Nabi saw memperbolehkan berbuat
bid’ah hasanah. Nabi saw memperbolehkan kita
melakukan Bid’ah hasanah
selama hal itu
baik dan tidak menentang
syariah, sebagaimana sabda
beliau saw :“Barangsiapa
membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan
pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikitpun dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat hal baru
yang buruk dalam
islam, maka baginya
dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya dan
tak dikurangkan sedikitpun
dari dosanya” (Shahih
Muslim hadits no.1017, demikian
pula diriwayatkan pada
Shahih Ibn Khuzaimah,
Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan
Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna
Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah.
Perhatikan hadits
beliau saw, bukankah
beliau saw menganjurkan?, maksudnya
bila kalian mempunyai suatu
pendapat atau gagasan
baru yang membuat
kebaikan atas islam maka
perbuatlah.., alangkah indahnya bimbingan Nabi saw yang tidak mencekik ummat,
beliau saw tahu bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan
tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian
ulama, merajalela kemaksiatan,
maka tentunya pastilah
diperlukan hal hal
yang baru demi menjaga
muslimin lebih terjaga
dalam kemuliaan, demikianlah
bentuk kesempurnaan agama ini,
yang tetap akan
bisa dipakai hingga
akhir zaman, inilah makna ayat : “ALYAUMA
AKMALTU LAKUM DIINUKUM…”,
yang artinya “hari
ini Kusempurnakan untuk kalian
agama kalian, kusempurnakan
pula kenikmatan bagi kalian, dan
kuridhoi islam sebagai agama kalian”,
Maksudnya semua
ajaran telah sempurna, tak
perlu lagi ada
pendapat lain demi memperbaiki agama
ini, semua hal
yang baru selama
itu baik sudah
masuk dalam kategori syariah
dan sudah direstui
oleh Allah dan
rasul Nya, alangkah
sempurnanya islam, Bila yang
dimaksud adalah tidak
ada lagi penambahan,
maka pendapat itu
salah, karena setelah ayat
ini masih ada
banyak ayat ayat
lain turun, masalah
hutang dll, berkata para
Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih
dimasuki orang musyrik
mengikuti hajinya orang muslim, mulai
kejadian turunnya ayat ini
maka Musyrikin tidak
lagi masuk masjidil
haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh boleh
saja.
Namun tentunya
bukan membuat agama
baru atau syariat
baru yang bertentangan dengan syariah
dan sunnah Rasul
saw, atau menghalalkan
apa apa yang
sudah diharamkan oleh Rasul
saw atau sebaliknya,
inilah makna hadits
beliau saw : “Barangsiapa yang
membuat buat hal baru
yang berupa keburukan...dst”, inilah
yang disebut Bid’ah Dhalalah.
Beliau saw telah memahami itu semua,
bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau
saw memperbolehkannya (hal
yang baru berupa
kebaikan), menganjurkannya dan
menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar
ummat tidak tercekik dengan hal yang ada dizaman kehidupan beliau
saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal
yang buruk (Bid’ah dhalalah).
Mengenai pendapat yang mengatakan
bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka
tentu ini adalah
pendapat mereka yang
dangkal dalam pemahaman syariah, karena
hadits diatas jelas
jelas tak menyebutkan
pembatasan hanya untuk sedekah
saja, terbukti dengan
perbuatan bid’ah hasanah
oleh para Sahabat
dan Tabi’in.
Siapakah yang
pertama memulai Bid’ah
hasanah setelah wafatnya Rasul
saw?
Ketika terjadi
pembunuhan besar besaran
atas para sahabat
(Ahlul yamaamah) yang mereka
itu para Huffadh
(yang hafal) Alqur’an
dan Ahli Alqur’an
di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata
Abubakar Ashiddiq ra kepada Zeyd bin Tsabit ra : “Sungguh
Umar (ra) telah
datang kepadaku dan
melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan
akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu
ia menyarankan agar
Aku (Abubakar Asshiddiq
ra) mengumpulkan dan
menulis Alqur’an, aku berkata
: Bagaimana aku
berbuat suatu hal
yang tidak diperbuat
oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku bahwa Demi Allah ini adalah
demi kebaikan dan merupakan kebaikan,
dan ia terus
meyakinkanku sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku
setuju dan kini
aku sependapat dengan
Umar, dan engkau
(zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah
berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu,
dan sekarang ikutilah
dan kumpulkanlah Alqur’an
dan tulislah Alqur’an..!”
Berkata Zeyd
: “Demi Allah
sungguh bagiku diperintah
memindahkan sebuah gunung daripada gunung
gunung tidak seberat
perintahmu padaku untuk
mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak
diperbuat oleh Rasulullah saw?”,
maka Abubakar ra
mengatakannya bahwa hal
itu adalah kebaikan,
hingga iapun meyakinkanku sampai
Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju
dan kini aku sependapat dengan
mereka berdua dan
aku mulai mengumpulkan
Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits
no.4402 dan 6768).
Nah
saudaraku, bila kita
perhatikan konteks diatas
Abubakar shiddiq ra
mengakui dengan ucapannya :
“sampai Allah menjernihkan dadaku
dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan
Umar”, hatinya jernih
menerima hal yang
baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan
Alqur’an, karena sebelumnya
alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu
buku, tapi terpisah
pisah di hafalan
sahabat, ada yang
tertulis di kulit onta,
di tembok, dihafal
dll, ini adalah
Bid’ah hasanah, justru
mereka berdualah yang memulainya.
Kita perhatikan hadits yang
dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah hasanah mengenai semua
bid’ah adalah kesesatan,
diriwayatkan bahwa Rasul
saw selepas melakukan shalat
subuh beliau saw
menghadap kami dan
menyampaikan ceramah yang membuat
hati berguncang, dan membuat airmata mengalir.., maka kami berkata : “Wahai
Rasulullah.. seakan akan
ini adalah wasiat
untuk perpisahan…, maka
beri wasiatlah kami..” maka
rasul saw bersabda
: “Kuwasiatkan kalian
untuk bertakwa kepada Allah,
mendengarkan dan taatlah
walaupun kalian dipimpin
oleh seorang Budak afrika,
sungguh diantara kalian
yang berumur panjang
akan melihat sangat banyak
ikhtilaf perbedaan pendapat,
maka berpegang teguhlah
pada sunnahku dan sunnah
khulafa’urrasyidin yang mereka
itu pembawa petunjuk,
gigitlah kuat kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan
untuk kesungguhan), dan hati hatilah dengan hal hal yang
baru, sungguh semua
yang Bid;ah itu
adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits no.329).
Jelaslah bahwa Rasul saw menjelaskan
pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah khulafa’urrasyidin, dan
sunnah beliau saw
telah memperbolehkan hal
yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah, dan sunnah
khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar shiddiq ra dan
Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan
menganjurkan, bahkan memerintahkan
hal yang baru,
yang tidak dilakukan oleh Rasul
saw yaitu pembukuan
Alqur’an, lalu pula
selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan
persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw.
Nah.. sempurnalah
sudah keempat makhluk
termulia di ummat
ini, khulafa’urrasyidin
melakukan bid’ah hasanah,
Abubakar shiddiq ra
dimasa kekhalifahannya
memerintahkan pengumpulan Alqur’an,
lalu kemudian Umar
bin Khattab ra
pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan
tarawih berjamaah dan
seraya berkata : “Inilah sebaik baik Bid’ah!”(Shahih Bukhari
hadits no.1906) lalu pula selesai
penulisan Alqur’an dimasa Khalifah
Utsman bin Affan
ra hingga Alqur’an
kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmaniy, dan Ali bin Abi
Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Demikian pula hal yang dibuat-buat
tanpa perintah Rasul saw adalah dua kali adzan di Shalat Jumat,
tidak pernah dilakukan
dimasa Rasul saw,
tidak dimasa Khalifah Abubakar shiddiq ra, tidak pula
dimasa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan dimasa Utsman bin Affan ra, dan
diteruskan hingga kini (Shahih Bulkhari hadits no.873).
Siapakah yang
salah dan tertuduh?,
siapakah yang lebih
mengerti larangan Bid’ah?, adakah pendapat mengatakan bahwa
keempat Khulafa’urrasyidin ini tak faham makna Bid’ah? Bid’ah Dhalalah Jelaslah
sudah bahwa mereka
yang menolak bid’ah
hasanah inilah yang
termasuk pada golongan Bid’ah
dhalalah, dan Bid’ah
dhalalah ini banyak
jenisnya, seperti penafikan
sunnah, penolakan ucapan sahabat, penolakan pendapat Khulafa’urrasyidin, nah…diantaranya adalah
penolakan atas hal
baru selama itu
baik dan tak melanggar syariah, karena
hal ini sudah
diperbolehkan oleh Rasul
saw dan dilakukan
oleh Khulafa’urrasyidin, dan Rasul
saw telah jelas
jelas memberitahukan bahwa akan
muncul banyak ikhtilaf,
berpeganglah pada Sunnahku dan
Sunnah Khulafa’urrasyidin,
bagaimana Sunnah Rasul saw?, beliau saw membolehkan Bid’ah hasanah, bagaimana
sunnah Khulafa’urrasyidin?, mereka melakukan Bid’ah hasanah, maka penolakan
atas hal inilah yang
merupakan Bid’ah dhalalah,
hal yang telah
diperingatkan oleh Rasul saw.
Bila
kita menafikan (meniadakan)
adanya Bid’ah hasanah,
maka kita telah
menafikan dan membid’ahkan Kitab
Al-Quran dan Kitab
Hadits yang menjadi
panduan ajaran pokok Agama
Islam karena kedua
kitab tersebut (Al-Quran
dan Hadits) tidak
ada perintah Rasulullah saw
untuk membukukannya dalam
satu kitab masing-masing, melainkan hal
itu merupakan ijma/kesepakatan pendapat
para Sahabat Radhiyallahu’anhum
dan hal ini dilakukan setelah Rasulullah saw wafat.
Buku
hadits seperti Shahih
Bukhari, shahih Muslim
dll inipun tak
pernah ada perintah Rasul saw
untuk membukukannya, tak
pula Khulafa’urrasyidin memerintahkan menulisnya, namun para tabi’in
mulai menulis hadits Rasul saw.
Begitu pula
Ilmu Musthalahulhadits, Nahwu,
sharaf, dan lain-lain
sehingga kita dapat memahami kedudukan
derajat hadits, ini
semua adalah perbuatan
Bid’ah namun Bid’ah Hasanah.
Demikian pula ucapan
“Radhiyallahu’anhu” atas sahabat,
tidak pernah diajarkan
oleh Rasulullah saw, tidak pula oleh sahabat, walaupun itu di sebut dalam
Al-Quran bahwa mereka para sahabat
itu diridhoi Allah,
namun tak ada
dalam Ayat atau
hadits Rasul saw memerintahkan
untuk mengucapkan ucapan itu untuk sahabatnya, namun karena kecintaan para
Tabi’in pada Sahabat,
maka mereka menambahinya
dengan ucapan tersebut. Dan ini
merupakan Bid’ah Hasanah dengan dalil Hadits di atas, Lalu muncul pula kini
Al-Quran yang di
kasetkan, di CD
kan, Program Al-Quran
di handphone, Al-Quran yang diterjemahkan, ini semua adalah
Bid’ah hasanah.
Bid’ah yang
baik yang berfaedah
dan untuk tujuan
kemaslahatan muslimin, karena dengan
adanya Bid’ah hasanah
di atas maka
semakin mudah bagi
kita untuk mempelajari Al-Quran,
untuk selalu membaca
Al-Quran, bahkan untuk
menghafal Al-Quran dan tidak ada
yang memungkirinya. Sekarang kalau kita
menarik mundur kebelakang
sejarah Islam, bila
Al-Quran tidak dibukukan oleh
para Sahabat ra,
apa sekiranya yang
terjadi pada perkembangan sejarah Islam ?
Al-Quran masih
bertebaran di tembok-tembok, di
kulit onta, hafalan
para Sahabat ra yang
hanya sebagian dituliskan,
maka akan muncul
beribu-ribu Versi Al-Quran
di zaman sekarang, karena
semua orang akan
mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing
dengan riwayatnya sendiri,
maka hancurlah Al-Quran
dan hancurlah Islam. Namun
dengan adanya Bid’ah
Hasanah, sekarang kita
masih mengenal Al-Quran secara
utuh dan dengan
adanya Bid’ah Hasanah
ini pula kita masih mengenal Hadits-hadits Rasulullah
saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi, jelaslah sudah
sabda Rasul saw
yang telah membolehkannya, beliau
saw telah mengetahui dengan jelas
bahwa hal hal baru yang berupa kebaikan (Bid’ah hasanah), mesti dimunculkan
kelak, dan beliau
saw telah melarang
hal hal baru
yang berupa keburukan (Bid’ah
dhalalah).
Saudara saudaraku,
jernihkan hatimu menerima
ini semua, ingatlah
ucapan Amirulmukminin
pertama ini, ketahuilah
ucapan ucapannya adalah
Mutiara Alqur’an, sosok agung
Abubakar Ashiddiq ra berkata mengenai Bid’ah hasanah : “sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”.
Lalu
berkata pula Zeyd
bin haritsah ra
:”..bagaimana kalian berdua
(Abubakar dan Umar) berbuat
sesuatu yang tak
diperbuat oleh Rasulullah
saw?, maka Abubakar
ra mengatakannya bahwa hal
itu adalah kebaikan,
hingga iapun(Abubakar ra) meyakinkanku (Zeyd) sampai Allah
menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka
berdua”.
Maka
kuhimbau saudara saudaraku
muslimin yang kumuliakan,
hati yang jernih menerima hal hal baru yang baik adalah
hati yang sehati dengan Abubakar shiddiq ra, hati Umar bin Khattab ra, hati
Zeyd bin haritsah ra, hati para sahabat, yaitu hati yang dijernihkan Allah swt,
Dan curigalah pada dirimu
bila kau temukan
dirimu mengingkari hal
ini, maka barangkali hatimu
belum dijernihkan Allah,
karena tak mau
sependapat dengan mereka, belum
setuju dengan pendapat mereka, masih
menolak bid’ah hasanah, dan Rasul saw sudah mengingatkanmu bahwa akan
terjadi banyak ikhtilaf, dan peganglah perbuatanku dan perbuatan
khulafa’urrasyidin, gigit dengan geraham yang maksudnya berpeganglah erat erat
pada tuntunanku dan tuntunan mereka.
Allah menjernihkan
sanubariku dan sanubari
kalian hingga sehati
dan sependapat dengan Abubakar
Asshiddiq ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, Ali bin Abi Thalib kw
dan seluruh sahabat.. amiin Pendapat para Imam dan Muhadditsin mengenai Bid’ah
1. Al
Hafidh Al Muhaddits
Al Imam Muhammad
bin Idris Assyafii
rahimahullah (Imam Syafii).
Berkata Imam
Syafii bahwa bid’ah
terbagi dua, yaitu
bid’ah mahmudah (terpuji)
dan bid’ah madzmumah (tercela),
maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras
dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab
ra mengenai shalat
tarawih : “inilah
sebaik baik bid’ah”.
(Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal
86-87)
2. Al Imam Al Hafidh Muhammad bin
Ahmad Al Qurtubiy rahimahullah
“Menanggapi ucapan
ini (ucapan Imam
Syafii), maka kukatakan
(Imam Qurtubi berkata) bahwa
makna hadits Nabi saw yang berbunyi : “seburuk buruk permasalahan adalah hal
yang baru, dan
semua Bid’ah adalah
dhalalah” (wa syarrul
umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah
hal hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw, atau perbuatan
Sahabat radhiyallahu ‘anhum,
sungguh telah diperjelas
mengenai hal ini
oleh hadits lainnya
: “Barangsiapa membuat buat
hal baru yang
baik dalam islam,
maka baginya pahalanya
dan pahala orang yang
mengikutinya dan tak
berkurang sedikitpun dari
pahalanya, dan barangsiapa membuat
buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosanya dan dosa
orang yang mengikutinya”
(Shahih Muslim hadits
no.1017) dan hadits
ini merupakan inti penjelasan
mengenai bid’ah yang
baik dan bid’ah
yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubiy juz 2 hal 87)
3.
Al Muhaddits Al
Hafidh Al Imam
Abu Zakariya Yahya
bin Syaraf Annawawiy rahimahullah (Imam Nawawi)
“Penjelasan mengenai hadits : “Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik
dalam islam, maka baginya
pahalanya dan pahala
orang yang mengikutinya
dan tak berkurang sedikitpun
dari pahalanya, dan
barangsiapa membuat buat
hal baru yang dosanya”, hadits
ini merupakan anjuran
untuk membuat kebiasaan
kebiasaan yang baik, dan ancaman
untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat
pengecualian dari sabda
beliau saw :
“semua yang baru
adalah Bid’ah, dan
semua yang Bid’ah adalah
sesat”, sungguh yang
dimaksudkan adalah hal
baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela”. (Syarh
Annawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105).
Dan berkata pula Imam Nawawi bahwa
Ulama membagi bid’ah menjadi 5, yaitu Bid’ah yang wajib,
Bid’ah yang mandub,
bid’ah yang mubah,
bid’ah yang makruh
dan bid’ah yang haram.
Bid’ah yang
wajib contohnya adalah
mencantumkan dalil dalil
pada ucapan ucapan yang
menentang kemungkaran, contoh
bid’ah yang mandub
(mendapat pahala bila dilakukan dan
tak mendapat dosa
bila ditinggalkan) adalah
membuat buku buku
ilmu syariah, membangun majelis
taklim dan pesantren,
dan Bid;ah yang
Mubah adalah bermacam macam
dari jenis makanan,
dan Bid’ah makruh
dan haram sudah
jelas diketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari
makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar
ra atas jamaah
tarawih bahwa inilah
sebaik2 bid’ah”. (Syarh Imam
Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Al
Hafidh AL Muhaddits
Al Imam Jalaluddin
Abdurrahman Assuyuthiy
rahimahullah Mengenai hadits “Bid’ah Dhalalah”
ini bermakna “Aammun
makhsush”, (sesuatu yang umum
yang ada pengecualiannya), seperti
firman Allah : “… yang
Menghancurkan segala sesuatu” (QS Al Ahqaf 25) dan kenyataannya tidak
segalanya hancur, (*atau pula ayat :
“Sungguh telah kupastikan
ketentuanku untuk memenuhi
jahannam dengan jin dan
manusia keseluruhannya” QS
Assajdah-13), dan pada kenyataannya bukan
semua manusia masuk
neraka, tapi ayat
itu bukan bermakna keseluruhan tapi bermakna seluruh
musyrikin dan orang dhalim.pen) atau hadits : “aku dan hari kiamat bagaikan
kedua jari ini” (dan kenyataannya kiamat masih ribuan tahun setelah wafatnya
Rasul saw) (Syarh Assuyuthiy Juz 3 hal 189).
Maka bila muncul pemahaman di akhir
zaman yang bertentangan dengan pemahaman para
Muhaddits maka mestilah
kita berhati hati
darimanakah ilmu mereka?, berdasarkan apa
pemahaman mereka?, atau
seorang yang disebut
imam padahal ia tak
mencapai derajat hafidh
atau muhaddits?, atau
hanya ucapan orang
yang tak punya sanad,
hanya menukil menukil
hadits dan mentakwilkan
semaunya tanpa memperdulikan
fatwa fatwa para Imam? Walillahittaufiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar