang taat beragama dan berbakti kepada orangtua. Dan pendidikan sungguh mengkristal di dalam hatinya.
Habib Muchdor bin Muhammad Bin Syaikh Abu Bakar

“Yang saya harapkan adalah hebat
kata Allah, bukan kata manusia. Andaikan saya tidak berhasil di dunia,
yang penting berhasil di akhirat. Buat apa berhasil di dunia kalau
tidak berhasil di akhirat.”
Ungkapan ini menjadi prinsip bagi figur kita kali ini. Untuk urusan membela kepentingan umat, tidak ada kata gentar baginya. Beliau adalah Habib Muchdor bin Muhammad bin Muchdor Bin Syaikh Abu Bakar, Tapos, Depok, Jawa Barat.
Bagi para muhibbin di wilayah Jawa Barat, nama Habib Muchdor sudah tidak asing. Bila di Jakarta masyarakat sangat mengenal nama Habib Rizieq sebagai benteng masyarakat dari kemaksiatan, di Jawa Barat Habib Muchdor adalah singa jalanan yang memporak-porandakan tempat-tempat kemaksiatan bersama aparat pemerintah dan masyarakat. Beliau adalah figur yang tidak diragukan lagi keberaniaannya dalam memerangi berbagai bentuk kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat.
Habib Muchdor, yang lahir di Tapos pada tanggal 16 April 1956, sejak kecil sudah didik oleh orangtuanya untuk menjadi anak yang taat beragama dan berbakti kepada orangtua. Dan pendidikan sungguh mengkristal di dalam hatinya.
19:11
Habib Hamid bin Ja’far Al-Gadri
“Jadi, ada keseimbangan dakwah antara
wa’tashimu dan kalimatun sawa. Inilah salah satu buah manhajnya
Madrasah Hadhramaut, yang dulu pernah ditebar dengan penuh hikmah lewat
dakwah para wali di tanah Jawa, hingga berhasil mengislamkan hampir
seluruh penduduk Nusantara.”
Habib Hamid bin Ja’far lahir di
Bangkalan, Madura, pada 6 Desember 1981 M/11 Shafar 1402 H. Kakeknya,
yaitu Habib Umar, memang lahir di Pontianak, namun kemudian hijrah ke
Madura dan wafat di sana. Sang kakek adalah putra Pangeran Arya, yang
menjadi semacam qadhi di Kesultanan Pontianak. Nama asli Pangeran Arya
adalah Syarif Alwi bin Muhammad Al-Gadri (Tuan Mad Besar) bin Sulthan
Utsman Al-Gadri, sultan Pontianak yang ketiga.
Habib Hamid menjalani pendidikan awalnya
di Madrasah Al-Hamidiyah. Tahun 1992, saat ia memasuki kelas 3
ibtidaiyah, orangtuanya memasukkannya ke Pesantren Sidogiri.
Lulus tsanawiyah, tahun 1999, ia
mendapat tugas mengajar di Pesantren Al-Ihsan, Leces, Probolinggo.
Setelah itu ia mengajar di pesantren asuhan Habib Haidarah Al-Hinduan,
sambil meneruskan pelajarannya kepada sang pengasuh pesantren, hingga
2004.
Sewaktu di Sidogiri, ia sudah aktif
menulis dan berceramah, yaitu lewat Jam’iyyah Al-Muballighin, semacam
lembaga untuk pelatihan para muballigh di Pesantren Sidogiri. Itu
dijalaninya sejak kelas 6 ibtidaiyah. Sedang di tengah-tengah
masyarakat, yakni sewaktu liburan pondok, ia mulai terjun ceramah sejak
usia 16 tahun. Di Madura, saat usia 16 tahun itu, ia sempat membentuk
Forma, Forum Remaja Madura, yang masih eksis hingga sekarang.
Tahun 2004, atas jasa Habib Haidarah Al-Hinduan, gurunya saat di Situbondo, ia pun berangkat ke Hadhramaut.
19:09
Habib Alwi bin Anis Al Habsyi Solo
Selain itu, Habib Alwi juga
meneruskan tradisi Habib Anis mengikuti rangkaian acara Maulid di
Jakarta dan haul di Martapura, Banjarmasin, memenuhi undangan-undangan
yang ditujukan kepada Masjid Riyadh, di Indonesia maupun luar negeri,
seperti Hadhramaut, Malaysia, dan lainnya.
Zawiyah, Masjid Riyadh, Kamis 9 Maret
2012. Penampilan pengganti Habib Anis bin Alwi Al-Habsyi itu terlihat
mantap. Begitu pula, ketika memimpin pembacaan Simthud Durar setiap malam Jum’at, Habib Alwi sudah menuju track tradisi di Masjid Riyadh selama ini.
Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).
Hadirin yang datang pun semakin banyak. Tidak saja dari Solo atau daerah-daerah lain di Jawa Tengah, tetapi juga dari Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, bahkan ada juga yang datang dari Malaysia, Singapura, dan Timur Tengah. Khususnya pada acara besar, seperti Legian (Maulid yang jatuh Jum’at Legi), Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (shahib Simthud Durar), khatam Bukhari, khataman Al-Qur’an, dan ‘uwad (halal bihalal).
16:26
Ada
sebuah kaidah yang mengatakan almuhafazhatu bil qadimishshalih wal
akhdzu bil jadidil ashlah, kita melestarikan hal-hal baik dan mengambil
hal-hal baru yang lebih baik. Kaidah ini juga kita terapkan dalam
perjuangan dakwah kita.
Habib Muhsin bin Ahmad Al-Attas, figur
kita kali ini, lahir di Desa Gerabak, Magelang, 1963. Sebagaimana
anak-anak sebayanya, ia memulai pendidikan formalnya dari SD dan SLTP di
sekitar tempat tinggalnya. Selepas SLTP, ia masuk KMI (Kulliyatul
Mu’allimin Islamiyyah) Pesantren Gontor, Ponorogo,, Jawa Timur. Beberapa
tahun kemudian, ia pun berkesempatan menimba ilmu ke Timur Tengah.
Seabrek aktivitas dakwah kini ia jalani secara intens. Di FPI, yang terbilang sebagai basis organisasinya sejak awal, di MUI kota Depok, di FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), bahkan kini ia menjadi panglima sebuah organisasi yang bergerak dalam usaha-usaha menentang tindak pidana korupsi.
Habib Muhsin bin Ahmad Al-Attas

Seabrek aktivitas dakwah kini ia jalani secara intens. Di FPI, yang terbilang sebagai basis organisasinya sejak awal, di MUI kota Depok, di FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), bahkan kini ia menjadi panglima sebuah organisasi yang bergerak dalam usaha-usaha menentang tindak pidana korupsi.
16:25
Niatkan
di dalam hati bahwa semua ini dilakukan demi dakwah mengajak umat
manusia pada kebenaran, demi syiar Islam di atas muka bumi, menjaga
langkah kaki untuk selalu berjalan di atas jalan salaf, dan senantiasa
berbaur dengan insan-insan dakwah dari mana pun mereka berasal.
Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.
Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.
Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.
Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi

Kampung Keramat Panjang. Nama sebuah daerah di wilayah Tangerang itu cukup familiar bagi sementara orang, tapi mungkin tidak bagi yang lainnya.
Nama kampung itu disebut demikian karena keberadaan makam keramat di sana yang bangunan makamnya cukup panjang, sampai beberapa meter, jauh lebih panjang dari makam-makam lain pada umumnya, yang hanya berkisar dua meter. Namun karena letaknya yang cukup jauh dari pusat kota, banyak orang yang belum berkesempatan menginjak daerah itu. Maklum saja, perkampungan tersebut terletak di pinggir laut sisi utara kota Jakarta. Dan di wilayah itulah dai muda figur kita kali ini dilahirkan.
Habib Ahmad bin Alwi bin Ali bin Hud bin Abdullah Al-Habsyi adalah putra kedelapan dari sebelas bersaudara. Ia besar dalam didikan orangtua yang tegas dalam mendidik anaknya.
16:23
Namun
semua usaha itu kurang memuaskan bathinnya. Maka akhirnya ia tinggal di
Palu, membuka majelis pengajian bersama keluarganya.
Mencari harta benda dalam kehidupan di dunia memang penting, tetapi lebih penting mencari bekal untuk di akhirat. Itulah yang diyakini Habib Agil bin Abu Bakar Al-Qadri dari Balikpapan. Kehidupan sehari-harinya kini lebih banyak untuk berdakwah.
Habib Agil lahir di Palu Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 6 Maret 1970. Ia dididik agama Islam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Untuk SD dan SMP, ia belajar di sekolah umum di Palu Baru. Kemudian pada tahun 1981 ia berangkat ke Arab Saudi, ikut abahnya, Habib Abu Bakar Al-Qadri, konsulat Indonesia di Arab Saudi yang mengurusi bagian haji. Ia belajar di sekolah internasional di Jeddah yang berada di kedutaan. Di sekolah ini pengantarnya adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Kemudian Habib Agil melanjutkan pendidikiannya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada 1984, mengambil jurusan Ushuluddin. Di samping itu ia juga
belajar di Sekolah Bahasa Asing di kota yang sama. Habib Agil mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Alasannyaa, karena kajian Islam di Indonesia banyak mengambil sumbernya dari literatur berbahasa Arab, Belanda, dan Inggris.
Habib Agil bin Abubakar Al-Qadri

Mencari harta benda dalam kehidupan di dunia memang penting, tetapi lebih penting mencari bekal untuk di akhirat. Itulah yang diyakini Habib Agil bin Abu Bakar Al-Qadri dari Balikpapan. Kehidupan sehari-harinya kini lebih banyak untuk berdakwah.
Habib Agil lahir di Palu Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 6 Maret 1970. Ia dididik agama Islam sejak kecil oleh kedua orangtuanya. Untuk SD dan SMP, ia belajar di sekolah umum di Palu Baru. Kemudian pada tahun 1981 ia berangkat ke Arab Saudi, ikut abahnya, Habib Abu Bakar Al-Qadri, konsulat Indonesia di Arab Saudi yang mengurusi bagian haji. Ia belajar di sekolah internasional di Jeddah yang berada di kedutaan. Di sekolah ini pengantarnya adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris.
Kemudian Habib Agil melanjutkan pendidikiannya ke Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, pada 1984, mengambil jurusan Ushuluddin. Di samping itu ia juga
belajar di Sekolah Bahasa Asing di kota yang sama. Habib Agil mempelajari bahasa Inggris dan bahasa Arab. Alasannyaa, karena kajian Islam di Indonesia banyak mengambil sumbernya dari literatur berbahasa Arab, Belanda, dan Inggris.
16:21
Habib Muhammad Mahdi Assegaf
Dalam kebingungan, lahirlah satu ide yang kemudian mengubah jalan hidupnya.
Ada yang sangat berbeda dari pemandangan
Peringatan Maulid Agung Nabi Muhammad SAW kali itu, hari Jum’at (27/4).
Pada kegiatan akbar yang dipusatkan di Jalan Artzimar III (Bojong
Enyod) Tegal Gundil, Bogor Utara, kali itu, tak terlihat anak-anak muda
yang berebut areal parkir di sekitar acara.
Semua lokasi parkir dikondisikan dengan tertib oleh panitia, yang dibantu para pemuda dari Barisan Bogor Raya Padjajaran. Tak ada asap rokok yang mengepul sepanjang acara berlangsung. Bahkan, tak terlihat juga pemuda-pemudi yang berdua-duaan di area peringatan Maulid. Lokasi untuk kaum wanita disediakan khusus, tidak bercampur baur dengan hadirin pria.
Kondisi semacam inilah yang memang dikehendaki oleh sosok dai muda yang kala itu terlihat berwibawa di depan panggung, yang terbuka dari semua sisinya. Dialah Habib Muhammad Mahdi Assegaf.
Nama lengkapnya Muhammad Mahdi bin Hamzah bin Alwi Assegaf. Ayahnya, Habib Hamzah, adalah salah satu tokoh masyarakat di kota Bogor, sedangkan ibunya adalah Syarifah Khadijah binti Ahmad Al-Attas. Ia lahir pada tanggal 14 Juli 1990 di Bogor dan menikah dengan Syarifah Khairiyah binti Husein Al-Attas, yang juga sama-sama berasal dari kota Bogor, pada awal tahun 2012 yang lalu.
Sejak usia lima tahun, Habib Mahdi, demikian biasa ia dipanggil, sudah didik sangat ketat dan keras dalam bimbingan keislaman oleh orangtua. Habib Hamzah, orangtuanya, termasuk sosok yang keras dalam sikap keagamaan di tengah masyarakatnya, khususnya terhadap kalangan habaib di lingkungannya. Bila ada di antara mereka yang perilakunya dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dicontohkan oleh para salaf mereka terdahulu, tak segan-segan Habib Hamzah menegurnya. Demikianlah sosok Habib Hamzah, sang ayah, yang menjadi guru utamanya.
Semua lokasi parkir dikondisikan dengan tertib oleh panitia, yang dibantu para pemuda dari Barisan Bogor Raya Padjajaran. Tak ada asap rokok yang mengepul sepanjang acara berlangsung. Bahkan, tak terlihat juga pemuda-pemudi yang berdua-duaan di area peringatan Maulid. Lokasi untuk kaum wanita disediakan khusus, tidak bercampur baur dengan hadirin pria.
Kondisi semacam inilah yang memang dikehendaki oleh sosok dai muda yang kala itu terlihat berwibawa di depan panggung, yang terbuka dari semua sisinya. Dialah Habib Muhammad Mahdi Assegaf.
Nama lengkapnya Muhammad Mahdi bin Hamzah bin Alwi Assegaf. Ayahnya, Habib Hamzah, adalah salah satu tokoh masyarakat di kota Bogor, sedangkan ibunya adalah Syarifah Khadijah binti Ahmad Al-Attas. Ia lahir pada tanggal 14 Juli 1990 di Bogor dan menikah dengan Syarifah Khairiyah binti Husein Al-Attas, yang juga sama-sama berasal dari kota Bogor, pada awal tahun 2012 yang lalu.
Sejak usia lima tahun, Habib Mahdi, demikian biasa ia dipanggil, sudah didik sangat ketat dan keras dalam bimbingan keislaman oleh orangtua. Habib Hamzah, orangtuanya, termasuk sosok yang keras dalam sikap keagamaan di tengah masyarakatnya, khususnya terhadap kalangan habaib di lingkungannya. Bila ada di antara mereka yang perilakunya dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang dicontohkan oleh para salaf mereka terdahulu, tak segan-segan Habib Hamzah menegurnya. Demikianlah sosok Habib Hamzah, sang ayah, yang menjadi guru utamanya.
16:20
Habib Taufiq bin Abdul Qadir Assegaf
Ini adalah tugas bagi mereka
yang masih sadar. Para pendidiknya, para kepala keluarganya, dan semua
pihak lainnya. Sayangnya, mereka masih asyik berjalan sendiri-sendiri.
Sejak lama Pasuruan dikenal banyak orang
sebagai kota gudangnya ulama dan habaib. Salah satu tokoh dakwah kota
ini adalah Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Husein Assegaf. Tak ada yang
meragukan ketokohannya. Bukan hanya di kota Pasuruan, pengaruh
dakwahnya juga mencakup kota-kota lain di Jawa Timur. Namanya juga amat
familiar bahkan hingga ke berbagai pelosok negeri ini.
Pria kharismatis kelahiran Pasuruan, 1969, ini tak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan ta’lim ke ta’lim. Sekalipun demikian, ia sosok dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.
Di bulan Ramadhan, malam-malam kota Pasuruan tampak semarak dengan nuansa dakwah lewat acara Khatmul Qur’an yang dipandu oleh sang habib. Acara Khatmul Qur’an adalah tradisi warga Pasuruan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Acara ini digelar setiap malam di bulan Ramadan, yaitu mulai malam ke-9 Ramadan sampai malam ke-29 Ramadhan.
Dulunya, acara Khatmul Qur’an ini digagas oleh ulama kota Pasuruan, Habib Abdul Qadir Assegaf, yang tak lain ayahanda Habib Taufiq, menantu Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, ulama besar Pasuruan yang juga dikenal sebagai salah satu guru Kiai Hamid Pasuruan. Habib Taufiq terus menghidupkan tradisi salafush shalih ini, yaitu ihya’ al-layali Ramadhan, menghidupan malam-malam bulan Ramadan, yang tentunya dengan amalan-amalan baik. Alhamdulillah, kota Pasuruan pada setiap malam Ramadhan pun tampak begitu hidup dan semarak dengan acara-acara keagamaan, dan ribuan orang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut.
Pria kharismatis kelahiran Pasuruan, 1969, ini tak pernah menempuh pendidikan formal, namun dari pendidikan ta’lim ke ta’lim. Sekalipun demikian, ia sosok dai yang kreatif dalam berdakwah dan dikenal berwawasan luas.
Di bulan Ramadhan, malam-malam kota Pasuruan tampak semarak dengan nuansa dakwah lewat acara Khatmul Qur’an yang dipandu oleh sang habib. Acara Khatmul Qur’an adalah tradisi warga Pasuruan yang sudah berjalan bertahun-tahun. Acara ini digelar setiap malam di bulan Ramadan, yaitu mulai malam ke-9 Ramadan sampai malam ke-29 Ramadhan.
Dulunya, acara Khatmul Qur’an ini digagas oleh ulama kota Pasuruan, Habib Abdul Qadir Assegaf, yang tak lain ayahanda Habib Taufiq, menantu Habib Ja’far bin Syaikhan Assegaf, ulama besar Pasuruan yang juga dikenal sebagai salah satu guru Kiai Hamid Pasuruan. Habib Taufiq terus menghidupkan tradisi salafush shalih ini, yaitu ihya’ al-layali Ramadhan, menghidupan malam-malam bulan Ramadan, yang tentunya dengan amalan-amalan baik. Alhamdulillah, kota Pasuruan pada setiap malam Ramadhan pun tampak begitu hidup dan semarak dengan acara-acara keagamaan, dan ribuan orang berbondong-bondong menghadiri acara tersebut.
16:18
Habib Hamid Naufal bin Alwy Al-Kaf
”Lazimkanlah olehmu
Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para
pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”
Putra pasangan Habib Alwi bin Ahmad
Al-Kaf dan Syarifah Atikah binti Hamid bin Ahmad Al-Kaf ini punya
gebrakan dakwah yang patut mendapat apresiasi: menggelar majelis Maulid
Nabi SAW di Masjid Raya Bandung. Betapa tidak, langkahnya ini mungkin
terasa berat, mengingat komunitas masyarakat di kota itu yang tidak
seberapa familiar dengan amaliah semacam mengadakan Maulid, membaca
ratib, dan semacamnya.
Tahun ini, sudah yang keempat kalinya ia berhasil menggemakan Simthud Durar di masjid kebanggaan masyarakat kota Bandung itu. Alhamdulillah, gebrakannya itu lambat laun mendapat sambutan dari berbagai pihak. Tidak hanya warga, bahkan juga sampai pihak pemerintahan kota. Aparat kepolisian setiap tahunnya juga berperan aktif dengan turut mengisi dan memeriahkan acara yang digelarnya.
Habib Naufal lahir di kota Palembang, 21 Januari 1979. Pendidikan awalnya diterimanya dari dalam keluarganya sendiri. Ayahnya mendidiknya dengan didikan dasar-dasar agama yang menjadi bekal baginya untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya.
Memasuki usia sekolah ia masuk Madrasah Al-Haramain, yang kala itu diasuh Habib Novel bin Hamid Al-Kaf, yang masih terhitung pamannya sendiri, sepulangnya dari menuntut ilmu kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di kota Makkah. Sekarang, Habib Novel sendiri telah berdomisili di Sukabumi, menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya, Darul Habib, di Parung Kuda, Sukabumi.
Usai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Diniyah Al-Haramain, Palembang, sambil ikut bantu-bantu mengajar di sana, Habib Naufal menimba ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Habsyi, yang kini menjadi pengasuh lembaga dakwah Al-Mawarid. Ia juga mengaji kepada kakak Habib Muhammad, yaitu Habib Ali bin Ahmad, yang di kemudian hari menjadi mertuanya.
Tahun 1997 ia memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Awalnya, ia tinggal di kota Tangerang, tempat ayahnya. Di sana ia mulai merintis dakwahnya dan di sana pula majelisnya pertama kali berdiri. Sekitar enam tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Cikupa, Bandung. Di sinilah awal mula langkah dakwahnya hingga saat ini.
Tahun ini, sudah yang keempat kalinya ia berhasil menggemakan Simthud Durar di masjid kebanggaan masyarakat kota Bandung itu. Alhamdulillah, gebrakannya itu lambat laun mendapat sambutan dari berbagai pihak. Tidak hanya warga, bahkan juga sampai pihak pemerintahan kota. Aparat kepolisian setiap tahunnya juga berperan aktif dengan turut mengisi dan memeriahkan acara yang digelarnya.
Habib Naufal lahir di kota Palembang, 21 Januari 1979. Pendidikan awalnya diterimanya dari dalam keluarganya sendiri. Ayahnya mendidiknya dengan didikan dasar-dasar agama yang menjadi bekal baginya untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya.
Memasuki usia sekolah ia masuk Madrasah Al-Haramain, yang kala itu diasuh Habib Novel bin Hamid Al-Kaf, yang masih terhitung pamannya sendiri, sepulangnya dari menuntut ilmu kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di kota Makkah. Sekarang, Habib Novel sendiri telah berdomisili di Sukabumi, menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya, Darul Habib, di Parung Kuda, Sukabumi.
Usai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Diniyah Al-Haramain, Palembang, sambil ikut bantu-bantu mengajar di sana, Habib Naufal menimba ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Habsyi, yang kini menjadi pengasuh lembaga dakwah Al-Mawarid. Ia juga mengaji kepada kakak Habib Muhammad, yaitu Habib Ali bin Ahmad, yang di kemudian hari menjadi mertuanya.
Tahun 1997 ia memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Awalnya, ia tinggal di kota Tangerang, tempat ayahnya. Di sana ia mulai merintis dakwahnya dan di sana pula majelisnya pertama kali berdiri. Sekitar enam tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Cikupa, Bandung. Di sinilah awal mula langkah dakwahnya hingga saat ini.
16:15
Habib Abubakar bin Hasan Assegaf
Keputusan yang diambilnya
mengingatkan orang pada sosok Buya Hamka, yang pada tahun 1981
menyatakan mundur dari jabatan ketua MUI Pusat. Bedanya, selain kasus
yang melatarbelakanginya, juga lingkupnya, sebagai ketua Komisi Fatwa
MUI Kabupaten Pasuruan. ”Mundurnya saya dari MUI bukan karena
keputus-asaan, sebab dalam dakwah kita tidak boleh putus asa,” ujarnya
tegas.
Ia kecewa. Perjuangannya untuk
meloloskan raperda anti miras gagal. Tak lama kemudian, ia menyatakan
mundur dari jabatan ketua Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pasuruan, sebagai
rasa tanggung jawab morilnya, seraya mengaku akan terus
memperjuangkannya lewat jalan lain. Na¬mun ia tetap mengharap,
rekan-rekan¬nya, sesama pengurus MUI yang masih duduk di sana, terus
memperjuangkan hing¬ga raperda anti miras itu disahkan menjadi perda di
kota Pasuruan.
Raperda anti miras adalah salah satu dari sejumlah rancangan peraturan dae¬rah yang diusulkan umat Islam di Pasuru¬an, di samping tentang prostitusi dan ke¬tertiban Ramadhan. Wajar saja, selama ini orang mengenal Pasuruan sebagai kota santri. Yang tidak wajar justru melihat pemandangan yang tak sedap: di kota santri minuman keras dijual secara bebas.
Umat Islam kota Pasuruan, khusus¬nya kalangan masyarakat santri, berha¬rap, budaya santri tidak hanya di dalam pe¬santren, akan tetapi juga menjadi ka¬rak¬ter masyarakat Pasuruan. Menuju Pa¬suruan yang beradab dan beretika, itulah aspirasi masyarakat santri Pa¬suruan.
Pilihan sejak Dulu
Meski masih terbilang muda, dunia dak¬wah telah menjadi dunianya sejak dulu. Dari sebelum era reformasi, wakil rais syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan dan anggota Dewan Eksekutif wilayah Jawa Timur Majelis Muwashalah Baina al-‘Ulama al-Muslimin ini telah aktif terjun berdakwah.
Raperda anti miras adalah salah satu dari sejumlah rancangan peraturan dae¬rah yang diusulkan umat Islam di Pasuru¬an, di samping tentang prostitusi dan ke¬tertiban Ramadhan. Wajar saja, selama ini orang mengenal Pasuruan sebagai kota santri. Yang tidak wajar justru melihat pemandangan yang tak sedap: di kota santri minuman keras dijual secara bebas.
Umat Islam kota Pasuruan, khusus¬nya kalangan masyarakat santri, berha¬rap, budaya santri tidak hanya di dalam pe¬santren, akan tetapi juga menjadi ka¬rak¬ter masyarakat Pasuruan. Menuju Pa¬suruan yang beradab dan beretika, itulah aspirasi masyarakat santri Pa¬suruan.
Pilihan sejak Dulu
Meski masih terbilang muda, dunia dak¬wah telah menjadi dunianya sejak dulu. Dari sebelum era reformasi, wakil rais syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan dan anggota Dewan Eksekutif wilayah Jawa Timur Majelis Muwashalah Baina al-‘Ulama al-Muslimin ini telah aktif terjun berdakwah.
13:45
Hasan Abdul Hadi Ba’abud
Kita bisa menang bila kita kuat. Kita bisa kuat bila kita bersatu. Kita bisa bersatu bila kita sering silaturahim.
Ana,
Hasan Abdul Hadi Ba’abud, kelahiran Jakarta. Ayah ana, Sayyid Ahmad
Ba’abud, berasal dari Bogor, namun berdarah Pekalongan. Ibu berasal
dari Jakarta, namun berdarah Palembang.
Sekilas mengenai sejarah keluarga ana. Kebiasaan para habib yang masih menggunakan kebiasaan Arab-nya, nama, pakaian, dan tradisi lainnya, jarang bahkan tidak digunakan di keluarga ana.
Keluarga ana, Ba’abud Kharbasyani, keturunan dari Sayyid Muhsin bin Umar Ba’abud Pekalongan, terkenal dengan sifatnya yang membaur dan merakyat.
Karena datuk-datuk kami sampai ke Habib Muhsin (sembilan generasi di atas ana) berdakwah di lingkungan kerajaan, jadi penasihat pemerintah, banyak keturunan beliau yang menggunakan nama Jawa, berpakaian Jawa, dan juga memakai tradisi atau adat Jawa.
Yang cukup termasyhur dari keturunan beliau, antara lain, Habib Abubakar Puspodipuro bin Hasan Al-Munadi bin Alwi bin Abdulah bin Muhsin Ba’abud, yang berdakwah di Keraton Yogya, dan Habib Muhsin Soeroatmodjo bin Husein bin Ahmad bin Muhsin Ba’abud (Habib Muhsin Soeroatmodjo, ini datuk ana), yang berdakwah di Kerajaan Amangkurat (Solo).

Sekilas mengenai sejarah keluarga ana. Kebiasaan para habib yang masih menggunakan kebiasaan Arab-nya, nama, pakaian, dan tradisi lainnya, jarang bahkan tidak digunakan di keluarga ana.
Keluarga ana, Ba’abud Kharbasyani, keturunan dari Sayyid Muhsin bin Umar Ba’abud Pekalongan, terkenal dengan sifatnya yang membaur dan merakyat.
Karena datuk-datuk kami sampai ke Habib Muhsin (sembilan generasi di atas ana) berdakwah di lingkungan kerajaan, jadi penasihat pemerintah, banyak keturunan beliau yang menggunakan nama Jawa, berpakaian Jawa, dan juga memakai tradisi atau adat Jawa.
Yang cukup termasyhur dari keturunan beliau, antara lain, Habib Abubakar Puspodipuro bin Hasan Al-Munadi bin Alwi bin Abdulah bin Muhsin Ba’abud, yang berdakwah di Keraton Yogya, dan Habib Muhsin Soeroatmodjo bin Husein bin Ahmad bin Muhsin Ba’abud (Habib Muhsin Soeroatmodjo, ini datuk ana), yang berdakwah di Kerajaan Amangkurat (Solo).
13:43
Ketika
seseorang hendak menuntut ilmu, mereka mendapatkannya di kitab-kitab.
Ketika hendak mencari keberkahan, tidaklah mereka mendapatkannya kecuali
dalam diri orang-orang shalih. Ahli ilmu banyak, tapi ahli keberkahan
itu sedikit.
Habib Abubakar bin Abdul Qadir Mauladdawilah

Kerala adalah sebuah negara bagian di India
bagian barat daya. Meski minoritas dari segi jumlah, sejarah
membuktikan, umat Islam telah memberi kontribusi yang begitu be¬sar
dalam kehidupan masyarakat wilayah yang berada di Asia Selatan itu.
Riwayat Islam di Negeri Hindustan ter¬bilang amat panjang. Ada banyak versi tentang masuknya Islam ke India. Meski begitu, datangnya ajaran Islam ke anak benua India itu bisa diklasifikasikan dalam tiga gelombang. Yakni dibawa orang Arab pada 8 M, orang Turki pada 12 M, dan abad ke-16 M oleh orang Afghanistan.
Menurut satu versi sejarah, Islam awal¬nya tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat Rasulullah SAW yang kali pertama me¬nyebarkan ajaran Islam di negeri itu. Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur, Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka cita.
Riwayat Islam di Negeri Hindustan ter¬bilang amat panjang. Ada banyak versi tentang masuknya Islam ke India. Meski begitu, datangnya ajaran Islam ke anak benua India itu bisa diklasifikasikan dalam tiga gelombang. Yakni dibawa orang Arab pada 8 M, orang Turki pada 12 M, dan abad ke-16 M oleh orang Afghanistan.
Menurut satu versi sejarah, Islam awal¬nya tiba di India pada abad ke-7 M. Adalah Malik Ibnu Dinar dan 20 sahabat Rasulullah SAW yang kali pertama me¬nyebarkan ajaran Islam di negeri itu. Saat itu, Malik dan sahabatnya menginjakkan kaki di Kodungallur, Kerala. Kedatangan Islam pun disambut penduduk wilayah itu dengan suka cita.
13:38

Dakwah akan kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan menuai sukses jika bertanzhim.
Pembawaannya tenang, polos, murah senyum, apa adanya, senang bicara ilmu dan dakwah. Itulah yang tampak padanya saat kita bersua pertama kalinya. Saat alKisah tiba di kediamannya, habib muda ini tengah mengajar beberapa orang muridnya membaca kitab pelajaran bahasa Arab dan fiqih. Dialah Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Ia dikenal sebagai muballigh, guru, dan pendidik. Di kediamannya yang berukuran sedang dan sederhana itu juga terdapat beberapa anak santri yang mukim. Mereka belajar di bawah asuhan Habib Husein langsung, yang memang sangat perhatian dengan dunia pendidikan anak-anak dan remaja.
Habib Husein lahir di Jakarta, 21 September 1972, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Ada kisah menarik berkaitan dengan kelahirannya di kampung keluarga Al-Haddad, yang terletak di belakang kantor Bakin saat ini.
Suatu ketika sang kakek, yang terkenal sebagai guru besar ulama-ulama Indonesia, ‘Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf, hijrah dari Solo ke Jakarta. Ia diminta Habib Salim bin Thaha Al-Haddad Pasar Minggu untuk membantu kegiatan majelisnya dalam beberapa tahun. Habib Ahmad, yang memang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu sangat senang mendapatkan kehormatan besar itu. Selain mengajar, Habib Ahmad juga menjadi direktur madrasah Jamiat Kheir.
Setelah sekian tahun berada di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Hadhramaut.
Habib Ahmad wafat dalam perjalanan pulangnya tersebut. Agar tak mati obor, kata orang Betawi, putra Habib Ahmad yakni Habib Muhammad mencoba merajut silaturahim yang telah dibangun ayahandanya dengan Habib Salim bin Thaha Al-Haddad. Ia rajin mendatangi majelis Habib Salim dan membantu kegiatan ta’lim di kampung Al-Haddad ini. Di situlah Allah menakdirkannya berumah tangga. Habib Muhammad menikah dengan seorang wanita dari keluarga Al-Haddad, Syarifah Ni’mah binti Hasyim Al-Haddad. Dari pernikahan itu, Habib Muhammad mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya putra terkecilnya, tokoh figur kita kali ini, Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Habib Husein bin Muhammad Assegaf

Dakwah akan kering jika tanpa diairi dengan ta’lim. Dan dakwah akan menuai sukses jika bertanzhim.
Pembawaannya tenang, polos, murah senyum, apa adanya, senang bicara ilmu dan dakwah. Itulah yang tampak padanya saat kita bersua pertama kalinya. Saat alKisah tiba di kediamannya, habib muda ini tengah mengajar beberapa orang muridnya membaca kitab pelajaran bahasa Arab dan fiqih. Dialah Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
Ia dikenal sebagai muballigh, guru, dan pendidik. Di kediamannya yang berukuran sedang dan sederhana itu juga terdapat beberapa anak santri yang mukim. Mereka belajar di bawah asuhan Habib Husein langsung, yang memang sangat perhatian dengan dunia pendidikan anak-anak dan remaja.
Habib Husein lahir di Jakarta, 21 September 1972, tepatnya di daerah Pasar Minggu. Ada kisah menarik berkaitan dengan kelahirannya di kampung keluarga Al-Haddad, yang terletak di belakang kantor Bakin saat ini.
Suatu ketika sang kakek, yang terkenal sebagai guru besar ulama-ulama Indonesia, ‘Allamah Al-Habib Ahmad bin Abdullah Assegaf, hijrah dari Solo ke Jakarta. Ia diminta Habib Salim bin Thaha Al-Haddad Pasar Minggu untuk membantu kegiatan majelisnya dalam beberapa tahun. Habib Ahmad, yang memang berkecimpung di dunia pendidikan, tentu sangat senang mendapatkan kehormatan besar itu. Selain mengajar, Habib Ahmad juga menjadi direktur madrasah Jamiat Kheir.
Setelah sekian tahun berada di Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya, Hadhramaut.
Habib Ahmad wafat dalam perjalanan pulangnya tersebut. Agar tak mati obor, kata orang Betawi, putra Habib Ahmad yakni Habib Muhammad mencoba merajut silaturahim yang telah dibangun ayahandanya dengan Habib Salim bin Thaha Al-Haddad. Ia rajin mendatangi majelis Habib Salim dan membantu kegiatan ta’lim di kampung Al-Haddad ini. Di situlah Allah menakdirkannya berumah tangga. Habib Muhammad menikah dengan seorang wanita dari keluarga Al-Haddad, Syarifah Ni’mah binti Hasyim Al-Haddad. Dari pernikahan itu, Habib Muhammad mendapatkan beberapa orang anak, di antaranya putra terkecilnya, tokoh figur kita kali ini, Habib Husein bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullah Assegaf.
13:32
Habib Abdullah bin Husein Al-Attas
Habib Abdullah, putra ter-tua Habib Husein (lihat Manaqib), menerima kedatangan alKisah
dengan penuh kehangatan. Wajahnya teduh, cara bertuturnya amat
santun, logatnya terasa sekali Sunda-nya. Sesekali obrolan kami
diselingi tawa canda yang semakin mencairkan suasana. Meski baru pertama
kali berjumpa, rasanya seperti sudah mengenal lama.
Demikian sosok Habib Abdullah bin Husein bin Abdullah bin Muhsin
Al-Attas, yang saat ini dipercaya mengemban amanah sebagai munshib,
atau pemimpin, dalam kepengurusan di lingkungan makam kakeknya, Habib
Abdullah bin Muhsin Al-Attas, ”Habib Keramat Empang Bogor”.
Terkadang orang menyebutnya sebagai khalifah Keramat Empang Bogor.
Tentunya, makna khalifah di sini tidak dalam pengertian kekhilafahan
umat Islam. Khalifah di sini bermakna ”pengganti”, maksudnya, Habib
Abdullah-lah saat ini yang tengah mengemban amanah berat untuk
menggantikan posisi munshib sebelumnya, yaitu Habib Abdullah bin Zen
Al-Attas, yang wafat setahun silam.
Manshabah (kemunshiban) di sini adalah amanah otoritas dalam mengurus
hal-ihwal di lingkungan makam Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas
berikut segala peninggalannya.
11:02
Bismillahirrahmaanirrahiim.
untuk lebih jelasnya baca di sini
Download dan Install Maktabah Jundu Muhammad di Komputer Anda
Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Selasa, 06 November 2012 | 11:02
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Alhamdulillah, Maktabah Jundu Muhammad
sudah dapat diunduh dan diinstall di komputer atau laptop Anda. Agar
Maktabah ini dapat digunakan di komputer Anda, ikuti langkah-langkah
berikut ini:
3. Setelah kedua file diatas selesai
di-download, install terlebih dahulu software 7Zip. Software ini
berfungsi untuk meng-extract file Maktabah Jundu Muhammad.7z yang sudah Anda download.untuk lebih jelasnya baca di sini
14:59
Beliau; Habib
Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus ~ الحبيب
نوفل ابن محمّد العيدروس -
akrab dipanggil Habib Novel atau Habib Noval - adalah putra pertama
pasangan Muhammad al ‘Aydrus dengan Luluk al Habsyi. Ia merupakan alumnus SD
dan SMP di Yayasan Pendidikan Islam Diponegoro Solo. Lulusan SMAN 2 Solo itu
kemudian melanjutkan ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah yang terletak di Desa
Raci, Pasuruan, Jatim.
untuk lebih lengkapnya bisa buka di sini
Kajian Islam Habib Novel bin Muhammad Alaydrus
Written By ahmadmaslakhudin.blogspot.com on Jumat, 02 November 2012 | 14:59
Majelis Ar-Raudhah adalah Majelis pimpinan Habib
Naufal bin Muhammad Al-’Aydrus. Sebuah wadah yang sejuk bagi para pecinta
dzikir dan ilmu. Majelis Ar-Raudhah terbuka untuk siapa pun yang mencari
kedamaian dan pencerahan. Alamat kami :
Jl. Dewutan No. 112 Rt. 01 Rw. 16 Semanggi, Pasar
Kliwon, Solo 57117 Indonesia Telp: (0271) 633860.
Profil Ust. Naufal bin Muhammad al ‘Aydrus
“Saya sebenarnya ingin melanjutkan ke perguruan
tinggi. Saya tidak mendapatkan izin Ibu. Beliau tidak ingin saya pergi jauh
darinya. Akhirnya saya berangkat ke Pesantren Darul Lughah wad Dakwah.
Pesantren tersebut diasuh oleh almarhum Ustad Hasan Baharun,” terang suami
Fatimah Qonita itu.
Ayahanda Ahmad Anis, Nur’aliyah dan ‘Ali ‘Abdul
Qadir tersebut mengatakan ibunya hanya mengizinkan dirinya belajar di pesantren
tersebut selama enam bulan. Ditambah masa percobaan satu bulan, akhirnya Habib
Novel menjadi santri selama 7 bulan.
Sulung dari tiga bersaudara itu sama sekali belum
mengenal kehidupan pesantren dan bahasa Arab. Habib Novel pun berusaha untuk
mempelajari bahasa Arab dengan sebaik-baiknya. Sebab, almarhum kakeknya, Habib
Ahmad bin Abdurrahman al ‘Aydrus yang tinggal di Kudus, pernah berkata, ”Jika
kamu mampu menguasai bahasa Arab, maka kamu telah menguasai setengah ilmu.”
“Setiap hari saya paksakan diri saya untuk
menghapalkan kurang lebih 90 kata kerja. Di atas tempat tidur, kamus kata kerja
hampir tidak pernah berpisah dengan diri saya. Alhamdulillah, dalam waktu dua
bulan saya sudah dapat bercakap-cakap dengan bahasa Arab,” jelasnya.
Sepulang dari Pesantren Darul Lughah wad Dakwah,
Habib Novel kembali melanjutkan kebiasaannya semasa di Solo yaitu senang pergi
ke Masjid Riyadh. Sejak kelas 2 SD dia telah akrab dengan Masjid Riyadh.
Dahulu, setiap hari, menjelang maghrib, Habib Novel biasa berjalan kaki menuju
Masjid Riyadh untuk Salat Maghrib, mengikuti tadarus al Quran, pembacaan Ratib
dan Salat Isya berjamaah. Hal itu dilakukannya bertahun-tahun hingga sebelum ke
pesantren. Dia mengaku pembacaan Maulid Simtud Durar setiap malam Jumat adalah
ruhnya. Begitu kembali di Solo, Habib Novel segera mengikuti pengajian umum
yang diselenggarakan Habib Anis. Setiap hari sejak 1995 hingga beliau wafat dia
belajar di sana.
“Habib Anis menyebut saya sebagai muridnya. Bagi
saya itu menjadi sebuah kebahagiaan,” tambahnya.
Penulis buku Mana Dalilnya itu merasakan manfaat
besar dari mengikuti majelis di Masjid Riyadh. Kini, Habib Novel menjadi
penceramah, penterjemah dan penulis. Semua itu tidak terlepas dari peran Habib
Anis.
Habib Novel bersyukur Allah memperkenankannya
menyampaikan ilmu Nabi Muhammad. Dia berdakwah dari satu masjid ke masjid yang
lain, dari satu kantor ke kantor yang lain dan dari satu rumah ke rumah yang
lain.
Ke depan Habib Novel ingin ada Aswaja Call Center
sebagai tempat bertanya bagi masyarakat tentang berbagai persoalan. Sehingga
orang tidak bingung ketika memiliki permasalahan tentang agama. Untuk mendukung
itu, perlu ustadz yang kompeten dan referensi. Selain itu, jika ada operator
nakal supaya segera ditindak.
Keinginan Habib Novel lainnya yaitu adanya sebuah
masjid di Jl Slamet Riyadi. Dia sudah menyampaikan kepada Walikota dan
tokoh-tokoh sderta orang-orang yang punya uang agar ada masjid di Jl. Slamet
Riyadi. “Sungguh sangat disayangkan, di Solo, umat Islam adalah terbesar
jumlahnya. Tapi di sepanjang jalan protokol di perkotaan tidak ada masjid. Yang
ada masjid sekolahan. Masjid Agung memang sudah ada tapi aksesnya sulit dan
keindahannya ditutupi banyak bangunan,” papar lelaki yang pernah menjajakan
susu sapi segar dari satu tempat ke tempat lainnya.
- agama adalah nasehat bagian 1, bagaian 2, bagian 3
- hikmah idul adha
- hakikat kalimat tauhid bagian 1, bagian 2
- Abu Hurairah RA bagian 1, bagian 2
- Shalawat Nabi bagian 1, bagian 2
- Cinta Sahabat kepada Rasulullah SAW bagian 1, bagian 2
untuk lebih lengkapnya bisa buka di sini